Chapter 11 : Termaafkan

2289 Words
    Retno yang pendiam, kalem dan penakut kini berubah menjadi Retno si pemberani dan pemilik wajah judes. Perubahan Retno terjadi sejak kejadian kemarin. Alysa sudah berkali-kali meminta maaf pada Retno, namun lelaki itu terus saja diam tidak menjawab jika Alysa berkata maaf dan mohon-mohon.     Dilihat dari raut wajah Retno sehari belakangan ini, dia memang benar-benar sangat marah. Alysa tahu itu dan oleh karenanya ia benar-benar meminta maaf. Tapi rupanya untuk mendapatkan maaf dari Retno, tidaklah segampang yang dirinya pikir. Alysa pikir, meminta maaf pada Retno hanyalah dengan cara bilang maaf saja lantas Retno akan memaafkannya begitu saja.     Alysa menyesap kopi lantas meletakkannya di meja. Mata hitam pekat miliknya menatap tajam pada layar televisi yang tengah memberi tontonan sinetron langganan Alysa. Berbeda dengan mata yang sibuk memelototi layar televisi, otaknya kini malah berkeliaran kemana-mana mencari ide bagaimana caranya agar ia bisa mendapat maaf dari Retno.     Diam berpikir, Alysa melihat Retno melangkah cepat menuju kamar lelaki itu. Retno baru pulang kerja. Tanpa di komando, kedua kakinya berlari menghampiri pintu kamar Retno. Alysa pandangi pintu kamar itu sampai akhirnya ia menemukan sebuah ide. Segera saja ia pergi kedapur dan mulai mempersiapkan ide barunya.    Kemungkin besar sih, idenya yang satu ini akan berhasil. Dengan sok pintarnya Alysa memotong-motong cabe rawit dan bawang teropong secukupnya. Setelah sudah terpotong semua, Alysa beralih mengambil telur di kulkas. Karena malam ini ia akan membuat telur dadar untuk Retno.     “Awas! Nggak usah sok pinter kamu, aku aja yang masak!”     Retno datang dengan wajah ketus dan juga ucapan menggunakan nada ketus. Lelaki itu masih mengenakan pakaian kerja, namun kemeja lengan panjangnya sudah sebagian di lingkis.     Kontan saja Alysa yang kini tengah berdiri di depan wajan, sekilas melirik Retno. “Eh, nggak usah. Lo mending duduk aja, bentar lagi udah selesai kok.” katanya.     Karena tidak mau berdebat dengan Alysa, Retno mau-mau saja disuruh duduk. Dia menunggu Alysa menyelesaikan kegiatannya. Mata Retno tak pernah lepas memandangi gerak-gerik Alysa yang sedaritadi mondar-mandir kelimpungan karena telur buatannya gosong.     Lima menit kemudian, Alysa meletakkan masakannya dimeja makan, menyajikan didepan Retno. “Nih... Makan malamnya udah jadi...” Kara Alysa dengan senyum sumringah tidak pernah sirna dari bibirnya.     Dahi Retno mengernyit bingung, memandang sekilas antara telur gosong dan wajah Alysa.     “Kenapa? Ayo dimakan. Itu telur gue buatin untuk lo, spesial!” ucap Alysa.     Bukannya menjawab, Retno malah beranjak dari duduknya. Dia membuka kulkas, mengambil box tupperware disana lalu duduk lagi seperti semula, “Aku udah ada salad, telurnya kamu makan sendiri aja.” katanya masih dengan wajah judes.     Bola mata Alysa melotot tajam. Napasnya memburu tidak karuan. Ia menatap Retno nyalang beberapa detik. Alysa baru tahu, kalau ternyata Retno itu punya sifat nyebelin yang berlipat-lipat jika sedang dalam mode marah. Kalau bukan karena agar bisa mendapat maaf, Alysa juga tidak akan sudi memasak untuk Retno!     Untuk pertama kalinya, Alysa lebih memilih mengalah. Ia ambil telur buatannya dan makan sendiri. Rasanya masih sama, yaitu asin yang berlebihan. Entah kenapa setiap Alysa masak pasti rasanya tak jauh-jauh dari yang namanya tidak enak.     Sambil berusaha menghabiskan makanannya, iseng-iseng Alysa bertanya pada Retno. “Gimana kerjaan lo hari ini, No?” hanya sebatas basa-basi agar bisa lebih mudah mendapat maaf tentang masalah seks konyol yang diadakan Alysa.     Sekilas Retno melirik. Dia enggan menjawab, lebih memilih sibuk mengunyah salad. Dipikirnya Retno tidak tahu apa, kalau Alysa saat ini sedang akting baik-baikin Retno.     Karena tahu Retno pasti tidak akan menjawab, Alysa mencari bahan pembicaraan lain, “Ohiya, tadi siang Ibu nelpon gue, katanya kita suruh kesana. Ibu pengin ketemu elo. Gimana, lo ada luang nggak?” padahal Ibu Alysa sama sekali tidak nelpon atau bahkan bilang begitu. Itu hanya akal-akalan Alysa saja, jika kalian ingin tahu.     “Aku lagi banyak kerjaan.” jawab Retno. bukannya Retno ingin menghindari kedua orangtua Alysa, ia hanya masih marah dengan Alysa. Retno tidak mau kedua Orangtua Alysa malah curiga dengan sikapnya yang kini sedang dalam keadaan marah pada Alysa.     “Minggu depan?”     “Nggak bisa.”     Helaan napas gusar keluar begitu saja. Alysa meletakkan sendok diatas piring yang sudah habis gorengan telurnya. Ia menyandakan bahu ke kepala kursi sambil menyilangkan kedua tangan di d**a. Memandang Retno nanar. Sebenarnya apa sih yang Retno mau? Alysa hanya ingin meminta maaf sebesar-besarnya.     Ketika Retno hendak mengambil piringnya, Alysa refleks mencegah pergelangan tangan lelaki itu. “Biar gue aja yang cuci.” katanya lantas beranjak dari kursi, mengambil piringnya dan box tupperware milik Retno.     “Nggak usah, nanti pada pecah semua piringku. Awas!” Retno langsung mengambil alih tupperware dan piring di tangan Alysa yang baru saja hendak di letakkan di bak cucian.     Jangan tanya lagi bagaimana ekspresi Alysa saat ini. Yang jelas wajahnya merah dan napasnya memburu. Sambil membaca istighfar beberapa kali di dalam hati, Alysa segera menyingkir. Dia masuk kekamar dan langsung menghubungi Risma, guna untuk curhat tentang masalah rumah tangganya.     Keesokan harinya, Alysa bangun pagi-pagi sekali. Usai membasuh wajah, ia langsung menuju dapur. Niat utamanya adalah ingin membuat sarapan untuk Retno. Masih sama seperti semalam, tujuan Alysa membuatkan sarapan adalah kedok agar Retno mau memaafkannya.     Kali ini Alysa tidak akan membuat telur dadar atau telur mata sapi. Alysa sudah bosan masak telur, yang ujung-ujungnya pasti rasanya asin dan pahit karena gosong. Jadi ia memilih untuk membuat sandwich saja.     “Siapa yang nyuruh kamu masak?”     Suara si culun yang menjelma jadi harimau berkacamata tiba-tiba terdengar. Alysa yang sibuk menata sandwich di meja makan kontan menoleh. Mendapati Retno disana dengan pakaian rapi mengenakan kemeja coklat. “Gue nggak masak kok.''     “Siapa yang nyuruh kamu bikin sandwich?” Retno mengganti pertanyaan.     “Nggak ada yang nyuruh, hehehe.  Iseng-iseng aja sih pengin bikin. Kali aja enak, kan bisa buat bisnis.” Alysa mulai berkilah.     “Jangan buat apapun lagi di dapurku. Aku nggak mau tempat ini kotor, nggak ada yang beresin.” kata Retno sambil berlalu menuju kulkas, mengambil s**u kotak disana lantas menuangkannya pada gelas. Dia mengambil duduk di hadapan Alysa.     Hati Alysa sakit, jelas. Siapa pun pasti sakit dikatain seperti itu. Siapa pun dia, entah anak Punk atau anakonda, pasti sakit. “Kalo lo mau gue nggak usah masak lagi, oke gue nggak akan masak! Tapi ada syaratnya, syaratnya lo harus maafin gue! Gue minta maaf buat kejadian lalu, No.”     Retno berhenti meminum s**u, menatap tidak percaya pada Alysa yang berkata sambil menahan isak.     “Gue bener-bener pengin punya anak. Sampai penginnya, gue terpaksa lakuin itu, No! Gue iri sama teman-teman gue yang udah nikah dan punya anak terus hidup bahagia! Gue juga pengin, No kayak mereka. Yah walaupun itu sama lo bukan sama Kaka Slank! Gue rela, No!” Alysa menumpahkan semua kalimat-kalimatnya didepan Retno.     “Tapi caranya bukan begitu, Lysa. Teman-teman kamu dan kita itu beda. Kita nggak saling Cinta, sedangkan mereka nikah atas dasar cinta.” balas Retno.     “Terus gimana caranya? Harus ngomong dulu sama lo? Gue udah ngomong tapi lo jawab nggak mau punya anak sama gue, jadi terpaksa gue lakuin itu! Dan asal lo tau ya, gue cuma mau punya anak, kenapa lo malah bawa-bawa cinta?”     “Kalo kamu mau punya anak, perbaiki dulu hubungan kita. Aku nggak mau karena aku nggak kenal sama kamu, tentang kamu apapun itu.”     Nggak kenal Alysa? Pantas saja Retno dijuluki si cupu, selebriti komplek setenar Alysa saja dia tidak kenal! Padahal dulu Alysa adalah adik kelasnya semasa sekolah menengah keatas.     Ketika Alysa hendak membalas ucapan Retno, si cupu kurang informasi ini malah lebih dulu berpamitan, “Aku berangkat kerja dulu.” lantas pergi begitu saja meninggalkan gelas yang menyisakan sedikit air s**u.     “Dasar lo Retno, kutu! a*u!” Alysa memaki-maki sambil melahap sandwich buatannya. ***     Jam di ruangan Retno menunjukkan pukul lima lebih. Ia segera mengemasi dokumen-dokumen yang harus dibawa pulang, lantas keluar dari ruangannya dengan tangan menenteng tas kerja.     Retno melihat kubikel-kubikel sudah sepi, para staf divisi keuangan sudah pada pulang lebih dulu. Ia lanjutkan perjalanan menuju basemen.      Berbeda dengan Retno, Alysa dirumah sedang merenung duduk dikursi meja makan ditemani ponsel dimeja. Dia terdiam menatap kosong pada dinding di depannya. Sejak di tinggal kerja oleh Retno pagi tadi, yang dilakukan Alysa di rumah hanyalah bolak-balik kekamar, dapur dan toilet, jika di butuhkan.     “Kamu masak lagi?”     Tubuh Alysa berjingkrak kaget mendengar suara tinggi yang tiba-tiba terdengar. Ia tolehkan kepala kesumber suara dan melihat Retno berdiri di ambang pembatas dapur. Seperti biasa, masih mengenakan pakaian kerja.     Tangan Alysa membuka tudung saji di meja makan untuk memberi bukti bahwa ia seharian ini tidak masak apa-apa, pandangannya tidak lepas memandang Retno. “Puas lo?!” tukasnya.     “Terus, ngapain kamu di dapur?”     “Ya nungguin lo, lah!”     “Ngapain?”     “Lo nggak bolehin gue masak, seharian ini gue nggak makan! Jadi gue nungguin lo pulang! Udah nggak usah banyak bacot lo! Sana masak!”     Bola mata Retno melirik tangan kanannya sendiri yang menenteng plastik putih. Dia melangkah mendekat kemeja makan dan meletakkan plastik bawaannya di meja. “Bakso.”     Bola mata Alysa yang semula melotot marah kini menjadi binar-binar bahagia. Dengan senang hati ia beranjak dari duduknya, mengambil satu sendok dan mangkuk lantas menuangkan bagian bakso miliknya lantas menyantap dengan lahap.     Bolehkah Retno marah? Retno sudah berpikir bahwa Alysa akan sekalian mengambil sendok dan mangkuk untuknya dan makan bersama-sama, tapi rupanya si cewek jadi-jadian ini yang sialnya jadi istrinya Retno malah makan sendiri tidak peduli dengannya. Wajah datar Retno mulai berubah lagi menjadi judes. Lebih baik kejam pada Alysa, daripada dibaikin, malah ngelunjak dia. Akhirnya Retno mengambil mangkuk sendiri dan makan dalam keadaan hati dilanda kesal. Belum kelar marahnya tentang kejadian silam, kini Alysa menambah rasa kesalnya.     “Gimana kerjaan lo hari ini?” kali ini bukan sebuah basa-basi yang dibuat-buat. Alysa benar-benar bertanya serius. Ia penasaran saja dengan kerjaan Retno.     Tapi walau beda niat, Retno sama saja tidak menjawab.     “No, kenap—,” ucapan Alysa tidak jadi di lanjutkan karena ponselnya berdering. Ia segera mengangkat panggilan itu yang ternyata dari Nunung. Nah! Pasti tidak jauh-jauh soal info konser.     “Kenapa, Nung? Hah? Ada konser Slank? Dimana-dimana? Bandung? Kapan? Ikut lah.... Udah mendem kangen berapa bulan aja ini gue, masa nggak ikut! Okelah kayak waktu kemarin aja ya, gue tunggu lo dilampu merah dekat karaoke. Gue OTW kesono jam setengah tujuh. Jangan kelamaan lo! Bye...”     Retno ketar-ketir melihat rona kebahagiaan terpancar diwajah Alysa. Barusan ia mendengar obrolan Alysa dengan seseorang disana, membahas tentang konser Slank. Ketika Alysa hendak pergi dari dapur, Retno bertanya. “Kamu mau kemana?”     “Sok polos lo! Gue tau lo pasti udah denger pembicaraan gue! Gue mau nonton konser Slank di Bandung!” jawab Alysa lalu pergi.     Penuh semangat 45, Alysa mandi. Setelah itu ia merias dirinya didepan cermin. Memberi pomade warna biru menyala pada rambut pendeknya serta tidak ketinggalan pula menyemprotkan parfum kesemua bagian tubuh.     Dengan pakaian serba hitam yang di balut jaket kulit warna hitam pula, Alysa siap untuk berangkat. Ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah tujuh lantas keluar dari kamar. Tanpa usah mencari Retno untuk meminta izin, Alysa lenggang keluar begitu saja. Menghampiri motornya yang sudah siap untuk mengantar ke lampu merah.     Namun ketika baru saja Alysa menaiki motor, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Alysa turun dari motor dan memandangi ban bagian depan pada motor. Tidak bocor. Lalu beralih ke bagian belakang yang ternyata bocor!     “Bangke lo motor! Nggak tau diuntung! Tiap bulan gue service tapi giliran mendadak gini lo malah sakit!” marahnya diakhiri menendang ban belakang.     Retno terkikik geli melihat kemarahan Alysa. Saat ini ia sedang bersembunyi dibalik tanaman-tanaman, guna untuk menghindari sorot mata Alysa. Kedua tangan Retno tergenggam sambil bergumam kata 'yes'. Karena ide briliannya untuk membuat Alysa tidak jadi nonton konser Slank akhirnya berhasil.     “Terpaksa deh gue jalan kaki ke lampu merah! Gempor-gempor deh nih kaki!”     Bola mata Retno melotot tajam mendengar ucapan itu. Dan semakin melotot kala melihat Alysa mulai melangkah. Cepat-cepat Retno mengikuti Alysa dari belakang secara diam-diam.     Dahi Alysa mengernyit merasakan sesuatu aneh. Ia berhenti berjalan dan menoleh ke belakang. Namun tidak ada siapa-siapa. Alysa lanjut berjalan. Satu menit kemudian menoleh lagi ke bekalang dan masih saja tidak ada apa-apa. Dan ketika ia mendengar suara orang batuk, Alysa segera menoleh dan mendapati Retno hendak bersembunyi menghindar darinya.     “Retno? Ngapain lo ngikutin gue?” tanya Alysa tidak percaya.     Retno diam tidak menjawab.     “Lo mau ikut nonton Slank?”     Kepala Retno geleng-geleng ngeri.     “Terus ngapain lo ngikutin gue? Udah sana pulang. Angin malem nggak baik buat lo, nanti lo sakit gue yang repot!”     Dikiranya Retno ini anak kecil, apa? Hendak marah tapi Retno tidak bisa. Ini bukan waktu yang tepat untuk marah hanya karena masalah sepele.     “Ck! Masih aja berdiri disitu! Kalo nggak berani pulang itu ngomong. Ayo, gue anterin!” Alysa melangkah mendekat dan ia menggandeng tangan Retno untuk pulang.     “Ak-aku nggak akan pulang kalo kamu nggak pulang.” kata Retno.     “Ini gue pulang!”     “Jangan nonton konser.”     Langkah Alysa terhenti. Melepas tangan Retno dengan raut bingung. “Maksud lo?”     “Aku nggak mau kamu nonton konser itu.”     “Terserah gue dong! Kenapa lo ngelarang? Biasa juga lo nggak peduli sama gue.”     Retno menghela napas lantas berkata. “Aku akan maafin kamu, tapi kamu jangan nonton konser itu. Deal?”     Bola mata Alysa melotot tajam. Seneng sih seneng, sudaah di maafkan. Tapi kan sayang, tidak bisa nonton konser Slank. Padahal tempatnya tak jauh dari sini dan dua jam lagi konsernya akan dimulai. Alysa mulai bingung mau pilih yang mana.     Termaafkan atau nonton konser Slank?     “Gimana?”     “Oke, deal! Puas lo?!” teriak Alysa pada akhirnya. Ia melangkah cepat meninggalkan Retno di jalanan komplek.     Ujung-ujungnya Alysa tidak jadi lagi bertemu dengan Kaka Slank! Dan ini adalah kali kedua Retno menggagalkan niatnya untuk pergi nonton konser Slank. Sebenarnya apa sih mau Retno? Apa dia cemburu dengan Kaka Slank? 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD