Wajah Septian merah padam. Surat di tangannya menjadi penyebab kemarahannya. Lelaki itu meremas surat itu. Seujung kuku pun dia tidak menyangka kalau istrinya akan benar-benar melayangkan surat cerai padanya.
"Mas, kenapa wajah kamu jadi marah begitu? Itu surat apa?" Tanya Dita masih berdiri di depan Septian. Tadi sempat jinjit, mendongak ingin ikut membaca suratnya, tapi tubuhnya yang pendek, membuatnya tidak mendapatkan apa pun.
Septian tidak menjawab, dia berlalu masuk ke dalam kamarnya. Pikirannya kacau, memikirkan cara mendapatkan Rachel kembali.
"Tidak! Aku dan Rachel tidak boleh bercerai!" ucap Septian sambil mondar-mandir di tengah kamar. Ketika berhenti dan melihat pantulan wajahnya di cermin, Septian teringat pertemuan tidak terduganya dengan Rachel dan Ryan di restoran itu. Pikirannya semakin kalut, bagaimana kalau ternyata keberanian Rachel menuntut pisah itu karena di-backup oleh Ryan?
"Ya, aku yakin. Pasti pria itu yang sudah mempengaruhi Rachel. Apa selama ini bosnya itu suka pada Rachel?"
Berbagi spekulasi muncul dalam benak Septian yang semakin berhasil membuatnya frustrasi.
Saat malam tiba, sekejap pun Septian tidak bisa terpejam. Tubuh dan pikirannya lelah, tapi mata enggan untuk terlelap. Rachel, hanya Rachel yang saat ini menghantui pikirannya. Entah sudah keberapa kali, Septian membalik tubuhnya. Kali ini dia memandangi bantal dan tempat biasa Rachel berbaring di sisinya.
Kenapa semuanya begitu terlambat dia sadari? Ketika sang istri sudah pergi meninggalkannya, barulah Septian merasa kehilangan dan bisa mengerti betapa berharganya Rachel dalam hidupnya.
Denting jarum jam menjadi dawai pengiring kerinduannya pada Rachel, hingga hampir subuh, mimpi pun menjemput asanya.
***
"Mas, sarapan dulu." Dita setengah berlari mengejar Septian yang sudah berada di ambang pintu. Pagi ini dia berencana mendatangi Rachel.
"Nggak usah. Nanti sarapan di kantor aja," jawabnya ketus. Perasaannya kini berubah pada Dita. Setelah mengerti arti kehilangan, Septian jadi menyalahkan Dita atas semua yang terjadi pada rumah tangganya.
"Tapi aku udah masak, Mas," lanjut Dita ngotot. w************n itu mendelik kesal. Dia sudah bangun pukul lima pagi demi menyiapkan sarapan untuk Septian dan juga Reni, tapi pria itu tidak menghargai usahanya.
Septian tetap diam. Mulai bergerak memanaskan mobil. Celotehan Dita membuat kupingnya panas. Kalau sudah seperti telur di ujung tanduk begini, sedikit pun Septian tidak mengingat bagaimana menggiurkannya tubuh Dita. Bahkan kalau bisa dibilang, dia sangat menyesal kini.
"Mas!" Dita menghambat tangan Septian yang ingin membuka pintu mobil.
"Kamu mau apa?" Bentak Septian. Dadanya naik turun menahan amarah pada Dita. Bisa-bisanya dia menambah beban pikirannya saat ini.
"Kamu kenapa, sih? Jangan cuekin aku kayak gini, dong. Dulu aja kamu ngejar-ngejar aku sampe menjelekkan Mbak Rachel, sekarang setelah wanita itu pergi, kamu, kok, malah nggak peduli sama aku?" Dita yang genit ternyata juga seorang wanita bar-bar. Dia tidak akan membiarkan Septian membuangnya begitu saja setelah apa yang mereka lakukan. Dia sudah menyerahkan keperawanannya pada Septian.
"Cukup! Jangan buat aku kehilangan kesabaran!" Septian mendorong Dita menjauh dari pintu mobilnya, lalu segera masuk.
"Mas! Mas Septian, buka!" teriak Dita menggedor-gedor pintu mobil Septian, tetapi, pria itu bersikap masa bodoh.
Dengan kecepatan tinggi dia melajukan mobilnya ke luar rumah. Sepanjang perjalanan, dia memikirkan kalimat yang tepat untuk nanti dikatakan pada Rachel. Kembali pria itu melirik kertas yang tadi sempat dia remas.
Jalannya pagi itu turut mengundang emosi Septian. Mobilnya tidak bisa bergerak sama sekali sudah hampir setengah jam.
Ini semua salah Dita. Wanita itu masuk ke kamarnya saat subuh dan Septian baru memejamkan mata. Rasa kantuknya membuat Septian tidak sadar dicumbu oleh Dita, hingga berhasil membuat miliknya tegang. Alhasil, dia kembali menyambut kehangatan yang ditawarkan Dita. Setelahnya Septian benar-benar jatuh dalam balutan mimpi dan berujung bangun kesiangan.
Kalau dia berangkat lebih pagi lagi, pasti tidak akan terjebak di tengah kemacetan seperti ini.
Setelah bergelut dengan kemacetan dan bising jalanan, Septian akhirnya sampai di kantor D'universe.
Dulu, dia sering bolak balik ke kantor ini untuk mengikuti rapat kerja sama dengan perusahaan ini. Saat itulah dia bertemu dengan Rachel.
Beberapa kali bertemu membuat mereka dekat dan Septian jatuh cinta pada gadis itu. Semua yang diinginkan pria ada pada Rachel-nya yang dulu.
Sedikit tidak percaya diri, tetapi, pada akhirnya Septian mengungkapkan isi hatinya. Ternyata gayung bersambut, Rachel menerima cintanya.
Lamunan Septian buyar saat pintu lift terbuka. Dia sudah sampai di lantai 15, tempat yang ditunjukkan oleh resepsionis di bawah, untuk bisa bertemu dengan Rachel.
"Maaf, Bapak mau bertemu siapa?" Cegat seorang wanita yang sejak tadi duduk di balik meja tepat di samping pintu masuk ke ruangan Ryan. Dia memperhatikan Septian yang bersiap mengetuk pintu setelah membaca nama di sisi pintu yang bertuliskan Ryan, CEO D'universe.
"Saya mau bertemu dengan Rachel. Tadi diarahkan oleh front office di bawah. Katanya satu ruangan dengan Pak Ryan. Ini 'kan ruangannya?"
"Iya, tapi Bapak nggak bisa masuk. Tunggu saya tanya dulu."
Wanita beranama Anita itu menghubungi ke dalam ruangan Ryan yang diterima Rachel.
"Ada tamu yang ingin bertemu dengan Pak Ryan," ucap Anita bertanya lewat telepon.
"Maaf, dengan Bapak siapa dan dari perusahaan mana?" tanya Anita pada Septian. Satu tangannya menutup saringan telepon terlebih dahulu.
"David, dari Galaxy Corp," jawab Septian singkat setelah beberapa waktu diam. Dia harus memikirkan strategi agar dia bisa dipersilakan masuk.
Kalau dia menyebut namanya, niscaya Rachel pasti menolak untuk bertemu.
Setelah menunggu beberapa detik, Septian pun dipersilakan masuk.
"Dugaanku benar! Ternyata aku salah menilaimu. Kupikir kamu wanita baik-baik, dan kesalahan terletak hanya padaku, nyatanya kamu tak jauh berbeda denganku!" ucap Septian begitu masuk ke ruangan. Hatinya panas saat melihat Rachel sedang duduk di sofa bersama Ryan tengah menikmati sarapan mereka.
"Septian!" pekik Rachel tertahan. Wanita itu meletakkan sendoknya di atas piring dan menegakkan duduknya.
Saat Anita mengatakan ada tamu, Ryan akan menjamu di sofa sebelah yang tertutupi lemari buku bak perpustakaan, hingga Rachel masih bisa sarapan. Ternyata Septian segera masuk ke tengah ruangan yang hanya kalangan tertentu saja bisa melangkah ke sana.
"Oh, jadi Anda yang ngaku-ngaku jadi David biar bisa masuk ke sini? Sekarang Anda mau apa?" Ryan menatap kesal pada Septian.
"Seharusnya Anda tahu kalau Rachel masih istri saya. Apa ini semua justru rencana Anda yang ingin merusak rumah tangga kami? Anda pasti yang mempengaruhi dia untuk menuntut cerai!" hardik Septian dengan wajah memerah.
Septian tidak takut, jangan dipikir karena Ryan seorang CEO, punya perusahaan, dia jadi mundur. Untuk saat ini justru dirinya yang lebih berhak atas Rachel karena mereka masih terikat tali pernikahan.
"Lantas, kalau memang saya yang mempengaruhi dia untuk menuntut cerai, Anda mau apa?" Tantang Ryan berdiri di depan Septian. Dia harus menjaga Rachel dari jangkauan Septian.
"Sampai mati pun, aku tidak akan mau menceraikan kamu Rachel!" Septian mengeluarkan kertas yang sejak tadi tersembunyi di saku jasnya. Penuh emosi merobek kertas itu di hadapan Rachel dan melemparkan di atas meja.
Rachel yang melihat itu hanya bisa menahan air matanya. Dia bisa lihat Septian sangat terluka atas rencana perceraian ini, tapi kenapa? Apa gunanya mempertahankan rumah tangga mereka, sementara Septian tidak bisa setia padanya?
"Rachel, kembalilah padaku. Kita lupakan semuanya. Aku selingkuh, kamu juga selingkuh. Kita sama-sama melakukan kesalahan. Kita mulai lagi dari awal, kamu mau, kan?" Septian memohon tanpa tahu malu. Bahkan pria itu sudah semakin mendekat ke arah Rachel, lalu berlutut di depan gadis itu.
Mata Rachel semakin berkaca-kaca. Tepat seperti dugaannya. Septian sudah memikirkan hal ini. Dia menunggu waktu yang tepat untuk berlutut memohon, agar istrinya itu iba padanya.
"Pulanglah, Mas. Aku nggak bisa kembali bersamamu lagi. Kita akhiri semua ini. Cukup sudah. Pulanglah, dan carilah kebahagiaanmu."
"Aku tidak akan pergi kalau kamu tidak ikut denganku!"
"Dasar tidak tahu malu! Kamu yang selingkuh, kamu pula yang merasa jadi korban! Pergi dari sini!" teriak Ryan menarik kerah baju Septian agar pria itu bangkit. Tenaga Ryan yang kuat mampu menyeret Septian keluar dari ruangan itu meski masih mencoba melawan.
"Ingat, Rachel, selamanya kamu milikku. Kalau aku tidak bisa memilikimu lagi, maka pria mana pun tidak boleh. Ingat itu!"