“Besok kita kerumah Bundaku.” ujar Retno disela-sela mengunyah sayuran yang ada di mie ayam.
Gerakan mulut Alysa terhenti, mie ayam yang tengah ia kunyah menggantung di mulut. Dia menatap Retno dengan kerutan di dahi, “Ngafain?” tanyanya agak sulit untuk berucap karena terhalang mie pada mulutnya.
Sambil menunggu jawaban Retno, Alysa lanjut makan mie ayam lantas meletakkan sejenak sumpitnya, untuk mendengarkan Retno bicara.
“Main, sekalian nginep disana.”
Bola mata Alysa otomatis melotot. “Nginep? Ogah-ogah! Gue nggak mau ya, tidur sekamar dan seranjang sama lo!” tubuhnya bergidik ngeri membayangkan ia benar-benar akan tidur bersama Retno dalam satu tempat yang sama.
Oh my gosh! Demi merk kopi Torasudiro yang sering Alysa beli di Mas Nur, ia tidak mau tidur dengan Retno! Apapun yang terjadi, bagaimanapun caranya untuk menggagalkan rencana itu, Alysa akan lakukan. Lebih baik tidur sama Panda yang unyu-unyu deh, daripada bersama Retno si Panda bertatto.
Sedang dalam lubuk hati Retno yang paling dalam, sedalam-dalamnya.... Ia merasa sedih. Retno berpikir, sejijik itukah Alysa padanya? Sampai-sampai tidur seranjang dengannya saja tidak mau. Padahal mereka suami-istri, yang memang diharuskan untuk tidur bersama dan bahkan boleh lebih dari itu.
Bukannya Retno ingin yang lebih dari tidur bersama Alysa. Ia hanya merasa.... Jujur, Retno merasa kasihan pada dirinya sendiri. Kenapa ia harus memiliki istri serupa itu? Masih mending nikah sama cewek gagu, daripada harus punya istri macam Alysa. Sudah sifatnya keras, tampangnya susah dijelaskan, style juga tidak jelas seperti preman pasar, susah diatur pula! Lengkap sudah paket kesengsaraan Retno.
Untuk lebih menambah rasa sabar lagi, Retno menghela napas. Ia tatap mata Alysa yang kini melotot padanya dengan tampang ogah-ogahan. “Kita nggak akan tidur bareng kok. Soalnya aku ada dinas ke Lombok selama tiga hari. Jadi kamu tidur dirumah Bunda sendirian.”
“Ooh... Maksudnya lo mau nitipin gue disana. Yaudah, nggak usah kerumah Bunda lo. Gue ntar tidur dirumah Ibu aja.”
Kalau bukan Bundanya Retno yang maksa agar Alysa lebih baik nginap di rumah nyokap, Retno juga ogah kali. Males juga bawa Alysa ketumah Bundanya. Takut-takut nanti sifat Alysa yang semena-mena malah jadi bikin Bundanya ilfeel.
“Kamu dirumah Bunda aja. Beliau juga pengin ketemu sama kamu.”
“Nggak ah! Bunda lo pasti bakalan tanya, kapan mau kasih Bunda cucu? Kapan? Kapan? Kapan? Lo aja nggak mau punya anak bareng gue! Ish! Daripada ribet mending gue disini sendirian aja, lo kalo mau ke Lombok, sana ke Lombok aja.” bibir Alysa berucap dengan lancarnya. Lantas ia meneguk air putih dingin.
“Memangnya kamu nggak takut sendirian? Rumah ini kan udah lama nggak aku tinggali, barangkali ada penghuninya.” bukan maksud menakut-nakuti, hanya saja Retno memberitahu yang sebenarnya. Karena ia memang jarang tinggal di rumah ini, paling hanya seminggu sekali melihat-lihat saja sambil beres-beres mana yang perlu di bereskan.
Bukannya menampilkan wajah takut, kini Alysa malah menautkan kedua alis, memandang Retno penuh nyalang. “Maksud lo apa? Eh, nggak ada sejarahnya ya, anak Punk takut sama yang bebauan tentang setan!”
Kedua bahu Retno bergidik. Terserah Alysa mau percaya atau tidak. Yang jelas Retno pernah mengalami kejadian aneh di rumah ini. Sepele sih, tapi cukup menakutkan. “Terus, kamu nanti makan apa disini? Nggak ada aku.”
Alysa terdiam. Mengingat minimnya pengetahuan tentang masak, membuat pikirannya mulai memutar balik untuk kembali berpikir ulang. Sampai akhirnya dengan setengah hati, Alysa memutuskan. “Iya deh, gue nginep di rumah Bunda lo aja. Kalo di rumah gue... Ah males ah! Ada goyang morena!”
“Goyang morena?”
“Panggilan benci buat adik tiri gue!” jawab Alysa setengah membentak. Wanita itu lantas berlalu pergi tanpa menghabiskan lebih dulu mie ayamnya.
“Ooh... Morena Madinah?” gumam Retno sambil mengangguk-angguk ngerti.
***
Pukul sembilan pagi, Retno dan Alysa sampai dirumah Bunda Retno. Tentunya setelah beberapa jam berdebat mulut dulu dirumah, karena sebuah masalah sepele yang di besar-besarkan. Contohnya seperti, Retno menyuruh Alysa untuk membawa pakaian ganti yang selain warna hitam, namun Alysa membantah. Retno terus memaksa dan semakin memaksa malah membuat Alysa semakin menjadi. Akhirnya Retno pasrah. Ia biarkan saja Alysa bawa pakaian Punk yang nanti akan dia pakai dirumah Bundanya.
“Jaga sopan santun.” ucap Retno sambil melangkah masuk ke dalam rumah bersama Alysa.
“Nggak usah nasehatin gue, lo!” tekan Alysa.
“Eeehh... Ada menantu kesayangan...” Bunda Retno muncul secara tiba-tiba ketika langkah Retno dan Alysa baru sampai di ruang keluarga. Wanita setengah baya yang masih terlihat cantik itu merentangkan kedua tangan sambil melangkah mendekat kearah Alysa. Lantas memeluk tubuh Alysa erat-erat. “Bunda kangen sama kamu. Kenapa baru main, sih? Betah banget berduaan di rumah.” godanya.
Hanya dibalas senyuman kikuk ala anak Punk seperti Alysa. Dalam hati Alysa mencibir habis-habisan mengenai ucapan Bundanya Retno yang bilang katanya betah banget berduaan di rumah. Duh! Boro-boro betah, resah sih iya!
“Mbak Anna sama Mbak Ratna kemana, Bun?” Retno tiba-tiba menanyakan keberadaan kedua Kakak perempuannya yang masing-masing sudah nikah dan punya anak.
“Mbak Anna lagi nganter Mbak Ratna periksa kandungan.” jawab Bunda, lantas penglihatannya beralih pada Alysa, “Ohiya, Bunda lagi bikin kue-kue kering di dapur. Yuk, ikut bikin! Pasti seru nih kalo bikinnya ditemani sama menantu.” tanpa sungkan-sungkan, Bunda Retno menyeret lengan Alysa untuk membawanya ke dapur dan bergabung membuat kue kering.
Sebelum akhirnya sampai pada langkah yang ke lima, Retno buru-buru mencegah. “Bun,”
“Iya, Sayang? Kamu juga mau ikutan bikin kue?” tanya Bundanya.
Kepala Retno menggeleng. Pengin sih, ikutan. Tapi kan harus kerja. “Nggak Bun. Aku harus berangkat ke Bandara sekarang.”
Dahi Bunda mengerut sedangkan Alysa hanya cuek bebek saja. Biarlah, bukan urusannya juga mau pergi atau tidak.
“Iya. Retno berangkat dulu ya, Bu.” tangan Retno mulai menyalami Bundanya lantas beralih ke Alysa, diam sejenak saling memandang. “Aku berangkat dulu.” Retno meraih tangan Alysa dengan paksa agar mau mencium punggung tangannya.
Mata Alysa sempat melotot dan hendak menolak, namun melihat Retno malah balas melotot membuat Alysa akhirnya mau mencium punggung tangan Retno. “Ha-hati-hati ya No—eh, Ma-Mas...” lalu segera melepas tangan sendiri dari genggaman Retno.
“Lysa, ayo kita bikin kue.” Bunda kembali menyeret Alysa ke dapur dan membuat kue kering bersama-sama disana.
Usai puas membuat kue-kue kering dan masak bareng Mama Mertua, kini akhirnya Alysa bisa bernapas lega juga. Ia duduk di tepian ranjang milik Retno. Wajahnya terlihat letih, mungkin letih karena habis kebanyakan disuruh ngunyah sana-sini. Habis makan kue kering banyak-banyak, menit selanjutnya sudah disuruh makan siang.
***
“Alysa.... Ayo Nak kita makan malam sama-sama...”
Tubuh Alysa mulai gerusak-gerusuk, ia merasa terganggu dengan suara asing itu serta tepukan-tepukan halus pada bahunya.
“Alysa... Ayo bangun...” suara itu lagi-lagi terdengar.
Alysa bangun dengan gaya seperti biasa, menggaruk kepala menggunakan kedua tangan, persis seperti monyet si pemilik kutu. Matanya masih terpejam, namun mulutnya berbicara. “Apasih... Masih ngantuk nih! Kalo mau makan, sana makan sendiri aja nggak usah ngajak-ngajak!” setelah berbicara seperti itu, matanya terbuka dan terbelalak kaget sampai tubuhnya terlonjak berlebihan.
Bunda mertua?
Sejak kapan?
Sesegera mungkin Alysa merapikan penampilannya, terutama rambut. Lantas ia turun dan berdiri menunduk di hadapan Bunda Retno yang kini malah geleng-geleng kepala. Yaa Tuhan... Dosa apa Bundanya Retno sampai-sampai dikutuk dapat mantu tidak normal sejenis Alysa.
“E-eh, Bu-Bunda... Maaf Bun, ak-aku... —,”
“Nggak apa-apa. Kamu cuci muka dulu sana, jangan mandi ini sudah malam, terus nanti kita makan malam sama-sama.” sela Bunda sambil berusaha tersenyum menutupi keheranan dalam benaknya.
“I-iya, Iya Bun.” tanpa babibu dan tanpa menunggu Bundanya Retno keluar dulu dari kamar, Alysa langsung lari ke kamar mandi. Sungguh ia malu sekali.
Makan malam sedang berlangsung, suasananya sangat ramai karena ada si kembar Rana dan Rani berusia 9 tahun anaknya Mba Anna, kakak pertama Retno. Serta ada Hasan berusia 7 tahun anaknya Mbak Ratna yang kini sedang mengandung anak keduanya.
“Kamu sama Retno beneran nggak honeymoon, ya?” tanya Mbak Ratna sambil aktif menyuapi Hasan.
Pertanyaan itu lagi! Sudah lebih dari lima kali Alysa ditanya seperti itu. Malas menjawab, Alysa hanya menggeleng saja, karena mulutnya penuh dengan makanan juga.
Mbak Ratna mengangguk, wanita itu beranjak membawa Hasan pergi dari meja makan karena tiba-tiba saja menangis dan tidak mau makan.
“Ada telpon! Sebentar, Ibu angkat dulu.” Bunda ikutan meninggalkan meja makan.
“Lysa, coba kamu bujuk Retno dong, suruh dia makan nasi....” celetuk Mbak Anna sembari tangannya mencegah tangan Rana agar tidak menabokkan sebuah sendok ke kepala kembarannya.
Dalam hati Alysa mencibir pertanyaan Kakak tertuanya Retno. Nyuruh Retno makan nasi? Yakali! Disuruh masak nasi saja Retno bilang lebih baik tidak makan seminggu. Gimana coba? Alysa saja akhir-akhir ini, sejak menikah dengan Retno jarang makan nasi. Siapa juga yang mau masak nasi, dirinya saja tidak bisa.
“Iya nanti aku usahakan, Mbak.” jawab Alysa.
“Om, ambilin Rani ayam goreng dong! Yang dada...” seru Rani, matanya menatap Alysa.
Ini lagi! Sudah jelas-jelas Alysa berjenis kelamin perempuan, malah dipanggil Om! Harusnya tante! Jika tidak, Onti sajalah. Alysa yang dipanggil seperti itu jelas saja marah. Ia melototkan mata pada si kembar Rani. Sudah lima kali ini Rani memanggilnya Om, waktu sedang membuat kue kering juga anak itu dengan usilnya memanggil Alysa dengan sebutan Om. Dan kini kesabaran Alysa sudah terkuras.
“Rani! Panggil Tante Lysa, jangan Om! Kamu udah janji sama Mimi tadi kan? Kalo kamu panggil Tante Lysa pake Om lagi, Mimi bakalan buang si Baby Boy kamu!” ancam Mbak Anna.
Seketika Rani merengut mendengar ancaman mengerikan itu. Baby Boy alias jangkrik kecil peliharaan Rani menjadi korban. “Habis rambutnya pendek kayak laki-laki, bajunya juga kayak yang sering Pipi pakai dirumah, jadi Rani panggilnya Om...”
“Oke, Mimi bakal buang Baby Boy!”
Tidak! Kepala Rani menggeleng-geleng keras. Matanya kini menatap Alysa penuh harap dan penyesalan, “Maafin Rani, Tante... Rani nggak lagi-lagi panggil Tante pake Om...” sesalnya.
“Makanya jadi anak jangan bandel! Kayak aku dong, panggilnya Tante Male! Ya kan, Tante Male?” celetuk Rana, member
Yaelah, Tante Jantan! Alysa yang baru saja hendak tersenyum ramah pada Rani karena mau meminta maaf, kini berganti jadi memelototi Rana.
“Rana! Jangan macam-macam ya! Sekali lagi panggil kayak gitu, Mimi nggak segan-segan lelang si Queen!” suara ancaman Mbak Anna terdengar, membuat hati Alysa sedikit lebih lega karena sudah ada yang menegur gadis-gadis kecil kurang ajar itu.
“Jangan Mimi! Aku kan baru dua kali ini panggilnya Tante Male!” Rana mencoba membela diri. Dia tidak mau Quen alias si kucing anggoranya di lelang.
“Tiga! Satu lagi, Mimi lelang!”
“Jadi gimana nasib Baby Boy? Nggak jadi di buang kan? Tante Lysa udah maafin aku kan?” celetuk Rani menatap binar pada Alysa.
Alysa balas mengangguk sambil tersenyum ramah. “Iya...”
“Ambilin ayam dong, Tante! Ish, tadi kan Rani minta diambilin ayam!”
Walau agak tidak ikhlas karena dengan enaknya anak kecil itu menyuruhnya, Alysa tetap mengambilkan satu potong ayam bagian paha pada Rani.
***
Usai mandi pagi, Alysa melangkahkan kakinya menuju dapur untuk sarapan. Tiba disana, yang pertama menyapanya adalah Rani. “Pagi Tante....”
“Pagi... ” balas Alysa lalu duduk di kursi meja makan, mulai bergabung dengan kegiatan sarapan pagi.
“Gimana tidurnya, nyenyak?” tanya Bunda.
“Nyenyak, Bun.” saking nyenyaknya, aku sampai buat pulau di bantalnya Retno Bun, sambung Alysa dalam hati.
“Syukurlah... Hari ini Bunda mau ke Butik, ikut yuk? Mau?”
Kegiatan mengunyah nasi goreng terhenti tiba-tiba. Alysa menatap Bunda sambil mengerjap beberapa kali. “Ke-ke Butik, Bun?”
“Iya..., Mau ambil pesanan Bunda. Kamu ikut ya? Sekalian cari-cari pakaian buat kamu. Bunda lihat kamu pake pakaian hitam-putih terus.”
Sialan si Bunda! Alysa memaki kesal.
“Gimana? Mau kan?” Alysa balas mengangguk saja. Karena menolak pun pasti Bunda akan memaksanya. Tidak enak juga jika menolak.
Tepat pada pukul sepuluh, Alysa dan Bunda sudah tiba di toko Butik yang katanya kerabat dekatnya Bunda. Keduanya masuk bersama-sama ke toko megah penuh pakaian Indah itu.
“Eeeehh... Jeng Dewi... Kesini sama siapa nih?” seorang wanita setengah baya datang sambil berkoar akrab. Memberi cipika-cipiki pada Bunda lantas menatap ramah pada Alysa yang kini tertunduk malu. Tumben sekali Alysa malu, biasanya malu-maluin.
“Lysa, kenalin ini Tante Hani, sahabat SD Bunda dulu. Ayo Salim.” tangan Bunda menuntun tangan Alysa agar bersalaman.
Selanjutnya para Ibu-ibu itu membawa Alysa ke sebuah gudang. Bukan gudang yang kotor dan banyak barang nggak terpakainya, ini gudang pakaian. Disana Alysa disuruh-suruh mencoba berbagai macam model pakaian.
***
Hari kedua dirumah Mertua. Sore, tepatnya pukul empat, tubuh Alysa sudah rapi mengenakan pakaian busana muslim berwarna merah maroon dan hijab langsungan berwarna sepadan dengan busananya.
Tujuan Alysa mengenakan pakaian tertutup itu karena sore ini ia diajak Bunda untuk mengikuti pengajian mingguan di komplek. Entahlah, Alysa pasrah saja. Apapun yang disuruh Bundanya Retno, akan Alysa turuti. Yah, walaupun ia harus kalang kabut untuk menuruti kemauannya yang tak kira-kira itu.
Setelah dirasa sudah cukup bosan menatap diri di pantulan cermin, Alysa keluar dari kamar. Menghampiri Bunda yang kini sudah menunggunya di depan rumah.
“Sudah siap?” tanya Bunda. Alysa mengangguk malu-malu. Lantas Bunda menggapit tangan Alysa dan mulai melangkah bersama-sama menuju masjid.
***
Hari ketiga. Tuhan tidak tanggung-tanggung memberi Alysa cobaan. Pagi ini, tepatnya pukul sembilan Alysa sudah mandi dan mengenakan pakaian dress selutut, warna nude. Ia menatap wajah sendiri di pantulan kaca, merasa tidak percaya diri menggunakan pakaian seperti itu. Masih mending kemarin, disuruh pake pakaian muslimah, daripada ini! Selain tak enak dipakai, bikin masuk angin juga.
Alysa diam tidak bergerak di depan cermin. Wajahnya piyas karena gugup. Bagaimana tidak gugup, hari ini Bundanya Retno dengan senang hati mengajaknya pergi arisan! Kurang gila apa, coba? Pergi ke pengajian kemarin si masih bisa di toleransi, karena Alysa juga sering diajak Ibunya pergi ke pengajian. Tapi ini? Pergi ke acara arisan! Yang pastinya disana ada banyak para wanita-wanita sudah berumur tetapi masih memiliki hobi merias diri. Alysa tidak habis pikir pada Bundanya Retno.
“Lysa... Kamu sudah selesai belum dandannya?”
Suara Bunda terdengar, Alysa buru-buru membuka pintu. “Udah, Bun.” sahutnya setelah berhasil membuka pintu.
“Nah... Gini kan cantik, kelihatan perempuannya! Ayo kita berangkat sekarang. Nanti disana kamu bakal ketemu lagi sama Tante Hani, yuk!”
Kelihatan perempuannya? Maksud dari kalimat itu apa, ya? Alysa mendengus sebal lantas mengangguk.
***
b****g Alysa terduduk lemas di kursi meja rias. Ia baru saja pulang, setelah berjam-jam diajak kesana kemari oleh Bunda. Alysa mengangkat kedua tangan lantas menggaruk-garuk rambut kepalanya tidak kira-kira. Seharian ini ia sungguh lelah sekali. Gimana tidak lelah coba, pagi-pagi sudah harus mandi cepet, langsung diajak pergi ketempat arisan para Ibu-ibu sosialita.
Masih mending arisannya hanya dikocok terus siapa yang dapat bisa langsung ambil duitnya lalu pulang. Lhah ini! Ngobrol dulu, ngitung uang arisan, dikocok, terus makan-makan. Hingga durasinya mencapai empat jam! Untung Ibunya tidak ikut-ikutan arisan seperti itu. Disana Alysa hanya bisa senyum mesem-mesem sok malu saja.
Setelah arisan yang durasinya tidak kira-kira itu, Bunda mengajaknya ke Mall. Masuk ke berbagai toko kosmetik, sepatu dan terakhir nyalon. Selesai dari Mall, Alysa kira akan langsung pulang. Namun rupanya Bunda malah mengajaknya ke sebuah rumah mewah yang ketika Alysa masuk ternyata sedang mengadakan tunangan.
Usai menghadiri acara tunangan anaknya kerabat Bunda, yang berakhir hingga pukul tujuh malam, akhirnya mobil milik Bunda memutar kearah jalan pulang!
Alysa berdecak ketika pikirannya malah membayangkan sosok Bundanya Retno yang ternyata rempong tapi penyayang itu. Tangan Alysa terangkat, menyentuh bulu mata palsu untuk dicabut. Setelah itu, tanpa mengganti pakaian lebih dulu, ia segera naik ke tempat tidur dan mulai memejamkan mata disana. Tidak peduli dress mahal itu akan mosak-masik, yang jelas Alysa sudah ngantuk.
Tidur Alysa terbangun ketika mendengar deringan alarm. Bukan! Itu bukan suara alarmnya dan entah itu bunyi alarm milik siapa. Alysa membuka mata dan menyipit kala melihat seseorang tidur di sebelahnya dengan posisi membelakanginya. Ketika pikirannya sudar tersadar, tubuh Alysa bangun dari rebah dan langsung menerjang seseorang yang tidur di sebelahnya, yaitu Retno. Alysa menjambak dan memukul bahu Retno kuat-kuat sambil berkata, “Gara-gara lo, gue kena kutukan sial selama tiga hari! Gara-gara lo gue harus pake baju nggak enak begini! Gara-gara elo—,”
Retno terbangun merasa terganggu dengan perlakuan Alysa. Dia buru-buru mematikan alarm di ponsel dan mengambil kacamata yang tergeletak di nakas samping tempat tidur. Lantas bangun dari tempat tidur, berusaha menghindar dari pukulan dan jambakan Alysa. “Apa sih, Alysa!” bentaknya sambil misuh-misuh.
Alysa balas menatap Retno garang, “Gue nggak mau nginep di rumah Bunda lo lagi! Gue nggak mau! Gue nggak mau lagi nemenin Bunda lo pengajian, arisan dan tunangan! Ogah!”
“Yaudah nggak usah jambak-jambak rambut aku segala!”
“Gue mau balik sekarang!”
“Ini masih subuh Alysa.”
“Balik sekarang! Kalo nggak, gue balakan—,” Alysa menggantungkan kalimatnya.
“Apa?”
“Gue bakalan... Gue bakalan balik sendiri!”
“Yausudah sana. Memangnya kamu bisa buka pintu depan? Pintunya tinggi. Sudah sana kamu pulang, aku mau tidur.” balas Retno acuh lantas membaringkan kembali tubuhnya pada tempat tidur.
“Iiihhh Retno gue mau balik... Gue nggak mau disuruh ini itu lagi sama Bunda lo! Gue nggak mau....! Retno...” Alysa menarik-narik rambut Retno, “Nono... Balik.... !”
“Sana kamu pulang sendiri! Aku capek baru pulang kerja!” ketus Retno lantas menutupi semua tubuhnya menggunakan selimut agar Alysa tidak bisa mengganggunya lagi.