Rupanya Retno memang benar-benar tidak ingin memiliki anak bersama Alysa. Buktinya, sudah dua hari ini Alysa ngotot dan mohon-mohon pada Retno, lelaki itu masih saja bersikeras tidak mau punya anak. Tapi biarpun begitu, Alysa terus berusaha semaksimal mungkin, untuk meluluhkan hati Retno agar lelaki itu mau memilik anak dengannya. Jujur saja, Alysa sudah tidak bisa lagi membendung rasa inginnya untuk memiliki anak. Ia harus punya anak. Apapun jenis kelaminnya yang penting kelakon punya momongan, biarpun bikinnya sama Retno.
Usai mencuci wajah dan gosok gigi asal-asalan, Alysa masuk kedapur. Dia melihat Retno tengah menyiapkan sarapan pagi dengan pakaian kerja sudah melekat pada tubuh kurusnya. Aduh... Tubuh itu! Bagaimana jika nanti Alysa akan menaiki Retno, kalau tubuhnya saja kurus mirip triplek!
Seperti apa yang sudah di skenariokan dalam otak semalam, kini Alysa mulai menampilkan wajah judesnya, untuk membuat Retno kembali takut dan tunduk lagi padanya. “Mana sarapan gue!” bentaknya.
Usai menyalin telur goreng dari wajan ke piring, Retno berbalik dan menyajikan telur gorengnya pada Alysa. “Ini, telur goreng. Aku nggak bisa bikin yang lain, soalnya udah mau telat. Aku berangkat dulu ya?” tanpa menunggu persetujuan dari Alysa ia langsung saja melangkah pelan keluar dari area dapur.
Namun ketika hendak melanjutkan langkah yang kelimanya, Alysa berteriak, “Siapa yang nyuruh lo pergi? Tugas lo belum selesai!”
Kaki Retno memutar balik. “Ada apa lagi?”
Bola mata Alysa melotot tajam. Ia berdiri dari duduknya, menghampiri Retno pelan-pelan tanpa mengindahkan pandangan kearah lain. “Suara lo kok nyolot? Nggak terima?”
Jika situasi sudah seperti ini, maka Retno banyak-banyak menghela napas dan istighfar dalah hati. “Bukan begitu Lysa. Aku ini udah telat. Kalo kamu mau nyuruh aku lagi, nanti bosku—,”
“Apa? Bos lo bakal mecat elo?” sela Alysa yang dibalas anggukan oleh Retno. “Gue nggak peduli! Pokoknya, sebelum lo berangkat kerja, buatin gue teh manis, masak air panas buat mandi dan bersihin kamar tidur gue!” lanjutnya lantas kembali duduk di tempat semula. Alysa menyantap telur goreng penuh amarah dengan mata memicing melirik gerak-gerik Retno yang sepertinya sedang kebingungan. Kontan saja sudut bibir Alysa melebar, ia tersenyum jahil.
Sedang Retno mau tidak mau harus segera melaksanakan tugasnya agar tidak semakin telat masuk ke kantor. Setelah menimbang-nimbang lebih dulu, akhirnya ia memulai tugasnya dengan mengutamakan membuat teh manis. Usai membuat teh manis, sambil membawa ember berisi air panas, ia masuk ke kamar Alysa. Meletakkan ember di dalam kamar mandi lantas mulai membersihkan mantan kamar tidurnya.
Mulai dari membentangkan sprei baru sampai menata kembali meja kerjanya yang kini beralih fungsi menjadi tempat berkumpulnya para koleksi Alysa yang tak lain adalah sebuah action figure. Dan setelah semua telah usai, barulah ia mencari-cari Alysa. Namun yang dicari malah menghilang entah kemana. Retno cari di dapur tidak ada. Taman belakang juga, di teras rumah apalagi. Ketika Retno kembali lagi kekamar Alysa untuk mengambil ponselnya yang tidak sengaja ia tinggalkan, rupanya Alysa sudah ada di kamar sendiri sedang bermain dengan ponsel milik Retno sambil duduk ditepi tempat tidur.
“Jangan buka-buka hape aku, Lysa!” pekiknya dengan tangan berusaha menggapai ponselnya namun tidak terlaksana karena Alysa sudah dulu menyimpan ponsel Retno dibalik tubuh.
“Cupu-cupu begini ternyata lo punya banyak kontak cewek juga ya? Nggak nyangka gue! Eh, yang namanya Aul, siapanya elo?” tanya Alysa sambil melayang-layangkan ponsel Retno di hadapan sang pemilik.
“Jangan ikut campur! Itu urusanku!” sekali lagi Retno berusah meraih ponselnya namun tak kunjung bisa. “Jangan macem-macem Alysa! Jangan dimainin hape aku...!” teriaknya.
“Terserah gue dong mau macem-macem apa nggak! Ini kan hape lo, jadi hape gue juga.”
“Bawa sini nggak?”
“Nggak!”
“Bawa sini, Alysa....”
“Ada syaratnya dong!” kata Alysa, dia tersenyum sini.
Langsung saja Retno bertanya, "Apa?”
“Syaratnya.... Lo harus mau punya anak sama gue!!”
“Nggak!”
“Yaudah... Terserah lo! Jadi otomatis ini hape udah jadi milik gue, SELAMANYA!”
Rasanya ingin marah sekali, namun Retno tidak bisa. Ia tidak bisa marah lebih dari berkata dengan nada kasar seperti tadi. Jadilah kini Retno hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya yang sedang di landa sakit secara tiba-tiba. Mata Retno diam-diam menatap Alysa yang malah sibuk memainkan ponselnya. Otak Retno mulai merencanakan sesuatu. Setelah dirasa sudah siap, ia maju satu langkah dan langsung merampas ponsel di tangan Alysa. Ponsel pun terselamatkan.
“WOY RETNO b******k LO! BALIK KERJA GUE CINCANG LO!”
Terdengar teriakan panas dari mulut Alysa. Retno bergidik ngeri kala bayangan dirinya akan benar-benar di cincang oleh Alysa.
***
Malamnya, setelah kejadian itu Alysa masih bertampang garang seperti tadi pagi. Ia duduk menyantap makan malam dalam diam dan tanpa selera. Seharian ini kerjaannya dirumah hanyalah menonton televisi, tidur-tiduran dan hal-hal lain yang tidak berfaedah dan kegiatan itu tidak luput bahwa ia sebenarnya menunggu kepulangan Retno dari kantor.
“Kamu nggak jadi cincang aku?” tanya Retno tiba-tiba. Lelaki itu menuangkan sirup jeruk ke dalam gelasnya.
“Diem!!” dibalas bentakan tidak mendukung oleh Alysa. Dan Retno langsung kicep.
Semenit dua menit sampai lima menit, tidak ada percakapan sama sekali. Retno sibuk makan roti bakar sedang Alysa bukannya menyantap nasi padangnya, malah hanya di aduk-aduk saja. Kepala wanita itu mendongak, menatap Retno dengan amarah membuncah. Entah kenapa setiap menatap Retno, rasa ingin punya anaknya malah tambah dan semakin bertambah. Jadi pengin cepet-cepet. Bila perlu memaksa Retno, kalau lelaki itu sangat tidak ingin memiliki anak bersamanya.
“No?” panggil Alysa.
Retno tidak menanggapi. Dia menulikan pendengaran dan lebih memilih menyibukkan diri dengan menyantap makanannya.
“No..? Nono? Iiish, lo budek ya? Atau pura-pura budeg? Nggak usah sok cool lo. Gue mau bener-bener ngomong serius sama lo, No. Retno.... Retno! a*u!”
Alysa jadi memaki-maki sendiri. Ia semakin gencar mengaduk-aduk nasi Padang sampai tumpah-tumpah. Dan lebih parahnya lagi nasi padangnya sudah Alysa campur dengan air sirup jeruk. Membuat nasi putihnya menjadi keorenan.
“Sekali lagi gue panggil dan lo nggak dengar, gue bakal makan nasi ini!”
Diam-diam mata Retno melirik piring Alysa. Sempat terkejut, namun Retno segera berekspresi biasa saja.
“No... Gue beneran mau ngomong serius sama lo... Please... Madep ke gue...!” kedua kaki Alysa mulai mosak-masik merajuk. Wajah malamnya yang semula masih terpancar cerah kini mulai kusut.
Dan mendengar suara memelas itu, entah dorongan rasa kasihan dari siapa. Kepala Retno lebih memilih mendongak menatap Alysa. “Kamu mau ngomong apa?”
Alysa mulai menghela napas. Ia menjauhkan gelas dan piring lantas duduk tegak dengan kedua tangan diatas meja. Menatap Retno dengan pelupuk yang sudah hendak meneteskan air. “Gue-gue, gue beneran pengin punya anak, No. Gue pengin jadi seorang Ibu... Kayak temen-temen gue, mereka bahagia, nikah terus punya anak! Gue kan juga pengin...!” ungkapnya menggunakan nada suara lirih.
Nah! Sudah Retno duga. Pasti tidak jauh-jauh mengenai soal anak. Apa benar, Alysa ingin punya anak? Pasalnya Retno masih ragu. Ragu cara membuatnya, ragu pula nanti jika merawatnya. Bisa kacau nanti rumah dan segala isinya. Masih mending anaknya bakalan nurut seperti Retno waktu kecil, lhah, kalau bentuk dan sifatnya nurun ke Alysa? Lebih baik say no saja.
“Bikin anak itu nggak segampang yang kamu pikirkan, Alysa. Ak-aku—,”
“Lo masih nggak mau?” Alysa menyela.
Kepala Retno menggeleng, “Aku belum siap. Tapi, kalo kamu memang benar-benar ingin, kamu harus belajar dulu jadi istri yang baik.”
“Maksud lo?”
“Kamu pengin punya anak kan? Sebelum punya anak, benerin dulu sifat kamu. Jadi istri yang baik. Tugas yang setiap hari aku jalani, mulai sekarang kamu yang lakuin.”
Alysa berdiri, kedua tangannya menggebrak meja makan sambil berteriak, “Nggak! Itu akal-akalan lo doang biar gue yang jadi babu di rumah ini!” lantas pergi meninggalkan Retno.
***
Akhir-akhir ini, Alysa jadi hobi melamun. Juga lebih suka mengurung diri di dalam kamar dari pada keluar untuk sekedar nonton TV. Tubuhnya mulai mengkikis, akibat satu minggu ini ia jarang makan. Sedangkan Retno, dia mana peduli. Alysa matipun mungkin Retno tidak sudi menggotong mayatnya.
“Alysa....”
Baru saja di bicarakan, suaranya kini terdengar dari luar kamar. Posisi Alysa yang tengah tengkurap, mengganti menjadi duduk. Ia tatap tajam pintu kamar lantas berteriak, “Nggak usah panggil-panggil gue!”
“Ada yang mau aku omongin sama kamu....”
“Nggak ada yang perlu diomongin lagi!”
Diluar, Retno geleng-geleng kepala pasrah. Sudah tiga hari ini ia didiami oleh Alysa. Sarapan dan makan malam sekarang jadi lebih sering sendiri. Tingkah Alysa yang kini pendiam malah membuat Retno rindu pada sikap judes ala Alysa.
Karena sudah mendapat tolakan, akhirnya Retno kembali kedapur. Terpaksa malam ini ia kembali menyantap makan malam seorang diri. Padahal tadi niatnya ingin memberi suprise kecil-kecilan yaitu sekodi sate untuk Alysa, karena kebetulan tadi siang Retno mendapat bonus dari bosnya. Tapi rupanya Alysa menolak, jadilah sekarang Retno makan sendiri sate kambing mudanya yang ia beli diluar.
Baru lima tusuk, mulut Retno sudah mengeluarkan suara sendawa. Lelaki itu berhenti makan dan beralih minum. Retno memutuskan untuk tidak lagi lanjut memakan sate, ia menyimpan sisa sate di lemari makan.
Berbeda dengan Retno yang malah kekenyangan makan sate, dikamar Alysa justru kelaparan. Ia terus-terusan menekan sisi perutnya agar cacing didalam sana tidak berbunyi, namun tindakannya malah membuat perutnya sakit.
Tak kuat menahannya, Alysa memilih keluar dari kamar walaupun itu bukan kemauannya. Ia mencari-cari makanan mulai dari meja makan, kulkas dan ketika membuka lemari makan, matanya seketika berbinar kala melihat tusukan-tusukan sate.
Usai makan Alysa kembali lagi masuk ke kamar. Merenung disana dengan berpikir keras mencari ide bagaimana caranya agar ia bisa memiliki anak dengan Retno.
Diam, diam, diam, lima menit kemudian tubuhnya berjingkrak kaget kala tiba-tiba saja otaknya mendapat ide cemerlang. Ini bukan ide biasa. Idenya sangat konyol sekali dan entah kenapa otaknya ini bisa memiliki ide seperti itu.
Alysa cepat-cepat keluar dari kamar. Mengendap-endap mendekati pintu kamar Retno lantas membukanya pelan. Ia melihat Retno tengah tertidur pulas dengan posisi telentang dan diatas perutnya terdapat bantal. Senyum jahil mulai menghiasi bibir Alysa. Tanpa ragu lagi kakinya melangkah semakin mendekat hingga akhirnya ia naik ke atas tempat tidur. Menatap wajah pulas Retno yang tidak mengenakan kacamata.
Alysa membuka pakaiannya sendiri tanpa malu setelah itu ia lakukan kegiatan itu pada Retno. Hingga akhirnya sebuah malam percintaan pun terjadi. Tanpa Retno rasa dan sadari. Tanpa Alysa inginkan dan nikmati.
***
Pukul setengah enam pagi alarm di ponsel Retno berdering nyaring. Tanpa niat bangun dari tempat tidur, sang pemilik segera merabakan tangannya kesisi nakas, ia menekan-nekan layar ponsel yang tergeletak di nakas sehingga bunyi alarm sudah tidak terdengar lagi, lantas tangannya meraba lagi ke sisi lain sampai akhirnya menemukan kacamata.
Setelah sudah terpasang benar, mata Retno terbuka. Ia merenggangkan kedua tangannya ke udara lantas kepalanya menoleh ke kiri yang entah kenapa sedari malam rasanya sangat sempit. Bola mata Retno terbelalak lebar ketika melihat Alysa ternyata tidur di sebelahnya. Retno syok tidak karuan, ia menjerit. “AAAaaaaarrh....”
Membuat Alysa membuka mata dengan wajah bersungut-sungut. Ia bangun dari tidurnya. “Apaan sih lo! Masih pagi jerit-jerit nggak jelas! Udah kayak tarzan tau nggak sih lo!” katanya, sambil menggaruk-garuk rambut pendek.
“AAAAaaarrh...” Retno kembali berteriak sambil menutupi seluruh wajah menggunakan selimut.
“Retno! Lo bisa diem nggak sih?!”
“I-itu, kamu nggak pake baju.”
Samar-samar Alysa mendegar suara Retno. Sontak, kepalanya menunduk dan terkejut melihat tubuhnya telanjang. Langsung saja ia rebut selimut di tubuh Retno untuk menutupi tubuhnya dan, “AAAArrrrrhhhh....” Alysa menjerit kala matanya menemukan tubuh Retno juga bertelanjang.
“AAAARRRRRHHH.... !” keduanya berteriak bersamaan.