2. Satu Tempat?

1860 Words
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم Bersabarlah wahai hati. Jangan sampai rasa yang terpendam meledak hanya karena seringnya bertemu. ~Sembunyi Rasa~ @JaisiQ Motor sudah sampai di depan rumahku. Aku bergegas turun, dan melepaskan helm. Haduh, bagaimana ini? Helm Arkan jadi kotor. Arghh.... Aku jadi tidak enak. "Emm, gimana? Jadi kotor helmnya," ucapku. "Nggak papa." Kuserahkan helm itu padanya. Aku melihat wajah Arkan yang tidak seputih dan sebersih dulu. Bisa kutebak, ini pasti gara-gara dia sering naik gunung. Tapi, dia tetap tampan, kok. Eh, berpikir apa aku ini? Aku sudah berjanji pada Allah, untuk jangan terlalu menatap sesuatu yang bisa menggugah syahwat. Arkan kembali melajukan motornya, berbelok ke halaman rumahnya yang ada tepat di sebelah rumahku. Dulu aku sering sekali masuk ke rumah itu. Arkan selalu mengajakku main setiap hari, dan membawaku ke rumahnya. Ya, dulu dia anak manja, yang lebih senang main di rumah. Tapi ia tak pernah malu untuk memanggil namaku di luar rumahku setiap libur sekolah. Dia yang selalu pertama kali mengajakku main tanpa jaim. Aku selalu mengintip di jendela, melihatnya berdiri di depan pagar sambil tersenyum. Aku suka cara dia mengajakku main. Arkan itu lucu, selain tampan, dia juga manis. Dia teman kecil terbaikku. Karena seringnya bersama, menjalin pertemanan dekat, seiring berjalannya waktu hatiku berubah. Aku tidak tahu apa arti dari perasaan itu. Perasaan bahagia setiapkali berada dekatnya. Aku pikir, itu hanya perasaan seorang sahabat kepada sahabatnya. Tapi saat hubungan kami mulai renggang dan beranjak dewasa, aku merasa kehilangan. Menginjak kelas dua SMP aku sudah jarang bermain dengan Arkan. Mungkin karena kami sibuk dengan urusan masing-masing. Kami juga beda sekolah, jadi jarang bertemu. Berbeda ketika saat SD, kami masih satu sekolah bahkan satu kelas. Semuanya terasa berbeda, sampai aku ingin menjadi anak kecil lagi. Tidak ada dia yang memanggil namaku di luar pagar. Tidak ada dia yang mengajak bermain. Malah jadi aku yang ingin berbalik mengajak main. Tapi, aku malu. Lagi-lagi aku harus mengenang masa kecilku yang penuh warna bersama Arkan. Aku mengerjap. Mengenang hanya akan membuat rinduku semakin berlapis. Aku langsung masuk, rasanya semua badanku gatal dan bau. Aku harus segera membersihkan badan. "Assalamu'alaikum...." "Ciee, dianterin Arkan. Kamu bareng sama dia?" tanya ibuku yang ternyata sudah berdiri di depan jendela. "Nggak kok, Bu. Tadi cuma kebetulan." "Kamu pacaran?" "Apaan sih, Bu. Istilah pacaran itu nggak ada dalam islam." Ibuku terkekeh. Keluargaku memang bukan keturunan agamis. Tapi kami berusaha mencegah perbuatan yang melenceng dari agama. "Ya terus kok bisa bareng? Ini baru pertama kalinya Ibu liat kamu dibonceng dia." "Emang Arkan mau sama aku...." Aku ini terlalu jelek untul bisa bersanding dengan Arkan. "Eh, kok kamu bau gini, sih? Mana kotor lagi." "Itulah, Bu. Kenapa aku bareng sama Arkan. Aku malu kalau naik angkot. Ini ulah temen-temen aku, aku kan hari ini ulang tahun." "Oooh, kamu teh sekarang ulang tahun?" tanya ibu pura-pura kaget. "Hmmm.... Ya udah, Bu. Aku mandi dulu." Aku berlalu dari hadapan ibu. Dari dulu ibu memang tidak pernah mementingkan ulang tahun. Katanya, masa tahun diulang-ulang. Maka dari itu, kalau ada salah satu anggota keluarga kami yang ulang tahun tak pernah dirayakan walau hanya membuat nasi tumpeng. Syukurlah. Aku bersyukur, lahir dari keluarga yang mengerti mana yang penting dan mana yang tidak penting untuk dikerjakan. Kata ibu, ulang tahun itu tidak penting. Tidak merayakannya bukan berarti tidak ingin mengenang hari lahir. Karena seharusnya hari itu dipakai untuk bermuhasabah diri. Sebab ketika ulang tahun berarti umur kita berkurang, jarak dengan kematian semakin dekat. Perbanyaklah istigfar, ingat akan dosa-dosa yang pernah kita lakukan dari mulai baligh hingga detik ini. Mati tidak mengenal muda atau tua. Bukan saatnya untuk merayakan sesuatu yang bahkan tidak ada ajarannya dari Islam. Kalau ingin berdoa di hari ulang tahun, berdoalah setiap hari. Karena Allah tak akan pernah libur dan bosan mendengarkan doa-doa hamba-Nya. Selesai mandi dan berganti pakaian, aku mengambil binder yang ada dalam laci, lantas membuka lembaran demi lembaran kertas, hingga terhenti pada lembar yang tertempel foto beberapa tahun ke belakang. Dulu aku senang sekali mengoleksi benda ini. Di sana ada foto masa kecilku saat SD, salah satunya ada Arkan. Kami berfoto lima orang. Posisiku dan Arkan berjauhan. Sudut bibirku tertarik ke atas, teringat masa SD. Di sekolah, aku dan Arkan memang tidak akrab, bahkan terlihat tidak saling mengenal. Mungkin Arkan malu, lantaran berteman dekat dengan perempuan. Tapi begitu di lingkungan rumah, kami lengket. Walaupun di sekolah kami berjauhan, tapi teman-teman satu kelas selalu menuding bahwa aku pacar Arkan. Alasannya hanya hal sepele, karena setiapkali Arkan sakit, ibunya selalu menitipkan surat padaku. Ada-ada saja. Lucu sekali Arkan di foto ini. Dia kelihatan polos. Sekarang dia sudah tumbuh dewasa, dengan badan tinggi dan berkulit sawo matang. Dia bukan Arkan yang dulu, yang menjadikan aku teman bermainnya. Dia Arkan, yang menjadikan alam sebagai sahabatnya. Mungkin, aku sudah tidak dibutuhkan lagi. Aku tidak menyangka, bahwa sekarang dia sudah jago mendaki gunung. Yang aku tahu, dia sudah mendaki beberapa gunung yang ada di Jawa Barat bersama teman-temannya yang gemar hiking. Tanpa sepengetahuannya, aku selalu men-stalk akun facebook Arkan. Tak hanya itu, aku juga kadang melihat chat lama kami di facebook di tahun 2013. Aku rela men-scroll layar hanya untuk melakukan hal tak penting. Tahun itu adalah tahun pertama kali kami memiliki akun facebook. Betapa bangganya kami saat itu karena sudah bisa bermain facebook yang sedang booming. Saking kampungannya, ketika Arkan mengomentari fotoku yang isinya berupa ejekan, aku tidak tahu cara membalasnya. Langsung saja kulabrak dia melalui chat pribadi. Bukan memarahi tentang komentarnya, tapi aku ingin bertanya bagaimana cara membalas komentarnya yang menyebalkan itu. Esoknya, dia mengajarkan aku cara main facebook di warnet. Kebetulan kakak iparnya membuka warnet. Kami main satu komputer berdua. Sejak kecil Arkan memang sudah lihai memainkan alat itu. Makannya sekarang dia masuk jurusan TKJ di sekolah. Ternyata bermain facebook tidak sulit. "Tinggal komentar di sini," katanya waktu itu seraya menunjuk layar komputer. "Tapi kan ini sama aja aku komentarin foto aku." "Ya sama aja. Emang kayak gitu, Rumi bloon." Arkan geleng-geleng kepala, mungkin karena gemas akan kekatroanku. "Ooh...." Aku emang lola alias loading lama. Arkan memang senang meledekku. Tapi aku tidak pernah tersinggung. Mungkin karena sudah biasa. Dulu kami sering saling melempar pesan berupa emoticon di facebook. Arkan pula yang selalu chat duluan. Anehnya, aku tidak merasa terganggu. Malah sebaliknya, aku senang. Isi pesan kami sungguh tidak berfaedah. Tapi entah mengapa itu membuatku bahagia. Aku selalu tertawa. Benar, sesuatu yang sudah tidak ada akan terasa lebih berharga. Sekarang aku hanya bisa melihat postingan foto Arkan ketika mendaki gunung tanpa bisa menyapa atau sekadar mengklik 'suka'. Foto-fotonya menandakan bahwa dia sudah tumbuh dewasa, jadi tidak lagi memerlukan sahabat perempuan sepertiku. Aku hanya teman selewatnya. Aku bukan seseorang yang dekat dengannya lagi. Aku hanya orang lain. Seperti status di facebook, hanya sebatas 'teman'. "Rumi! Kamu prakerin di mana?" tanya Nisa merongrongku yang baru masuk kelas. Aku tergemap sejenak. "Emm, aku kan udah bilang kemarin-kemarin aku udah daftar waktu hari libur ke salah satu studio foto." "Oh, bagus deh kalau gitu. Alhamdulillah," ucap Nisa. "Aku pikir belum fix." "Udah, lah. Yang punya studio kenalan ibu aku. Jadi gampang masuknya." Iya, dulu aku tidak ikut daftar bersama teman-temanku lantaran waktu itu aku sakit. Walaupun aku meminta didaftarkan, pihak percetakan enggan menerima karena siswa yang daftar harus datang ke tempat. "Sekarang kita semua disuruh kumpul di aula. Katanya ada pengunguman penting," ucap Fika yang baru datang bersama Dyah. "Ya udah ayo!" Kami pun bergegas menuju aula. Semua kelas tiga SMKN 2 Bandung beramai-ramai mendatangi aula. Ah, tidak terasa, sudah masuk tahun terakhir. Rasanya baru kemarin jadi adik kelas yang dibimbing kakak kelas, sekarang sudah jadi kakak kelas yang menjadi contoh untuk adik-adiknya. Rasanya baru kemarin, aku daftar ke sekolah ini bersama ibu. Lalu menjalankan proses orientasi siswa, pembagian kelas, bertemu wajah-wajah baru, berkenalan, sampai ada tiga orang teman dekat yang hingga detik ini setia menemani. Aku tidak pandai bergaul. Bersama tiga teman setia saja sudah cukup. Untuk apa banyak teman kalau mereka hanya ada ketika sedang senangnya saja? Untuk apa banyak teman kalau hanya untuk menemani tawa saja? Aku tidak mau menjalin pertemanan hanya untuk sebatas formalitas. Aku ingin mencari teman yang benar-benar seorang teman. Yang ada ketika dibutuhkan dalam keadaan apa pun. Berteman dengan siapa saja memang gampang. Namun menemukan teman yang ada ketika susah sangat sulit. Secepat itu waktu bergulir. Semua nama yang belum memiliki tempat prakerin dipanggil. Dan benar saja, salah satunya adalah namaku. Aku kalang-kabut dan terus saja merengek pada teman-temanku. Padahal aku sudah mendaftar, tapi datanya tidak ada di guru. Em, aku baru ingat, aku belum membicarakan pendaftaranku ke pihak sekolah. Aah dasar bodoh! Kusimpan di mana otakku, ya? Mungkin karena itu aku ikut-ikutan dipanggil. Setelah acara selesai, aku diperintah untuk menghadap guru yang bersangkutan. Aula itu mendadak rusuh. Ya, bagi mereka yang belum memiliki tempat praktek kerja industri mulai sibuk. Ada yang tidak diterima ditempat mendaftar, dan lain-lain. Teman-temanku sudah daftar di percetakan. Karena memang jurusan kami di sekolah adalah Multimedia. Jadi kalau praktek kerja tidak akan jauh dari dunia percetakan atau studio foto. Aku mendekati Pak Wahyu yang sedang sibuk dengan laptopnya. Dia dikelilingi siswa yang belum memiliki tempat. "Pak, ada yang kosong, nggak? Masukin saya ya, Pak," ucapku dengan nada lumayan tinggi. "Yang penting dapet, Pak. Saya sebenernya udah daftar, Pak." "Ya kenapa kamu nggak bilang jauh-jauh hari?" "Saya pikir bisa langsung masuk, Pak," jawabku. "Rumi, kamu di Dispora aja, ya? Kebetulan masih kosong," usul Pak Wahyu yang membuatku lega. Untung saja Pak Wahyu mengenalku, kan dia guru anak Multimedia. Jadi beliau tidak akan membiarkan aku luntang-lantung. "Iya, Pak. Di mana aja, asal saya kebagian tempat." Aku tidak mau repot-repot cari lagi atau bolak-balik. Tidak papa, terserah gurunya saja. Walaupun tempat prakteknya tidak sesuai dengan jurusanku. Aku melihat list siswa-siswa yang prakerin di Dispora. Ada satu nama yang membuatku bungkam seribu bahasa. Arkan Sastra Kusuma. "Pak? Arkan ini anak TKJ satu itu, kan?" tanyaku memastikan. Sedang dalam hati aku memohon agar pemilik nama itu bukan mantan sahabatku yang cueknya luar biasa. Tapi mana mungkin? "Iya," jawab singkat Pak Wahyu di tengah kesibukannya. "Eh nggak jadi, deh, Pak!" ucapku cepat. Tidak, tidak, aku tidak mau satu kantor dengan Arkan. Yang ada nanti aku malah harus setiap hari bertemu dengannya. "Kenapa?" "Ada tempat lain nggak, Pak?" "Udah terlanjur Bapak masukin. Udah, di saja aja, ya? Ada Rika dari kelas akuntansi. Banyak kok ceweknya." Aku menggigit bibir bagian dalam. Mulai dirundung gelisah. "Emm, iya deh, Pak. Makasih ya, Pak." Mau tidak mau aku harus menerima. Mau tidak mau aku harus pasrah. Semoga saja hatiku kuat. Aku pun meninggalkan kerumunan itu setelah diberitahu siapa guru pembimbingnya. "Gimana, Rum? Udah dapet tempat?" tanya Nisa menghampiriku. Tak lupa ada Dyah dan Fika yang fokus main ponsel. Aku mengangguk. "Di mana?" "Dispora." "Dinas Pemuda Olahraga?" tanya Fika memastikan, beralih dari ponselnya. Aku tahu, pasti dia sedang chatting dengan pacarnya yang ada di sekolah lain. Ya, Fika adalah teman yang paling sering curhat tentang masalah asmaranya. "Iya." "Aduh, kok jadi nyasar gitu sih, Rum?" "Ya abis gimana lagi, mepet." "Yaah, kita pisah, dong." "Iya." Aku sedikit cemberut. Padahal aku ingin bersama mereka. Dan yang paling membuatku sedih, kenapa harus dengan Arkan? Itu artinya kita akan berdekatan selama kurang-lebih dua bulan. Semoga saja tidak terjadi hal aneh. Mau tau kisah cinta Rumi & Arkan? Nantikan terus kejutannya, ya!!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD