Chapter 13 : Sakit Perut

1765 Words
    Kaki Alysa melangkah dengan hentakan kasar masuk kerumah Retno. Wajahnya terlihat kusut, mata sembab serta rambut yang urakan. Dan itu semua gara-gara Retno yang tidak mau mengantarkannya pulang. Alhasil, karena Alysa sudah muak dirumah Bunda, ia meminta Retno untuk membukakan pintu depan yang katanya tinggi itu, lantas pulang seorang diri.     Ia harus berjalan menuju lampu merah untuk menghadang mobil apapun yang terpenting terbuka, untuk ia naiki. Akhirnya setelah satu jam perjalanan kini tubuh Alysa bisa rebahan. Ia merebahkan tubuhnya di sandaran kepala sofa yang ada diruang keluarga. Mengatur napasnya yang tersengal-sengal karena terlalu lama berlarian, sambil sesekali mengelap peluh.     “Kamu udah sampai? Naik apa?”     Suara yang membuat telinga Alysa jadi panas tiba-tiba terdengar. Mata Alysa sebelumnya tetutup jadi terbuka lebar, menoleh ke sumber suara itu. Ia melihat Retno berdiri di samping sofa yang di dudukinya. Mata Alysa melotot tajam, menjawab dengan ganas, “Naik Onta!” lantas memalingkan wajah kearah lain.     Bukannya marah, Retno justru geleng-geleng kepala. Tangan kanannya terangkat, memperlihatkan plastik putih berukuran sedang ke hadapan Alysa. “Bubur ayam, buat sarapan.”     Sepuluh detik tidak ada sahutan. Akhirnya Retno meletakkan bubur ayam dimeja lantas ia berlalu masuk kekamar. Tidak guna juga mengurusi orang yang sedang ngambek, pikirnya.     Setelah melihat Retno sudah benar-benar masuk kekamar dan menutup pintu, barulah Alysa beraksi. Ia ambil plastik itu dan melongok isinya sambil melangkah menuju dapur. Ternyata isinya bubur ayam dua porsi.     Dua porsi? Yang satu buat siapa?     Retno doyan bubur? Doyan bubur tapi tidak doyan nasi? Alysa geleng-geleng kepala, ia tidak peduli ini satu bubur untuk siapa. Yang jelas akan ia habiskan semuanya. Tak mungkin juga Retno doyan bubur. Nasi saja dia sebut cacing, apalagi bubur! Yang bentuknya seperti...     Tidak sampai lima menit, satu porsi bubur sudah Alysa tandaskan. Kini ia membuka bubur satunya lagi dan mulai memakannya.     “Kamu makan semua buburnya?” Retno masuk kedapur sambil mulutnya memberi pertanyaan. Lelaki itu duduk didepan Alysa, memandang Alysa tidak percaya.     Tanpa mau menghentikan aksi makannya, Alysa menganggukkan kepala.     “Itukan bagian aku.” suara Retno terdengar sedih.     Barulah kepala Alysa mendongak, “Gue kira lo nggak doyan bubur, jadi gue makan semuanya. Lagian ya, gue laper banget! Selama dirumah Bunda, gue tuh jarang makan. Malu, makan di rumah orang.” katanya, lantas lanjut menghabiskan bubur.     Bohong banget! Kalau jarang mandi, itu baru iya!     “Kenapa malu?” iseng-iseng Retno bertanya. Lelaki itu mau tidak mau pagi ini hanya bisa meminum s**u saja.     “Ya malu lah! Mau makan banyak, nanti dikira gue gila makan!” balas Alysa. Ia memasukkan semua wadah bekas bubur kedalam plastik dan melemparnya ke tong sampah didalam dapur. “Eh, lo nggak kerja?” tanyanya, ketika baru menyadari bahwa Retno masih mengenakan pakaian santai.     Retno balas menggeleg. “Nggak, aku cuti sehari, capek.”     “Mana oleh-oleh dari Lombok?”     “Nggak ada. Aku disana kerja, bukan liburan.”     “Emang dasarnya pelit ya pelit ajalah. Kalo orang peka mah, walaupun disana kerja dia bakalan tetep beli oleh-oleh buat istrinya.” sindir Alysa.     Ini masih pagi. Karena Retno tidak mau debat dengan Alysa, ia lebih memilih beranjak pergi, mengacuhkan cerocosan Alya.     “Yeee... Di nasehatin malah pergi! Sue lo!” Alysa berteriak. ***        “Widiiihhh... Lo beli nasi bungkus dimano, No?” Alysa bertanya girang kala ia masuk kedapur untuk melaksanakan sarapan pagi dan melihat dua bungkusan nasi diatas meja makan.     “Di warung.” jawab Retno, tanpa menatap lawan bicaranya. Lelaki itu kini tengah sibuk menata pancake dari loyang ke wadah tupperware.     “Yaiyalah, masa di toko busana! Ini buat gue semua?” Retno balas mengangguk.     Selanjutnya Alysa menyantap dua bungkus nasi itu sedang Retno lebih memilih makan pancake buatannya sendiri, ditemani satu gelas s**u.     “Minta pancake satu dong, No...” ujar Alysa, setelah berhasil menghabiskan dua bungkus nasi yang isinya tidak tanggung-tanggung.     Retno menggeleng. Ia tidak mau membagikan satu pancakenya pada Alysa. “Kamu kan sudah makan nasi.”     “Satu aja buat cuci mulut, No.... Elah lo pelit juga ya ternyata.” Alysa mulai merajuk.     “Nggak boleh, Alysa. Ini pancake buat staf di kantor biar mereka kerjanya semangat. Sudah tau aku pelit, kenapa kamu masih minta?”     Bola mata Alysa melotot. Belajar ngomong darimana sih, si Retno? Sekarang dia jadi sering ngomong pedes. Apa waktu di Lombok, Retno keseringan makan cabe lombok. “Udah sana lo pergi! Panas banget liat model muka kutu kayak lo!” bentak Alysa.     “Ini rumahku.”     “Yang bilang ini rumah gue siapa...?”     “Kamu.”     Ketika Alysa hendak menyahut lagi, Buru-buru Retno menutup wadah tupperware, menghabiskan susunya lantas berlari keluar dari dapur.     “RETNO... BAKAL GUE SATE LO KALO PULANG!”     Alysa berteriak kesetanan. Ia beranjak pergi sambil menyumpah serapah Retno yang akhir-akhir ini jadi malah tambah berani padanya. Tubuhnya terduduk pasrah di sofa, memijit kecil pada sisi dahi. Kepalanya jadi pusing seketika.     “Kak Lysa.... Assalamu'alaikum ...”     Tubuh Alysa terlonjak mendengar suara cempreng itu. Ia melirik ke belakang dan melihat sosok adik tirinya sedang berjalan menghampirinya. Morena. Mau apa dia kesini? Pakai seragam sekolah pula! Alysa mendengus sebal dan kembali menjatuhkan kepalanya ke kepala sofa.     “Assalamu'alaikum....” Morena mengumandangkan suara salamnya lagi, ketika dirinya sudah sampai di sebelah Alysa. Tangan remaja itu terulur ingin berjabat tangan dengan Alysa.     “Walaikumsalam!” sahut Alysa, mau tidak mau ia mengeluarkan tangannya dan salaman. “Darimana lo dapat alamat rumah ini?”     “Mas Retno lah....”     “Ngapain lo kesini? Nggak sekolah?”     “Mau main aja. Sekolah kok, tapi lagi UTS jadi masuknya jam sembilan.”     “Ini udah mau jam sembilan, sana berangkat. Nanti kesiangan baru tau rasa lo!” Alysa berusaha mengusir.     “Iiiih, Kakak ngusir aku?” kaki Morena menghentak-hentak diatas lantai. “Aku kesini tuh mau liat keadaan Kakak... Sekalian mau numpang makan, tadi aku cuma minum s**u aja di rumah.... Soalnya Bunda sama Daddy tadi buru-buru pergi mau ada acara. Di kulkas ada makanan nggak?”     Bunda sama Daddy? Bola mata Alysa hampir saja jatuh kebawah mendengar itu. Wajahnya sudah memerah menahan amarah sejak tadi.     “Kak,”     “Gue nggak tau, sana lo cari sendiri!” bentak Alysa lantas beranjak pergi. Biarlah, mau Morena tadi cuma minum s**u kek, minum air putih kek, minum Baygon kek, Alysa tak peduli! Tapi setahunya, di kulkas sih masih ada tiga lembar roti dan dua pisang.        Sambil tiduran di tempat tidur, Alysa memainkan ponsel yang ternyata memiliki dua pesan kiriman dari Nunung. Nunung bilang katanya hari ini ada konser Tipe-X di daerah Cakung. Tapi sepertinya hari ini Alysa sedang tidak ada niatan untuk naik turun mobil tronton, jadi ia balas saja pesan dari Nunung berisi penolakan.      Bosan bermain ponsel, Alysa meletakkan benda itu lantas menutupi wajahnya dengan bantal. Jam masih masih menggenang pada angka sembilan, namun memang dasarnya mata Alysa, mata-mata ngantukan, hanya beberapa detik saja memejamkan mata kini sudah tertidur pulas. Melanjutkan mimpi indahnya semalam yang belum tuntas karena terbangunkan suara kokok ayam.      Ketika suara adzan berkumandang, barulah Alysa bangun. Ia melirik jam dinding yang rupanya menunjukkan pukul 14:40. Alysa buru-buru beranjak. Bukannya mandi, ia justru berlarian menuju dapur, mencari-cari makanan di dalam kulkas. Namun tak ada secuil pun makanan disana. Hanya ada selai kacang saja.     Bener-bener si Morena! Sekarang, ia harus makan apa? Semua makanan Sudan ludes di habiskan oleh Morena, tanpa sisa. Ingin makan di luar tapi motornya masih dalam keadaan sakit, alias bocor. Mana Retno belum pulang juga!     Untuk memperingan beban rasa sakit pada perutnya, Alysa memilih duduk di sofa ruang keluarga. Ia menonton TV agar rasa sakitnya tidak terasa, namun malah membuatnya semakin sakit.     “Ssshh... Mana laparnya nggak bisa di tunda juga! Awas aja si Morena, ketemu gue pepes deh lo!” makinya sadis.     Perut Alysa semakin melilit sakit, ia berusaha menangkal rasa sakitnya dengan merebahkan tubuh di sofa. Meringkuk disana sambil menekan sisi perut dan berusaha tertidur agar bisa lupa dengan sakit yang dialaminya.     Baru beberapa jam terlelap, Alysa terbangun kala perutnya semakin melilit tidak karuan. Sungguh, baru kali ini ia merasakan sakit perut yang tidak ada tandingannya. Jika di bandingkan, masih mending sakitnya PMS yang nyeri-nyeri manja, lhah ini! Sakit tak ketulungan.      Tiba pada pukul 22:33 Retno baru pulang. Lelaki itu melangkah buru-buru karena tubuhnya sudah lengket dan ingin segera mandi. Namun langkahnya terhenti ketika matanya tidak sengaja melirik sofa di ruang keluarga dan menemukan Alysa tengah tertidur disana dengan mulut mengeluarkan ringisan-ringisa kecil, sepertinya menangis.     “Lysa, kamu kenapa?” Retno bertanya.     Buru-buru Alysa membuka mata, melotot tajam pada seseorang yang ia tunggu-tunggu kedatangannya. “Kenapa-kenapa! Sakit perut bego!” marahnya.     Kepala Retno manggut-manggut dan merespon. “Ooh...” lantas kembali melanjutkan langkahnya.     “Retno... Perut gue sakit banget... Tolongin kek! Aduh... Aduh.. Ya Allah... Sshhhh...”     Mendengar suara mohon itu membuat langkah Retno terhenti. Ia berbalik dan melihat tubuh Alysa sudah dipenuhi peluh. Wajahnya seperti antara menahan rasa sakit dan marah, merah padam.     “Terus aku harus gimana?” tanya Retno, sama sekali tidak ada khawatir-khawatirnya sama sekali.     “Ya kalo orang sakit dibawa kemana?! Mikir dong!” Alysa marah.     “Tapi kan ini sudah malam.     Banyak alasan!     “Terus gimana? Lo nggak peduliin gue? Kalo gue mati kesakitan disini, lo mau jadi duda? Masih mending Duren, duda keren. Lhah elo, Dupu, duda cupu!”     Terlalu berlebihan!     Retno menghela napas sabar. Lagi sakit pun Alysa tidak pernah lupa untuk marah padanya. Ia meletakkan tas kerjanya di sembarang tempat lantas membopong Alysa, “Yasudah, aku antar kamu ke Dokter.” “Ya emang harusnya begitu!” ***     “Jadi gimana Dok, keadaannya?” Retno bertanya ketika bokongnya baru saja mendarat di kursi depan meja Dokter.     Dokter wanita setengah baya yang memeriksa Alysa itu menghela napas. “Nggak apa-apa, cuma gejala magh saja. Mungkin kurang di perhatikan pola makannya saja. Saya akan memberikan vitamin dan obat maghnya. ” jelas dokter sambil tersenyum. Selanjutnya dokter itu mulai meracik obat untuk Alysa.     Retno melirik Alysa di sebelahnya. Wanita itu rupanya sudah sembuh. Lihat saja wajahnya, sudah mulai memancarkan aura ganas dan itu rawan bagi Retno.     Setelah selesai mengatasi rasa sakitnya Alysa, mobil Retno kini melaju menuju ke restoran 24jam. “Perasaan, setiap hari kamu makannya banyak deh. Kok bisa kena magh?” tanya Retno disela-sela nyetir.     Kepala Alysa menoleh, “Heh, asal lo tau ya! Gue makan cuma pagi sama malam! Jam sembilan sampe jam empat gue jarang makan! Dan itu gara-gara lo, segala nggak ngebolehin gue ke dapur buat masak!”     “Kan bisa beli diluar.”     “Motor gue kan sakit! Yakali gue harus jalan kaki, ogah!”     Ohiya! Motor Alysa kan sengaja di bocorin Retno waktu itu.     “Pokoknya besok, sebelum lo berangkat kerja harus bawa motor gue ke bengkel dulu!”     “Iya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD