Suara Ratna terputus tatkala Vania mengejutkan mereka. Gadis itu masuk ke dalam kamar dengan langkah yang lunglai.
"Putriku, ada apa? Bagaimana semalam? Apakah kau ..." Ratna langsung saja mendatangi putrinya, wanita itu menarik lembut lengan Vania dan mengajaknya bicara berdua.
Vania melirik ibunya sekilas, paham betul apa yang ditanyakan oleh wanita yang telah melahirkannya ini. "Rain sangat baik padaku ibu," ucap Vania tersenyum simpul, menutupi rasa getir dihatinya.
"Dia memang sangat baik, mau menikah dengan wanita miskin seperti diriku. Tapi dia ..."
"Benarkah? Itu artinya dia mulai menyukaimu, Sayang." Ratna bertepuk tangan senang. "Ibu doakan, semoga rumah tangga kalian selalu baik-baik saja dan dijauhkan dari mata jahat."
Vania mengangguk-angguk mengerti. "Aku kesini cuma mau bilang, sepertinya hari ini Rain akan mengajakku pindah rumah," ujar Vania.
"Pindah? Ke rumah orang tuanya yang megah itu?"
"Bukan, tapi Rain sudah membeli rumah sendiri. Dia bilang dekat dengan kantor, jadi aku bisa mudah kemana-mana. Rain sangat baik 'kan, Bu? Dia mementingkan aku dulu daripada hal lainnya," jelas Vania berbohong, sebisa mungkin ia tidak membuat orang tuanya cemas. Mengingat saat ini ada beban besar dalam pundak Vania.
"Wah, suamimu memang sangat baik, Sayang. Ibu dan Ayah pasti setuju kalau kalian ingin pindah, tapi jangan lupa sering-sering main yah?" Ratna kian bersemangat.
"Pasti, aku akan sering datang. Bagaimana pun juga, Ayah, ibu dan Elea adalah tempatku berpulang."
Ratna berdecak pelan. "Kau begitu menyayangi adikmu, dia lama-lama jadi besar kepala," tukas Ratna.
"Dia masih belum dewasa, suatu saat nanti dia pasti mengerti. Ibu, tolong jangan terlalu membencinya," tutur Vania memegang tangan ibunya dengan lembut.
Ratna tersenyum tipis, ia mencubit pelan pipi Vania lalu memberikan pelukan hangat. "Kau memang anak yang sangat baik, ibu sangat bangga padamu."
Vania ikut tersenyum dan membalas pelukan ibunya. Mereka berdua berpelukan tanpa sadar jika ada sepasang mata yang menatapnya dengan tatapan sendu.
Elea berdiri diambang pintu dengan wajah yang murung. Melihat bagaimana kedekatan itu membuat hatinya terasa perih. Melihat bagaimana ibunya memeluk Vania dengan penuh kasih dan sayang. Sebuah pelukan yang hampir tak pernah Elea dapatkan selama ia hadir di dunia ini.
"Apa aku tidak pantas untuk disayangi?" lirih Elea tersenyum getir. Menyadari betapa malang nasibnya saat ini.
Tak ingin berlarut-larut dalam perasaan sendu, Elea beranjak dari tempatnya lalu masuk ke dalam kamar. Wanita itu sepertinya butuh waktu untuk sendiri agar otaknya ini bisa lebih fresh. Kepalanya terlalu sakit memikirkan masalah yang datang bertubi-tubi akhir-akhir ini.
Elea merebahkan tubuhnya di kasur, wanita itu memejamkan matanya sebentar. Tapi sesaat kemudian terdengar suara pintu kamarnya terbuka.
"Ck, kak Vania?" Elea berdecak tanpa membuka mata, kepalanya benar-benar sakit sekali.
Tidak ada sahutan apa pun, Rain berdiri disana dan menatap Elea dengan tatapan yang sulit diartikan. Pria itu kemudian mendekati Elea, menyentuh lembut bahu wanita itu.
"Jangan menggangguku, kak. Aku mau tidur!" seru Elea menganggap jika orang yang menyentuh lengannya itu adalah Vania.
"Kau baru saja bangun, kenapa tidur lagi?" ucap Rain.
Elea terkejut bukan kepalang, ia sontak membuka matanya hingga menatap mata tajam bak elang milik Rain.
"Untuk apa kau disini?" Wajah Elea seketika panik, ia melihat ke arah pintu, takut jika ada keluarganya datang.
Bukannya menjawab, Rain justru menyentuh dahi Elea membuat sang empunya sangat terkejut. Tapi ucapan Rain selanjutnya semakin membuat Elea terkejut.
"Semalam kau pingsan? Tdiak apa-apa kah?"
Elea membesarkan matanya, sama sekali tidak menyangka jika Rain akan perhatian begini padanya.
"Aku bukan khawatir padamu, aku hanya bertanya."
Namun ucapannya kemudian membuat Elea seperti terhempas ke dalam sebuah jurang yang suram. Wanita itu tersenyum kecut, hampir saja ia merasa percaya diri.
"Untuk apa kau peduli? Urus saja urusanmu sendiri, kau akan pindah rumah 'kan? Pergi sana!" usir Elea.
Rain tidak menjawab apa pun, ia mengeluarkan sebuah ponsel keluaran terbaru yang pastinya belum ada yang punya, dari dalam saku jasnya lalu menyerahkannya pada Elea.
"Disini sudah ada nomorku, katakan saja apa yang kau butuhkan. Aku pasti akan memberikannya, tapi jangan coba-coba menghubungi pria lain selain aku," kata Rain.
Elea tidak langsung menerima benda itu. "Untuk apa kau memberikanku ponsel? Aku sudah punya."
"Bisakah jangan membantah? Terima saja benda ini, dan aku minta segera bereskan barang-barangmu. Malam ini, kau harus ikut denganku."
"Ikut?" Elea semakin bingung, tidak mungkin kan Rain akan mengajaknya tinggal bersama kakaknya?
"Cukup lakukan saja tugasmu, Eleanor. Cukup tadi malam saja aku rugi karena kau gagal tidur denganku, tidak untuk malam ini."
Elea membuka mulutnya tak percaya. Ternyata Rain ingin mengajaknya pindah hanya untuk bercinta? Gila! Haruskah ia melakukan hal itu?
"Eh?" Elea hampir saja berteriak saat melihat wajah Rain yang tiba-tiba sangat dekat dengannya, kapan pria itu pindah?
Rain diam, auranya sangat dingin hingga membuat Elea membeku. Tanpa mengatakan apa pun, pria itu menyentuh pipi Elea perlahan.
"Kau sudah menjadi milikku, Elea. Seseorang yang sudah menjadi milik Rain, tidak akan pernah lepas meksipun kau berusaha. Bersikap baiklah jika memang ingin hidupmu aman. Kau mengerti?"
Elea menelan ludahnya kasar, sangat takut sekali melihat wajah Rain yang ia nilai sangat menyeramkan. Selain itu kata-kata Rain sangat menusuk hingga membuat ia tak kuasa untuk menggelengkan kepalanya. Wanita itu dengan gemetar mengangguk pelan.
"Bagus, aku harap kau tidak mengecewakanku kali ini," ucap Rain menepuk-nepuk lembut pipi Elea lalu bangkit dan pergi begitu saja.
Elea menghembuskan napas lega, rasanya seperti baru saja keluar dari tempat yang sangat pengap dan menyesakkan.
"Pria itu sangat gila, bisa-bisanya dia meneroroku seperti ini," umpat Elea geram sendiri. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?"
***
"Wow, ini ponsel keluaran terbaru. Aku baru kemarin melihat iklannya di TV. Tapi kau sudah mempunyainya, Elea?"
Seruan heboh itu terdengar saat Elea membawa ponsel terbarunya ke kampus. Wanita itu sengaja ingin memamerkan benda itu karena akan mendapatkan pujian yang menyenangkan.
"Tentu saja, aku bahkan bisa mendapatkan 10 ponsel seperti ini dalam satu malam," sahut Elea dengan sombongnya.
"Gila, kau menjadi sangat kaya sekarang. Gavin pasti menyesal telah berselingkuh dengan Mega," kata Cherry, salah satu teman Elea.
Elea mendengus kesal, mendengar nama Gavin mengingatkannya pada malam menyakitkan itu.
"Tuh, baru juga diomongin. Malah Dateng sama Mega, dih."
Elea menoleh, dilihatnya Gavin datang dengan bergandengan mesra bersama Mega. Kedua pasangan itu sengaja memamerkan kemesraan mereka sehingga membuat hati Elea sangat panas. Tangannya mengepal erat seolah ingin memukul kedua wajah manusia pengkhianat itu.
"Hai, Elea," sapa Mega dengan senyuman sumringah, sengaja berhenti tepat disamping wanita itu duduk.
Elea tersenyum jengah, seketika langsung berpura-pura sibuk dengan ponselnya.
"Elea, kau apa kabar?" Kali ini Gavin yang bertanya membuat Elea mengangkat wajahnya.
"Sangat baik, bahkan lebih baik setelah terbebas dari sampah sepertimu," celetuknya asal.
Ucapannya itu membuat teman-temannya tertawa mengejek, tapi Gavin masih bersikap sangat tenang. Ia tahu kalau Elea ini masih menyimpan perasaan padanya.
"Elea, ayolah. Jangan bilang kau masih mencintai kekasihku. Cobalah lupakan dia, karena sebentar lagi akan ada jari manis yang melingkar di jari manis kami," ucap Mega dengan sengaja.
Elea mengerutkan dahinya lebih dalam, ia melirik keduanya dengan tatapan kesal yang tidak ditutupi.
"Kalian akan menikah?" tanya Cherry.
"Hahaha belum Cherry, tapi akan segera." Mega membantahnya dengan tawa renyah. "Sebenarnya kami datang ingin memberikan ini," lanjutnya sambil menyerahkan beberapa undangan diatas meja.
Cherry segera mengambilnya dan melihat undangan itu. "Tunangan? Wow, secepat ini?" serunya.
Elea mengigit bibirnya, wajahnya mulai gusar mendengar hal itu. Tapi wanita itu hanya diam saja.
"Keluarga Gavin sudah sangat setuju denganku. Kalian tahu sendiri kan, ayahku adalah pengusaha yang sukses. Tidak ada lagi alasan yang membuat keluarga Gavin menolak, jadi untuk apa menunda-nunda, bukan seperti itu, Elea?"
"Ya, kalian memang pasangan yang cocok. Sama-sama membosankan," tukas Elea mulai tak bisa menahan emosinya.
"Elea, kau marah?" Mega tertawa sinis, akhirnya bisa membuat seorang Elea terpancing.
"Marah? Tentu saja tidak, aku justru senang. Aku ucapkan selamat untuk kalian, semoga saja priamu ini tidak akan berselingkuh seperti yang kalian lakukan padaku," sergah Elea.
"Aku rasa Gavin tidak akan seperti itu. Karena dia sudah menemukan pasangan yang derajatnya sepadan. Sedangkan denganmu ...." Mega memandang Elea dari atas sampai bawah dengan sorot mata yang merendahkan.
Elea mengepalkan tangannya sangat kuat, sudut matanya kembali basah mendapatkan perlakuan yang sangat menyakitkan ini.
"Sudahlah, Sayang. Biarkan saja dia, toh dia pasti sadar akan posisinya. Wanita miskin, tidak pantas untuk mendapatkan pria yang kaya. Akan sangat konyol jika hal itu terjadi dan jika pun ada, pria itu pasti sangat sial sekali," sahut Gavin kian mengejek Elea.
Ucapannya itu nyatanya membuat teman-teman Elea menahan tawanya, seolah ikut mengejek Elea hingga sakit hati itu kian bertambah. Rasa sakit yang begitu menyakitkan seperti ditusuk-tusuk jarum yang begitu banyak.
"Apa harus semeyedihkan ini menjadi orang miskin? Jika aku boleh meminta, aku pun tidak aku ingin terlahir miskin!"
Bersambung.