KEECEWAAN MAUREL

1206 Words
Zavian menyugar rambutnya kasar. Dia pusing tujuh keliling karena terus dihantui wajah Maurel. Tok tok tok Ada yang mengetuk pintu dan Zavian pun menyuruhnya masuk. "Maurel," lirih Zavian kaget. "Apa, Pak? Maurel? Saya Ani, Pak, bukan Maurel," sahut perempuan itu. Zavian semakin gila dengan semua ini. Lagi dan lagi, wajah Maurel yang dia lihat. Kesal sekali dengan matanya yang selalu melihat Maurel di mana-mana. "Oh, iya, maaf. Ada apa?" "Ada kurir yang mengirim paket untuk Anda, Pak. Ini paketnya," jawab perempuan itu sambil memberikan sekotak paket yang masih terbungkus rapi. "Iya, terima kasih. Kamu boleh pergi." Zavian tidak ingat kalau dia memesan paket. Dia pun membuka paket itu. "Astaga. Aku lupa," gumam Zavian tercengang saat membuka paket itu yang ternyata isinya kartu undangan pernikahannya dengan Lyona. *** Maurel tampak gelisah dan terus memandang pintu yang sedari tadi tertutup. Beberapa saat yang lalu pun dia meraih ponsel dan dibuat kecewa karena tak ada siapa pun yang menghubunginya. "Tumben Zavian nggak main atau hubungi aku. Biasanya dia main ke sini atau chat aku. Ke mana, ya, dia?" keluh Maurel. Dia merasa ada yang kurang, tapi dia belum yakin itu apa. Ada yang hilang, tapi dia tak tahu apa yang hilang. "Apa Zavian lagi sakit, ya?" Pikiran buruk mengusik hati, Maurel merasa cemas. Dia mengambil ponsel, lalu menghubungi Zavian. Sayangnya, ponsel Zavian tidak aktif dan itu sukses membuat Maurel semakin khawatir. "Kok, nggak aktif ya telponnya? Jangan-jangan bener kalau ada sesuatu yang terjadi sama dia," duga Maurel sedih. Dia tak mau itu terjadi. Dia ingin Zavian tetap sehat dan bisa menemaninya sepanjang hari. "Apa dia marah sama aku, ya? Makanya dia nggak aktifin nomornya. Tapi kenapa dia marah?" Berbagai dugaan menguasai pikiran Maurel. Dari Zavian sakit sampai Zavian yang marah dengan Maurel. Semua itu membuat Maurel gelisah tidak menentu. "Aku harus temui dia, biar aku nggak kayak gini terus" ujar Maurel lagi. Dia pun segera keluar dan mencari kamar apartemen Zavian. Begitu dia sampai di pintu 305--sama seperti yang Zavian katakan, dia melihat seseorang yang baru keluar dari kamar apartemen Zavian. Maurel pun mendekat dan bertanya pada lelaki itu. "Permisi. Anda kerja di sini?" tanya Maurel sopan. Dua lelaki yang nampak sedang sibuk itu pun menoleh pada Maurel dan menghentikan pekerjaannya. "Oh, iya, Mbak. Ada apa, ya?" tanya salah satu lelaki paruh baya itu dengan sopan. "Saya mau tanya. Pemilik apartement ini ke mana, ya? Apa dia lagi sakit?" tanya Maurel penasaran. "Oh, nggak, Mbak. Pak Zavian nggak sakit. Hari ini kan Pak Zavian mau menikah, jadi saya sedang beres-beres apartement ini," balasnya lagi. Maurel benar-benar terguncang mendengar hal itu. Dia sama sekali tidak percaya dengan apa yang dia dengar dari mulut orang di depannya. "Me--menikah? Ha--hari ini, Pak? Nggak mungkin," tolaknya tidak percaya. "Saya nggak bohong, Mbak. Ini undangannya." Dia menyodorkan undangan pada Maurel. Seketika itu tubuh Maurel lemas dan hatinya remuk redam. Dadanya terasa sesak dan dia merasakan sakit yang sangat hebat. Dia janjikan pernikahan indah dan surga dunia, tapi dia juga yang memberikan neraka kepedihan. Sakit sekali rasanya. Dia terbangkan Maurel hingga langit ke tujuh dengan perhatian-perhatiannya, tapi dia juga yang menjatuhkan pada jurang pengkhianatan. Hati Maurel hancur berkeping-keping. Sekuat tenaga perempuan itu menahan air mata dan pamit pergi pada kedua orang itu, seakan tidak terjadi apa-apa. Padahal di dalam hatinya, berkecamuk luka yang begitu dalam. Maurel pun berlari ke tepi jalan dan kali ini dia tak lagi mampu menahan air mata. Dia menangis sejadi-jadinya untuk meluapkan semua kekecewaan pada Zavian. Dia pikir Zavian berbeda. Dia lelaki penuh tanggung jawab dan bisa dipercaya. Ternyata dia sama saja. Dia memberikan harapan yang besar pada Maurel, tapi ketika dia sudah percaya, lelaki itu justru mengkhianatinya. Betapa nyeri hati Maurel sekarang, bagai disayat sembilu. "Aaaaa. Jahat kamu Zavian. Kenapa kamu bilang akan tanggung jawab dan nikahin aku, tapi nyatanya kamu hari ini nikah sama orang lain! Kenapa kamu beri aku harapan, tapi kamu juga yang hancurin semuanya" isak Maurel dengan suara yang begitu kencang. Dia berada di tepi jembatan. Terdapat sungai dalam yang mengalir dengan arus yang sangat kuat. Maure pun melihat ke bawah dan perlahan dia naik ke atas jembatan. Hatinya benar-benar sakit, bahkan lebih sakit saat kehilangan tunangan dan kedua orang tua. Tak ada lagi keyakinan di hati tentang kebahagiaan yang pernah dikatakan oleh Zavian. Tak ada lagi orang yang bisa dia percaya karena semuanya telah membuat luka di hatinya. Dunianya sudah hancur, tak ada lagi semangat untuk menjalani hidup. Yang ada hanya putus asa dan rasa perih yang sangat menyiksa. "Untuk apa aku hidup? Nggak ada yang sayang sama aku. Semua orang hanya bisa nyakitin aku. Aku emang nggak berguna. Lebih baik aku mati!" tekad Maurel disertai isak kepiluan. Kini dia berada di tiang teratas di jembatan itu. Dia berdiri tegak dan siap untuk melompat. Kesedihan di hatinya tidak akan bisa sembuh kecuali dia mengakhiri hidupnya. Sudah bulat keinginan Maurel untuk mengakhiri hidup ini. Tak ada artinya juga dia hidup, dia tak punya siapa-siapa. Tidak ada pula yang mencintainya. Dia hanya sendirian dan pastinya tak akan ada yang kehilangan. Dia pun menutup mata dan bersiap untuk terjun ke sungai itu. Dengan yakin, dia melepaskan beban dan menjatuhkan diri. Sayangnya, tanpa diduga ada seseorang yang menarik tangannya dan dia pun jatuh ke sisi jembatan, bukan ke sungai. Maurel pun selamat. "Hey. Apa kamu udah gila? Kamu bisa mati kalau terjun ke sana," sungut orang itu pada Maurel dengan marah. Maurel pun membuka mata dan sangat kaget melihat orang yang menyelamatkannya. "Biarin aku mati! Kamu nggak ada hak untuk mengaturku. Pergi aja kamu dengan istri kamu dan jangan hirauin aku," hentak Maurel penuh amarah. Kenapa Zavian lagi-lagi menyelamatkannya? Dia yang membuat Maurel melakukan ini, tapi kenapa juga dia yang menyelamatkannya? Apa mau Zavian sebenarnya? "Aku minta maaf. Aku akui aku salah. Pernikahan ini kemauan nenekku dan aku terpaksa menurutinya," jelas Zavian lemah. Maurel tersenyum sinis. "Pernikahan paksa? Ini bukan panggung sandiwara yang bisa kamu karang seenaknya sendiri. Dan aku sama sekali nggak percaya sama cerita kamu," dengus Maurel. Walaupun dia marah, dia tetap menderita dengan perlakuan Zavian padanya. Tega sekali dia mempermainkan perasaan Maurel hingga dia kembali terluka. Zavian ketakutan dan dia pun memegang kedua tangan Maurel. "Aku nggak bohong Maurel. Aku benar-benar terpaksa melakukan ini. Semua itu demi nenek." Maurel menghempaskan tangan Zavian dengan kasar. Setelah semua yang dilakukan Zavian padanya, Maurel tak akan mau tertipu lagi oleh mulut manis laki-laki itu. "Pergi kamu dari sini. Jangan pernah temui aku lagi. Aku benci sama kamu!" teriak Maurel. Dia tak mau melihat wajah Zavian yang memuakkan. "Tolong percaya sama aku, Maurel. Aku benar-benar terpaksa nikah sama dia. Iya, aku akui ... aku emang salah karena udah janjiin kamu sesuatu yang sangat besar. Tapi semua itu aku lakuin sebagai bentuk pertanggungjawabanku sama kamu," tambah Zavian lagi. Dia terus berusaha meyakinkan Maurel tentang apa yang sebenarnya terjadi. Rasa kecewa yang begitu dalam membuat Maurel tak mau lagi mendengar alasan dari Zavian. Semua alasan itu hanya karangan yang dijadikan alat untuk mendapatkan maaf darinya. Di matanya, lelaki itu tetap salah dan dia tak mau memaafkan Zavian. Dia sangat kecewa dan tak ada maaf untuknya. Maurel tidak mau menanggapi ucapan Zavian, dia pun berbalik dan ingin pergi meninggalkan Zavian. "Tunggu! Tolong jangan pergi. Walaupun aku udah nikah sama dia, tapi cintaku hanya untuk kamu," ungkap Zavian dan kata-kata itu membuat Maurel terdiam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD