1. Hari Senin

2158 Words
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ Diam-diam memperhatikan. Diam-diam menyimpan rasa. Diam-diam bahagia, ketika dia yang dicinta bertanya. ~Sembunyi Rasa~ @JaisiQ Aku mengikat tali sepatuku di teras rumah. Tak lama kemudian telingaku mendengar suara mesin motor melewati rumahku. Motor itu ... milik Arkan. Aku melihat kepergiannya penuh harap. Kupejamkan mata resah. Apa yang aku harapkan dari dia? Kembali seperti dulu? Mustahil. Ya Allah, aku ini berpikir apa? Apa yang bisa aku harapkan lagi dari dia? Dia tetanggaku, sekaligus sahabatku. Ah, sahabat, ya? Ya, kami memang bersahabat sejak kecil. Tapi sekarang semuanya sudah berbeda. Memang ada ya, sepasang sahabat yang tidak saling menyapa atau hanya sekadar melirik? "Buu, Rumi berangkat, ya." Ibuku keluar, aku lantas mencium punggung tangan dia. "Assalamualaikum." "Waalaikumussalam. Hati-hati. Bawa payung, kan?" "Iya, Bu. Rumi bawa payungnya." Ibuku memang seperti itu. Kalau musim hujan tiba, dia tak pernah lupa memperingatiku untuk selalu membawa payung. Ah, ibuku itu memang paling perhatian. Tidak ada orang yang lebih perhatian selain ibu. Aku berjalan keluar dari area perumahan dan menghentikan angkutan umum. Hari Senin ini cukup ramai, aku kesulitan mencari angkutan umum lantaran penumpang yang penuh. Aku hanya berharap semoga tidak terlambat. Banyak remaja sekolah yang membenci hari Senin, mungkin karena upacara? Berjemur di bawah sinar matahari yang kerap membuat kulit gelap dan mendengar ceramah kepala sekolah yang panjang seperti kereta api. Tapi aku berusaha untuk tidak membencinya, meski kadang aku khilaf dan menggerutu. Hari Senin adalah hari di mana semua amalan disetorkan. Aku pernah mendengar sebuah hadis, Rasulullah bersabda, “ Amal-amal manusia diperiksa di hadapan Allah dalam setiap pekan (Jumu’ah) dua kali, yaitu pada hari Senin dan Kamis. Maka semua hamba yang beriman terampuni dosanya, kecuali seorang hamba yang di antara dia dan saudaranya terjadi permusuhan… ” (HR. Muslim). Selain itu, hari Senin adalah hari di mana Rasulullah lahir dan wafat. Hmm, aku sedang benci pada diriku sendiri. Seharusnya hari ini aku puasa Senin-Kamis, tapi karena malas sahur aku gagal menjalankannya. Setan itu benar-benar senang menggodaku. Tahu saja kalau imanku ini sedang turun. Dan lebih bodohnya lagi, aku kalah oleh godaannya. Memang menyebalkan. Jangan mengira aku perempuan shalehah. Aku hanya sedang berusaha mengumpulkan amal saleh agar hidupku tertata dengan baik. Aku tidak mau curang. Pintaku banyak sedang amalku pas-pasan. Akhirnya aku kembali sekolah setelah sekian lama libur akhir semester dan lebaran. Aku rindu teman-temanku, aku rindu duduk di bangku, aku rindu bersenda gurau dengan teman-teman dan belajar bersama. Ah, tapi, ini tahun terakhirku menuntut ilmu di sekolah itu. Wajarkah jika aku bersedih? Sebab dua tahun terakhir ini aku mengabiskan waktu di sana. Sekolah adalah rumah keduaku. Akan aku nikmati masa-masa terakhir ini dengan sukacita. Tidak ada yang boleh terlewatkan. Termasuk menghabiskan waktu dengan teman-teman. Aku memasuki kelas, duduk di sebelah teman sebangkuku dengan wajah riang. "Apa kabar, Nis?" tanyaku menyapa seraya melepas tas gendongku. Dia hanya menjawab 'baik' sambil menganggukkan kepala. Huh, ada apa dengan dia? Harusnya dia balas bertanya atau heboh karena ini pertama kali kita bertemu lagi setelah satu bulan lebih tidak berjumpa. Dia terlihat biasa-biasa saja. Kemarin malam juga saat aku tanya dia mau sekolah atau tidak jawabannya singkat. Jujur aku sakit hati jika didiamkan teman. Teman-temanku yang lain juga sama seperti Nisa, mereka tidak menyambutku dengan baik. Hanya aku yang bertanya kabar, sedangkan mereka seakan tidak menganggapku ada. Ada apa ini? Malahan, mereka yang kurang akrab denganku saja bisa bersikap ramah dan menanyakan kabar. Tidak apalah, mungkin temanku sedang ada masalah. Aku tidak boleh suudzon. Seperti biasa, hari pertama sekolah tidak akan langsung masuk ke proses belajar dan mengajar. Tidak ada guru yang masuk sampai akhirnya bel petanda pulang berbunyi tepat di pukul sepuluh. Semua murid berbondong-bondong keluar kelas sambil mengobrol tentang aktivitas mereka selama liburan. Tidak ada yang istimewa dengan hari liburku. Bagiku sama saja. Lagi-lagi aku tidak dianggap oleh Nisa. Dia pulang bersama Fika dan Dyah. Hey, padahal aku rindu kalian! Mengapa kalian tidak mengacuhkan aku seperti ini? Apa mereka setega itu padaku? Apa aku punya salah? Aku berusaha intopeksi diri, tapi ... aku sama sekali tidak menemukan jawaban. Setelah kupikir-pikir kembali, tetap saja, aku tidak tahu di mana letak salahku. Kulangkahkan kakiku keluar kelas, kelasku berhadapan dengan kelas TKJ alias Teknik Komputer Jaringan. Aku melihat anak TKJ juga sedang bubaran. Aku merasa asing, sebab teman dekatku tidak ada di sisiku. Hmm, baru hari pertama sekolah, tapi aku sudah galau seperti ini. Aku pikir, hari ini aku akan bahagia. Tapi ternyata lain dari harapan. Aku tidak suka. Ponsel yang ada di saku rok abuku bergetar, kurogoh saku dan melihat siapa yang mengkrimku pesan lewat whatsapp. Nisa! Ya! Aku senang bukan main. Wajahku langsung berubah. "Rum, aku tunggu di bascamp, ya. Jangan lama-lama!" Keningku mengernyit. Ada apa sebenarnya? Mengapa aneh sekali? Tadi Nisa cuek dan terkesan dingin. Tapi sekarang dia mengajakku bertemu. Apa dia sedang bermain-main denganku?  Baiklah, aku akan menyusulnya ke bascam sambil menduga-duga. Aku memasuki area bascamp yang sepi. Kepalaku celangak-celinguk melihat sekeliling. Di mana Nisa? Tiba-tiba.... Byurr!!! Sesuatu pecah di kepalaku, disertai dengan bubuk putih yang kupastikan itu adalah tepung. Aku merasakan kerudungku basah dan dingin. Astagfirullah?! "Happy birthday!! Barakallah fi umrik, Rumii, selamat ulang tahuuunnn!!!" Astagfirullahaladzim.... Aku mulai merasakan aroma tak sedap. Bajuku sudah kotor oleh terigu dan telur. "Hahahaha, Rumii, Rumii, maafin kita ya tadi sempet cuekin kamu." Mereka cekakak-cekikik. Dasar jail! "Tiup lilinnya, tiup lilinnya!!" seru mereka. Kue ulang tahun berbentuk bulat warna cokelat berada di tangan Dyah. Oh ternyata, aku dikerjain. Hampir saja aku sedih karena didiamkan. Tapi sekarang aku mengerti, mereka pasti sudah merencanakan ini jauh-jauh hari di belakangku. Mengapa aku tidak peka ya kalau sebenarnya hari ini umurku bertambah? "Aduh, aku pikir kalian itu marah, lho." "Kejutaan...." "Selamat ulang tahun yang ke 17, Rumi. Semoga panjang umur, sehat selalu, dan apa yang dicita-citakan tercapai," ucap Nisa. "Selamat ulang tahun, Rumi," tambah Fika. "Semoga makin cantik dan pinter. Penurut sama orang tua." "Traktiran nih, ke mana?!" sahut Dyah. "Semoga cepet dapet pacar." "Husttt!! Dia kan jomblo fisabilillah," timpal Nisa mengoreksi. Mereka terbahak. Aku belum bisa berkata apa-apa, pasti sekarang keadaanku sudah tak menentu. Ya Allah. Bagaimana ini? "Hahaha, tadi wajahnya sedih gitu waktu kita kerjain." "Berarti rencana kita berhasil!" Mereka bertepuk tangan gembira. Di sini aku yang menderita. "Ya udah tiup lilinnya!" ucap Dyah yang sedari tadi memegang kue ulang tahun yang kelihatannya memang lezat. "Tiup! Tiup! Tiup!" Tiup lilin? Sebenarnya aku tidak mau meniupnya, tapi bagaimana caranya aku menolak? Aku takut menyinggung perasaan mereka. Apa yang harus aku lakukan? Lagi-lagi aku kalah oleh rasa takut. Ya Allah, maafkan aku. Kutiup lilin berbentuk angka 17 itu. Aku janji ya Allah, ini untuk terakhir kalinya. Mereka pun tertawa bersama. Tanpa tahu bahwa sekarang aku merasa kecewa pada diriku sendiri. "Aku seneng kalian inget ulang tahun aku. Itu artinya kalian perhatian. Tapi aku mohon, jangan diulangin lagi," ucapku sedikit memelas. "Iyalah, kan nanti kita nggak bakal satu sekolah lagi," jawab Nisa seraya melirik Fika dan Dyah. "Iya, nih, ini tahun kita terakhir di sekolah ini," tambah Dyah. "Nanti mah nggak bakal lagi. Mau ketemu juga bakalan susah." "Bukan. Bukan itu alasannya. Aduuh gimana ya jelasinnya." Aku tahu, mereka tidak akan mengerti. Istilah ulang tahun itu tidak ada dalam agama kami. Yang aku tahu, perayaan hari raya dalam Islam hanya ada Idulfitri dan Iduladha. Selain daripada itu jatuhnya bid'ah dan ulang tahun itu menyerupai kaum kafir. Aku memang tidak begitu paham ilmu-ilmu agama, pengetahuanku masih cetek bahkan di bawah rata-rata. Tapi mengenai ulang tahun, aku sudah menelusurinya walaupun hanya menggunakan jasa youtube, mendengarkan kajian ustaz-ustaz yang menurutku tidak menyimpang dari Qur'an dan hadis. Mencari ilmu bisa dari mana saja, bukan? Selain itu, pengucapan 'barakallah fi umrik' tidak lantas menjadikan ulang tahun menjadi halal dan diperbolehkan. Hukumnya sama saja, tidak boleh. "Intinya, kalau kalian mau doain aku nggak harus di hari ulang tahun aja. Setiap hari kalau bisa." Aku nyengir. Nisa beroh-oh ria. "Oh iya, Rumi. Kadonya nyusul, yaa... Besok." Aku hanya tersenyum. Sekarang aku bingung, bagaimana caranya aku pulang dalam keadaan seperti ini? "Kenapa?" "Kalian tanggung jawab, ih! Aku pulangnya gimana kalau keadaan aku bau kayak gini?" gerutuku gemas. "Aduuh mending sekarang happy-happy-an dulu. Makan yuk kuenya." "Eh lo gimana sih, Nis? Masa kita yang makan kuenya?" tanya Fika heboh. Bascamp ini mendadak ricuh akibat kami berempat. "Nggak pa-pa, kita sama-sama makan aja." "Hahahah, si Rumi belepotan." "Seragam aku kan jadinya kotor," desahku. "Haha nggak papa, setahun sekali, Rum." "Rumi, nih! Udah 17 tahun tapi masih betah ngejomblo aja," ledek Fika. "Plis deh, jangan bawa-bawa jomblo," balasku Kami pun menikmati kebersamaan ini dengan sukacita. Dari kejauhan, aku sedang melihat Arkan sedang berbincang dengan siswa lain. Dia termasuk salah satu tokoh idola sekolah. Tidak perlu kaget lagi jika aku melihatnya sedang mengobrol dengan lawan jenis. Hobinya yang senang mendaki gunung menjadi ciri khas tersendirinya. Jiwa laki-laki tangguhnya melekat kuat. Itu sebabnya, siswi yang memiliki sedikit sifat centil senang mendekatinya. Tapi aku tidak tahu apa status Arkan sekarang. Entah jomblo atau sudah memililki pasangan. Dia sangat tertutup. Aku berharap dia jomblo. Kalau dia memiliki pacar, aku harus siap patah. Aduh, mengapa aku malah memikirkan Arkan? Yang harus aku pikirkan adalah bagaimana caranya pulang dalam keadaan bau amis akibat ulah teman-temanku. Lagi pula, kalau Arkan memiliki pacar, apa urusanku? Tak lama kemudian Arkan menaiki motor ninjanya. "Arkan!" Aku melirik Nisa seraya melotot. Untuk apa dia memanggil Arkan? "Ajak Rumi pulang bareng, nih. Kasian tuh, bajunya kena terigu karena ulah kita. Eh, kamu udah ngucapin selamat ulang tahun belum ke Rumi?" teriak Nisa gamblang tanpa malu. Padahal dia tidak akrab dengan mantan sahabatku itu. Aku menyenggol bahu Nisa, sumpah aku kesal. Bagaimana bisa dia mengatakan itu pada Arkan? Nanti bisa-bisa rahasiaku bocor. Kan selama ini aku sudah menceritakan kisahku dengan Arkan saat masih kecil kepada Nisa. Bahkan sangat detail dan tidak ada yang terlewat. Aku percaya pada Nisa, bahwa dia tidak akan bercerita pada siapa-siapa. "Nggak papa, aku naik angkot aja, Ar. Aku nggak mau bikin motor kamu kotor," ucapku diplomatis sewaktu Arkan memusatkan atensinya pada kami. Sebenarnya aku ingin sekali memarahi teman-temanku itu, tapi mau bagaimana lagi? Baju dan kerudungku sudah terlanjur kotor dan bau. Lagi pula, aku tahu, niat mereka hanya ingin membuatku kejutan. "Udah sana aja," ucap Nisa, mendorong tubuhku pelan. "Iya, Rum. Kamu ini gimana, sih? Kan kalian tetanggaan? Nebeng sekali nggak papa, dong. Tenang, Rumi. Ini kondisinya mepet, Allah nggak bakal marah, kok." Bukan masalah itu, tapi aku tidak enak. Meskipun kami tetanggaan, tapi kami tidak sedekat dulu lagi. Aku dan Arkan mirip orang asing. Aku tidak akan naik sebelum Arkan mengajakku. Jika dia tidak bicara, maka lebih baik aku lari. Aku akan nekat naik angkot dan berniat duduk di jok depan bersama sopir. Namun tiba-tiba saja Arkan menyodorkan helm padaku. Niat awal kuurung. Itu tandanya dia memang mau memberikan tebengan. Benarkah? Selama dua tahun bersekolah di sini, tak sekalipun aku pernah berangkat atau pulang bersama Arkan. Aku tahu Arkan sedang melihat ke arahku, dan aku malu, karena wajahku kotor walau sempat cuci muka. Mukaku yang pas-pasan pasti makin jelek. "Ambil aja." Ya Allah, dia bicara. Tanganku terulur, mengambil helm itu. Sedang Arkan mulai memakai helmnya. Ini aku naik saja atau bagaimana? Aku benar-benar kelimpungan dalam diam. Kulihat Arkan menganggukkan kepala setelah memakai helmnya. Bisa jadi dia memberiku isyarat untuk segera naik. Dengan kaki gemetar, aku naik ke atas motor Arkan. Jangan tanyakan lagi bagaimana kondisi jantungku sekarang. Aku hanya berdoa agar suara detakan yang mirip beduk ini tidak terdengar olehnya. Aku pun berpamitan pada teman-teman jailku itu. Kulihat mereka menertawakan aku. Memang menyebalkan. Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Sepertinya, memang harus akulah yang bertanya duluan. Aku tidak nyaman berada dalam konteks ini. Tapi, apa yang harus aku tanyakan? Aku takut suaraku tertelan oleh suara motor besarnya. Nanti malah aku yang malu. Ya sudah, diam saja. Cari aman. Kulihat punggung Arkan yang sangat dekat denganku. Tahan, Rumi. Kamu tidak boleh baper. Dulu aku bisa saja naik ke punggung itu sambil tertawa. Tapi sekarang seakan ada benteng delusi yang menghalangi. Terlalu tabu untuk kusentuh. Aku sedih. Ya, aku sedih. Tidak bisakah kita seperti dulu lagi? Makan satu piring berdua. Main hampir setiap hari. Bahkan, tidur berdua di ranjang yang sama. Masa kecil kita sungguh manis, Arkan. Ternyata jadi dewasa tidak enak. Ah, berpikir apa aku ini? Mana mungkin kami kembali seperti dulu. Ada baiknya kita menjadi jauh seperti sekarang. Karena sebenarnya agamaku melarangku untuk dekat-dekat dengan yang bukan mahram. Arkan, apa kabar? Apa kamu ingat aku? Aku yang selalu kamu ganggu. Pertanyaan itu hanya kupendam. Realitanya bibirku bungkam. Apa aku harus berterimakasih pada teman-temanku? Berkat mereka aku duduk di sini. Mengenang masa kecilku di dekat dia yang mengukir kenangan manis. Ini cukup meluruhkan satu beban rindu. Motor Arkan melaju, membelah jalan kota Bandung. Tubuhku gentar, kucoba untuk tetap rileks. Hari Senin yang membuatku bahagia. Semoga Allah mengerti. "Rum, kamu ulang tahun?" Eh?! Apa barusan Arkan bertanya? Atau ... hanya halusinasiku saja? Gimana? Suka nggak? Untuk yang masih kurang paham dan jelas mengenai hukum ulang tahun, kalian bisa cek lapak Bank Ilmu. Di sana tertulis jelas hadis dan penjelasannya di bab Hukum Mengucapkan Selamat Ulang Tahun. Syukron wa jazaakumaallaahu khairan..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD