Bab 8. Menyerahkan Diri

1130 Words
Rasa amarah yang membabi buta menguasai diri Elea. Wanita itu begitu muak dengan sikap semena-mena kedua pengkhianat itu. Nyatanya semua kebaikannya selama ini hanya dimanfaatkan oleh mereka semua. Lalu, untuk apa harus menjadi orang baik jika ujung-ujungnya terus disakiti. Dendam itu benar-benar sudah sampai dititik muak Elea. Wanita yang sebelumnya hanya ingin membalas perbuatan mereka dengan sebuah pencapaian, mulai berpindah haluan. "Mereka yang memulai segalanya, jangan salahkan aku jika aku menuruti cara yang mereka mainkan. Elea yang dulu sudah mati!" Sepulangnya dari kuliah, Elea nekat menemui seseorang yang sebenarnya menjadi sosok terlarang baginya. Ia sudah tidak peduli lagi, ambisi dalam dirinya benar-benar sangat besar dan merasuk ke dalam hatinya yang terdalam. "Nona Eleanor?" Panggilan itu mengalihkan Elea sejenak, ia terlihat sedikit kebingungan saat melihat sosok pria tampan yang berdiri di depannya. Ia lalu memandang ke arah lainnya, ke sebuah lobi perusahaan yang sangat mewah itu. "Siapa kau?" tanya Elea dengan dahi berkerut. "Saya Mario, Nona. Anda sudah ditunggu Tuan Rain didalam." Elea mengerutkan dahinya lebih dalam, sedikit kebingungan. Kenapa pria ini tahu jika ia ingin menemui Rain? Tapi bodo amatlah, yang terpenting sekarang ia harus memulai pembalasannya. Dengan bantuan Rain, ia yakin bisa membuat para cecunguk itu menyesal. "Antar aku ke dalam." *** Rain memandang sosok Elea yang baru saja datang. Tanpa bertanya pun pria itu tahu Elea sedang menahan emosi yang sangat luar biasa. Wajahnya yang cantik tampak memerah dan hembusan napasnya terdengar kasar. Ia menganalisa, apa yang membuat wanita cantik ini sampai nekat datang menemuinya? "Aku datang ingin menyerahkan diriku." Elea langsung berbicara karena Rain tak kunjung bertanya. Rain mengangkat alisnya, tidak terlalu paham akan ucapan wanita di depannya ini. "Kau memintaku untuk menjadi pel4curmu bukan? Aku setuju." "Ada apa gerangan? Secepat itu kah kau berubah pikiran?" Rain tertawa mengejek meski hatinya begitu senang mendengar ucapan Elea ini. Tangan Elea mengepal erat, wanita itu benar-benar sudah membuang rasa malunya. Toh baginya tidak ada yang salah, ia tidak berniat merebut Rain atau memilikinya. Disini ia hanya ingin menawarkan sebuah kerjasama yang sama-sama menguntungkan. "Ya, bukankah lebih cepat lebih baik? Katakan, kapan kau ingin memulai perjanjian ini?" ucap Elea. Rain terkekeh-kekeh, pria itu bangkit dari duduknya lalu menghampiri Elea. Ia memerangkap wanita itu di sofa. Elea hanya diam, menatap wajah Rain yang sangat dekat sekali dengannya ini. "Sialan, kenapa dia sangat dekat sekali. Jantungku, astaga!" batin Elea tak tahan akan pesona kakak iparnya yang bermata tajam bak elang ini. "Aku sangat tidak suka bermain-main. Sekali kau mengatakan sesuatu, maka selamanya akan aku ingat. Sekarang aku bertanya, apa kau yakin ingin melakukan perjanjian ini?" Rain berbicara lambat-lambat, tangan besar itu perlahan menyentuh rambut kecoklatan Elea yang membasahi dahinya. Elea menelan ludahnya kasar, sedetik kemudian ia memejamkan matanya singkat. "Aku juga tidak sedang bermain-main. Aku datang dengan suka rela dan sadar. Aku ingin kau melakukan sesuatu untukku." "Katakan!" "Mega Alexander, aku ingin kau menghancurkan usaha keluarganya. Buat dia sampai dititik terendah dalam hidup," ucap Elea dengan penuh kebencian. Rain tidak langsung menjawab, ia menatap lekat-lekat wajah Elea yang penuh dendam itu. Tampak sangat marah namun sangat cantik, penuh dendam tapi begitu menarik perhatian. Sedikitpun Rain tak bisa berpaling dari wanita yang sudah menjadi adik iparnya ini. "Apa yang akan aku dapatkan?" Elea menatap Rain dengan sedikit tajam, ia tersenyum sinis lalu sedikit menarik dasi pria itu. Rain mengangkat alisnya, baru seperti ini saja tubuhnya sudah bereaksi. "Apa pun yang kau minta akan aku lakukan. Termasuk mendesah diatasmu," bisik Elea dengan sangat berani mengigit leher Rain hingga meninggalkan bekas merah yang sangat terlihat. Rain mendesis pelan, pria itu mendorong Elea hingga terhempas di sofa lalu mengungkungnya. Elea terlihat sangat terkejut, tapi ia hanya diam. "Kau sudah mengatakannya, ucapanmu tidak akan bisa kau cabut lagi. Mulai detik ini, kau adalah pel4curku," kata Rain. Elea tersenyum kecut, sakit sebenarnya mendengar kata-kata. Tapi bukankah itu semua benar adanya? "Kenapa kau terus mengulangi kata-kata yang sama? Aku sudah menyerahkan diriku, artinya aku adalah milikmu. Aku harap kau tidak menggunakan perasaan disini, Rain Arthur?" Elea tersenyum tipis, sedikit menggoda Rain dengan menyentuh dad4 bidang pria itu, tapi secepat kilat Rain mencekal tangannya. "Tidak ada kata cinta dalam kamus seorang Rain, seharusnya kau yang harus berhati-hati. Jangan sampai jatuh, Eleanor!" Rain balas tersenyum sinis sebelum mencium tangan halus Elea dengan penuh hasrat. Elea mengigit bibirnya, ia memberanikan diri untuk menyentuh rambut Rain perlahan. Dengan kesadaran penuh hari itu Elea memulai hal tergila dalam hidupnya. Menyerahkan dirinya untuk menjadi p3lacur dari kakak iparnya sendiri. Ia menerima setiap sentuhan dari pria yang sudah menjadi suami kakaknya ini dengan hati bersalah yang tak karuan. "Maafkan aku, kakak. Aku bersumpah tidak akan merebutnya darimu. Maafkan aku ..." Rain mencium bibir Elea perlahan, tidak seperti sebelumnya yang penuh hasrat. Ia seperti menemukan sebuah irama yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, kali ini hatinya seperti menyuruhnya untuk melakukan itu. Setiap sentuhan yang ia lakukan benar-benar sangat lembut sekali. Elea mulai terlena, ia membantu Rain melepaskan jas tebal yang membalut tubuhnya lalu mengeluarkan kemeja itu dari celananya. Ciuman mereka terjeda sejenak untuk saling menatap mata masing-masing. Tapi hanya sesaat sebelum kemudian Rain mencium Elea kembali lalu menurunkan dress yang membalut tubuh ranum Elea, mencium bahunya yang seputih s**u dan mengusap lembut pahanya yang menggoda. Rain mulai gerah, meski belum melihat Elea tel4njang, ia sudah sangat tergoda sekali. Ia semakin tak sabar ingin meloloskan semua pakaian itu, namun suara ponsel yang berdering mengacaukan segalanya. "Brengsekkk!" Rain mengumpat kesal sambil memukul sofa disamping Elea. "Angkat saja dulu, siapa tahu penting," kata Elea mencoba menutupi tubuhnya yang sedikit terekspos. Rain berdecak pelan, ia terpaksa bangkit dari atas tubuh Elea lalu mengambil ponselnya. Ia baru saja ingin mengangkat telepon itu, tapi tiba-tiba panggilan itu berhenti. Tak lama kemudian ada sebuah pesan masuk. "Nona Vania datang bersama Nyonya besar, Tuan!" Rain membaca pesan yang dikirimkan oleh Mario. Dilihatnya Elea yang mencoba merapikan bajunya. "Kakakmu datang," ucap Rain. "Apa?" Elea membulatkan matanya syok, wajahnya sangat panik mendengar dua kata yang diucapkan Rain. Wanita itu buru-buru bangkit dari duduknya dan mengambil tas miliknya. "Astaga, bagaimana ini? Kak Vania bisa curiga kalau melihatku ada disini." Rain berdecak pelan, ia mendekati Elea dan memegang tangan wanita itu. "Rain! Apa yang harus aku lakukan? Aku harus sembunyi dimana?" bentak Elea panik. "Kalau kau panik dia justru akan sangat curiga, tenangkan dirimu," ujar Rain sedikit menghapus lipstick Elea yang sedikit belepotan karena ulahnya tadi. "Temui dia seperti biasanya, katakan saja kau ada perlu kesini. Jangan terlalu berlebihan, ini bukan masalah besar." "Kau gila apa? Kak Vania itu sangat pintar, dia tidak akan semudah itu percaya, Rain! Aku harus sembunyi," sembur Elea geram sendiri melihat ketenangan Rain ini. "Elea?" Baru saja Elea melangkahkan kakinya untuk mencari tempat persembunyian, tapi ia justru dibuat kaget dengan suara lembut yang memanggil namanya. Tubuhnya seketika membeku dan tidak bisa digerakkan. Untuk menoleh pun tidak berani, apa yang harus ia katakan sekarang?" Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD