Elea hanya bisa memejamkan matanya singkat, wanita itu memberanikan diri untuk menoleh. Menatap wajah kakaknya yang sangat terkejut bercampur bingung itu.
"Elea, ada disini?" Vania langsung bertanya, heran pastinya kenapa adiknya bisa berada di kantor suaminya.
Elea baru saja membuka mulutnya, tapi suara Rain lebih dulu terdengar membuat ia menutup mulutnya kembali.
"Adikmu ini sangat lucu, Sayang. Dia datang ingin mencari pekerjaan, bukankah dia masih kuliah?" ucap Rain sambil berjalan mendekati Vania yang datang bersama Mamanya itu. "Mama darimana bersama istriku?" tanyanya kemudian.
Agnes–Mama Rain tersenyum tipis mendengar panggilan Rain kepada Vania, ia beranggapan jika Rain sudah bisa menerima Vania.
"Mama baru saja mengajak istrimu ke salon. Seharusnya kamu yang mengantarnya, baru menikah malah sibuk bekerja," tukas Agnes sedikit mengomel.
"Pekerjaanku sangat banyak," sahut Rain acuh tak acuh.
"Kalau menuruti pekerjaanmu, pasti tidak akan ada habisnya. Lebih baik kamu ambil cuti dan pergilah berbulan madu dengan istrimu. Mama sudah pengen cucu," ujar Agnes to the point.
Vania menggigit bibirnya, hatinya seolah berkata jika hal itu sangat mustahil. Mengingat Rain saja tidak sudi menyentuh dirinya. "Ehm, Elea datang ada apa tadi?" tanya Vania mencoba mengalihkan perhatian ibu mertuanya itu.
"Oh iya, ini adik kamu ya, Vania? Siapa namanya tadi?"
Perhatian Agnes pun tersita tatkala melihat sosok Elea yang berdiri tak jauh dari putranya itu.
Elea bergegas mendekat lalu mengulurkan tangannya kepada Agnes sebagai formalitas. "Nama saya Elea, Tante."
"Elea? Masih muda banget, masih kuliah?" Agnes kembali bertanya.
"Masih, Ma. Elea masih kuliah semester akhir. Dia ini hebat loh, Ma. Dari awal masuk kuliah udah dapat beasiswa," seloroh Vania dengan bangga mengelus lengan Elea.
"Wah? Pintar sekali. Calon orang sukses ini." Agnes pun ikut kagum dan memandang Elea dengan bangga.
Elea meringis, sumpah demi apa pun rasanya ia sangat malu sekali. Andai saja mereka tahu apa yang telah ia lakukan, ia yakin kata-kata itu tak akan keluar dari bibir keduanya.
"Mas Rain bilang kamu mau nyari pekerjaan? Bukannya masih aktif kuliah?" Vania kembali bertanya mengingat ucapan suaminya tadi.
"Ha, iya kak. Tadinya aku ingin mencari uang tambahan agar tidak merepotkan Ayah. Tapi sepertinya tidak jadi, kata kak Rain tidak ada lowongan pekerjaan disini," sahut Elea dengan cepat, entahlah sudah berapa kali ia membohongi kakaknya hari ini.
"Kakak, maafkan aku!" batin Elea menjerit.
"Lagian kamu ada-ada aja. Fokus aja kuliah, tidak usah memikirkan yang lainnya. Kalau butuh sesuatu tinggal bilang aja. Kakak pasti usahakan yang terbaik buat kamu," tutur Vania dengan senyum lembutnya.
Perasaan bersalah itu kian menggerogoti relung hati Elea. Sekejam inikah dirinya, sehingga berniat mengkhianati kakaknya sendiri?
Agnes tersenyum melihat hal itu, ia justru sangat senang melihat kelembutan hati menantunya. "Kakakmu benar, Elea. Sekarang kamu juga sudah menjadi bagian keluarga kami. Jadi, jangan ragu untuk meminta bantuan apa pun. Kakak iparmu ini juga, pastinya akan lebih senang jika bisa membantu, bukan begitu, Rain?"
Elea hanya mengangguk singkat, tidak berani menatap wajah para orang baik itu. Ia merasa tak pantas diperlakukan sebaik ini.
"Ehem, kalian mau pulang? Aku akan mengantar," ucap Rain singkat.
"Mama sudah bawa supir, kau pulanglah bersama istrimu," ujar Agnes.
"Baiklah."
"Oh ya satu lagi. Ingat kata-kata Mama tadi, cepat ambil cuti," titah Agnes dengan wajah serius.
"Akan aku pikirkan nanti, ayo." Rain menanggapinya sambil lalu, ia berjalan langsung dan tanpa sadar meraih tangan Elea lalu digenggam erat.
"Rain?"
Ketiga wanita itu sangat terkejut melihat tingkah Rain, terutama Vania yang melotot melihat genganggam tangan itu. Elea sendiri buru-buru menarik tangannya.
"Kak Rain, aku akan pulang sendiri saja. Pergilah bersama Kakak, nikmati masa pengantin baru kalian." Elea berbicara cepat agar mengalihkan perhatian semua orang. "Kakak, aku pulang dulu, ya. Maaf karena sudah menemui suami kakak, tanpa izin. Lain kali aku tidak akan datang lagi. Bye kakak!"
Elea terburu-buru pergi setelah mencium tangan Vania dan juga Agnes. Wanita itu sangat takut jika mereka akan semakin curiga dengan tingkah Rain barusan. Rasanya jantungnya saat ini ingin meledak karena rasa takut yang luar biasa.
Sementara Vania hanya diam, ia masih memandang kepergian Elea dengan tatapan yang tidak bisa.
"Apakah benar, ini hanya sebuah kebetulan?" batin Vania penuh tanya.
***
Temui aku di hotel DeLuna jam 10 malam. Jangan terlambat! Rain.
Elea berdecak pelan saat melihat sebuah pesan yang baru saja masuk di ponselnya. Wanita itu masih tiduran manja di rumahnya karena tidak ingin pergi kemana pun. Sejak tadi hatinya sangat was-was, seperti dihantui rasa takut yang entah karena apa.
"Apa aku harus melakukan ini?" gumamnya dengan perasaan campur aduk.
Jujur disatu sisi Elea tidak ingin menjatuhkan dirinya terlalu dalam kedalam lumpur dosa itu. Tapi disatu sisi ia juga tidak bisa merelakan begitu saja segala hinaan dari Gavin dan Mega. Ia merasa harus memberikan pelajaran kepada mereka agar tidak semena-mena padanya.
"Rasa sakit harus dibalas juga dengan rasa sakit. Jika rasa sakit dibalas maaf, itu sangat tidak adil."
Elea akhirnya bertekad bulat, ia harus melakukan kegilaan ini untuk membalas dendam kepada mantan kekasihnya itu. Ia bergegas bangkit lalu mengambil pakaian terbaiknya di lemari. Sebuah gaun malam berwarna merah darah yang sangat menggoda. Tubuhnya yang sangat ideal tampak semakin cantik menggunakan pakaian itu.
Wajahnya sendiri tak perlu banyak dihias, ia sudah tampil cantik natural dengan mata bulatnya yang indah. Bibirnya tipis dan berwarna merah ceri. Tidak ada yang akan berpaling dari Elea dan dirinya yakin tidak akan ada yang bisa mengatakan kalau Elea tidak cantik. Dia benar-benar wanita yang sempurna.
Setelah semuanya siap, ia langsung saja berangkat menuju tempat yang sudah ditentukan oleh Rain. Wanita itu menggunakan berbagai alasan agar keluarganya tidak curiga.
***
"Kau akan pergi lagi?"
Vania bertanya dengan nada yang heran saat melihat suaminya sudah tampil sangat tapi dengan setelan jasnya. Padahal ini adalah jam makan malam dan Vania baru saja memasak banyak untuk Rain.
"Hem." Rain menyahut singkat, sibuk membenarkan jam tangannya.
"Bukankah pekerjaanmu sudah selesai? Ini sudah malam, Rain. Aku juga sudah masak banyak, ayo makan bersama," ajak Vania.
"Aku masih ada urusan."
"Urusan apa memangnya? Apa sepenting itu sampai harus kau lakukan saat ini juga?" cerca Vania.
Rain melirik Vania sedikit tajam, tampak sangat tidak suka dengan pertanyaan itu. "Kau lupa dengan posisimu, Vania? Jangan ikut campur urusanku!"
"Kenapa tidak boleh? Aku seperti ini karena aku istrimu, Rain. Kau tidak bisa menganggap pernikahan ini sebagai bahan lelucon!" seru Vania mulai kesal.
"Tdiak ada yang serius dalam pernikahan ini. Termasuk hubunganmu denganku, kita tetap orang asing, Vania."
"Itu bagimu, tapi bagiku kau tetaplah suamiku yang sah, Rain! Seorang suami yang harus aku hormati."
"Ck, kau ini sangat kuno. Enyahlah dari hadapanku!" Rain sama sekali tidak senang dengan sikap Vania ini, pria itu justru mendorong bahu kecil istrinya agar menjauh.
"Kenapa? Kenapa kau terus menolakku, Rain. Apa ada wanita lain diluar sana yang lebih menarik dari aku?" Vania berteriak kesal tapi Rain tidak menggubrisnya.
"Jawab aku, Rain! Apa ada wanita diluar sana yang lebih menarik dari aku? Benar bukan, apakah dia adikku?"
Langkah kaki Rain seketika berhenti mendengar pertanyaan itu. Pria itu cukup terkejut Vania bisa berkata seperti itu.
"Benar kan? Kau dan Elea ada sesuatu?" Vania tersenyum kecut, sejak tadi siang sudah sangat curiga dengan sikap Rain dan kedatangan adiknya di kantor.
Sebagai orang yang mengenal Elea dari kecil, Vania paham betul ada sesuatu yang disembunyikan oleh wanita itu. Dan entah kenapa Vania merasa, semua itu ada kaitannya dengan suaminya ini. Sungguh Vania tidak ingin curiga, tapi hatinya sendiri juga tidak tenang.
"Jawab aku, Rain. Apa hubunganmu dengan adikku?"
Bersambung.