Bab 10. Miliki Aku, Rain

1075 Words
Rain menarik napas dalam-dalam, dilihatnya Vania yang kini tengah mengeluarkan air mata yang membuat dirinya sangat muak sekali. "Bisakah kau berhenti berbicara omong kosong, Vania?" ucapnya dengan nada jengkel. "Aku begini agar kau bisa hidup dengan bebas tanpa adanya tuntutan pernikahan paksa diantara kita. Aku tahu, kau pun tidak mencintaiku bukan? Lalu, untuk apa kita harus terus berpura-pura bahagia? Bukankah begini lebih baik, aku tidak keberatan jika kau ingin memiliki pria lain diluar sana. Tenang saja, aku pastikan namamu tetap baik didepan keluargaku." Vania menggelengkan kepalanya tidak percaya, sungguh perkataan Rain begitu menyakiti hatinya. "Kau pikir aku wanita apa, Rain? Kita menikah dengan disaksikan oleh, Tuhan. Apa Setega itu kamu ingin mengkhianatinya?" "Ck, tidak ada gunanya." Rain mengibaskan tangannya sambil lalu, ia sudah tidak ingin berdebat dengan Vania karena hal itu hanya akan membuang waktunya saja. Vania yang melihat suaminya akan pergi tiba-tiba berpikir gila. Wanita itu bergegas menyusul Rain lalu menarik tangannya dan tanpa ragu langsung mencium bibirnya dengan panas. Kali ini ia tidak boleh membiarkan pergi. *** Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam saat Elea masuk ke dalam kamar hotel yang sudah dipesan sebelumnya. Wanita itu menunggu kedatangan Rain sambil menikmati minuman yang sudah tersedia disana. Cukup lama sampai kepalanya cukup pusing dan kesadarannya hampir hilang. Namun, Rain tidak menunjukkan batang hidungnya sama sekali. "Kemana pria itu?" gumam Elea penuh tanya. "Dia bilang aku tidak boleh terlambat, tapi dia sendiri yang terlambat." Elea menggerutu sebal, wanita itu cukup kesal pastinya karena dibiarkan menunggu sangat lama. Ia pun memutuskan untuk menghubungi Rain tapi panggilan itu tidak tersambung. "Sialan, apa dia sengaja mempermainkanku?" umpatnya semakin kesal. Elea mencoba bersabar sedikit saja, bukannya sangat ingin Rain datang. Tapi tetap saja merasa sangat kesal karena sebelumnya sudah ada janji. Kalau memang tidak ingin bertemu, harusnya tidak perlu membuat janji, begitulah pikirnya. Satu jam berlalu dengan cepat dan Rain nyatanya tidak menunjukkan batang hidungnya sama sekali. Elea sudah begitu jengah, wanita itu sejak tadi terus meminum anggur di depannya sampai ia sangat mabuk. "Kurang ajar, dia benar-benar mempermainkanku rupanya. Tapi baguslah, aku bisa tidur dengan tenang tanpa harus melayaninya." Elea bangkit dari duduknya, sudah terlalu lelah menunggu hingga ia memutuskan untuk tidur saja disana. Kepalanya juga sangat pusing sekali, tidak mungkin dia akan pulang dalam keadaan begini. Sebelum ia terjatuh ke alam bawah sadarnya, ia sempat menatap kearah pintu. Berharap Rain akan datang, namun harapannya itu sia-sia saja. * Vania sangat nekat sekali, wanita itu memaksa Rain untuk menerima ciumannya. Ia dengan sangat agresif membuka kemeja suaminya dengan cepat. Sebagai pria normal, Rain tentu terpancing dengan sikap Vania ini. Tanpa sadar ia membalas ciuman itu hingga keduanya hanyut dalam suasana yang tercipta. Vania mungkin bukan wanita yang berpengalaman, tapi ia paham betul bagaimana cara membuat laki-laki takhluk. Ia tanpa ragu mendorong tubuh Rain hingga terhempas di ranjang lalu perlahan-lahan ia merangkak diatasnya. Vania menunggu sesaat sebelum perlahan-lahan membuka baju yang dipakainya hingga tubuhnya terpampang indah di depan Rain. Takjub pastinya, Rain menelan ludahnya kasar. Berbohong kalau ia mengatakan tidak tergoda dengan tubuh indah istrinya ini. Begitu padat dan sangat-sangat indah. "Sentuh aku, Rain." Perlahan-lahan Vania meraih tangan Rain lalu menyentuhkannya ke arah dad4nya, mengusapnya dengan gerakan yang menggoda agar suaminya itu terangsang. "Miliki aku, Rain." Vania benar-benar lihai, wanita itu kemudian menunduk dan menjilat leher Rain hingga ke telinganya. Wanita itu begitu gemas karena Rain sangat kaku sekali. Tapi Rain tidak menolak akan sikapnya ini, jadi Vania menilai kalau Rain setuju akan hal yang diperbuatnya ini. "Aku tahu dia pasti hanya butuh waktu. Malam ini juga kita harus melakukannya, kita sudah sah menjadi suami istri dan tidak ada halangan lagi untuk hal itu," batin Vania. Vania tersenyum lembut sebelum mencium bibir Rain kembali, ia ingin melepaskan semua penghalang diantara keduanya dan sudah bersiap untuk melakukan tugasnya. Namun sedetik kemudian Vania begitu terkejut saat tubuh kecilnya tiba-tiba terhempas dengan sangat keras. Wanita itu membesarkan matanya, kaget saat melihat Rain yang ternyata sudah mendorongnya dengan sangat kasar sekali. "Ra-in?" Bibir Vania bergetar memanggil nama pria itu, tatapan matanya terlihat berkaca-kaca. Rain mengertakkan giginya, tanpa mengatakan apa pun ia langsung meraih kemejanya lalu pergi begitu saja. Jantungnya berdetak tak karuan hingga kepalanya terasa ingin meledak. Hampir saja ia melakukan hal yang pastinya akan disesalinya seumur hidup. Ia mungkin br3ngsek, tapi tidak akan segila itu menyentuh wanita yang keperawanan adiknya sudah ia renggut. Sementara Vania hanya menangis sejadi-jadinya di kamar yang sepi itu. Meratapi kemalangan hidup yang hinaan luar biasa dari suaminya. "Kau benar-benar jahat, Rain. Apa salahku?" jerit Vania mengamuk membuang apa saja yang ada didalam kamar yang menjadi neraka baginya. *** Rain datang ke kamar hotel yang saat ini ditiduri oleh Elea. Pria itu cukup kaget saat melihat Elea masih meringkuk disana. Dengan perlahan ia mendekatinya, menatap wajah cantik Elea yang terlelap begitu nyaman. Rain menghela napas panjang, tanpa sadar tangan itu mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipi Elea, mengusapnya lembut dengan perasaan yang sulit untuk Rain gambarkan. Merasa mendapatkan sentuhan yang sangat lembut membuat Elea membuka matanya. Wanita itu sedikit mengerutkan dahi saat melihat Rain, tapi sesaat kemudian wajahnya terlihat kesal. "Untuk apa datang kesini? Pulang sana! Tidurlah di pelukan kakakku!" seru Elea melantur. "Kau mabuk?" Rain berdecak pelan saat mencium bau alkohol yang sangat menyengat dari mulut Elea. "Kenapa? Apa kau mau meminta bercinta sekarang? Ayo lakukanlah." Elea benar-benar tidak sadar, wanita itu melepaskan dress yang dipakainya. Rain semakin berdecak, ia menahan tangan Elea. "Kau mabuk, sebaiknya istirahat saja." Elea menggelengkan kepalanya cepat-cepat, wanita itu bangkit dari duduknya lalu langsung merangkul Rain. Rain hanya diam, menatap lekat-lekat wajah Elea yang sangat cantik itu. "Apa ... kau sudah bercinta dengan kakakku?" Elea bertanya dengan wajah cemberut, entah kenapa ia berpikir kalau Rain lama datang karena sudah berhubungan dengan Kakaknya. "Kenapa kau bertanya seperti itu?" Rain mengangkat alisnya. "Kakakku lebih cantik ya?" Wajah Elea tiba-tiba berubah murung. "Dia sangat hebat kan? Dari dulu banyak yang suka padanya daripada aku. Dia juga sangat beruntung bisa menikah denganmu. Sedangkan aku ..." Elea berbicara sangat pelan, seolah melupakan isi hatinya yang terpendam selama ini. "Kau lebih cantik dari dia," ujar Rain. Elea menggelengkan kepalanya pelan. "Bukan, dia tetap pilihan yang terbaik untukmu. Kita sangat tidak bisa dibandingkan, karena dia memang lebih hebat dariku, Rain. Cintailah Kakakku, jangan aku." Rain mengerutkan dahinya, entah kenapa ia tidak senang mendengar ucapan Elea yang ini. Ia menarik pinggang Elea dengan kasar hingga tubuh mereka menempel sangat erat. "Kau tidak berhak untuk mengatur hidupku, Elea. Siapa orang yang aku cintai, bukan urusanmu. Cukup, lakukan saja tugasmu sebagai pel4curku." Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD