"Siapa yang masuk sembarangan?? Ini kamarku. Apa memasuki kamar sendiri, adalah sebuah kejahatan???" ujar pria yang malah dengan santainya berdiri di depan pintu kamar.
"Ck! Ayo tutup pintunya!! Nanti ada yang lihat!! Aku sedang tidak pakai baju!!" seru Elena dan tentunya segera Edgar kabulkan dengan senang hati. Ia tutup pintu kamarnya ini, akan tetapi , tanpa keluar dari dalam sana sebelumnya.
Kerutan di dahi Elena sontak saja muncul. Ia memperhatikan pria, yang malah tengah menatap ke arah ini.
"Kenapa kamu berdiri disitu!?? Ayo cepat keluar! Aku sedang pakai baju!" seru Elena.
Sunggingan bibir Edgar ciptakan, yang diikuti bersamaan dengan gelengan kepalanya juga.
"Ya sudah. Kalau ingin pakai ya tinggal pakai saja. Aku akan menunggu di sini. Karena kalau aku tidak membawamu bersamaku ke bawah nanti, ayahku akan menjual mobil kesayangan ku itu. Cepat! Aku tunggu di sini sampai kamu selesai!" cetus Edgar.
Elena berdecak dengan kesal dan menyambar pakaian yang berada di atas ranjang, lalu setelahnya, ia pergi saja ke dalam kamar mandi dan berpakaian di dalam sana.
"Dia seenaknya sekali!" gerutu Elena sembari menurunkan dress berwarna Salem dan bermotif bunga mawarnya itu , lalu mengeluarkan rambut panjangnya yang sedikit bergelombang di bagian tengah hingga ujung rambut, dari dalam dress-nya itu.
Setelah pakaian menempel di tubuhnya yang ramping, Elena pun keluar dari dalam kamar mandi dan segera pergi untuk menyisir rambutnya. Ia berdiri di depan cermin dan merapikan rambut dengan terburu-buru dan sesudahnya, ia datangi pria yang sedang berdiri saja sambil bersandar di dekat pintu kamar , dengan kedua tangan yang tengah menyilang.
"Ayo, aku sudah selesai," ajak Elena.
"Ck! Lama sekali!" gerutu Edgar sembari membuka pintu kamar dan jalan duluan. Namun, ketika akan memasuki ruang makan, ia pun teringat kembali, akan sandiwara yang harus ia lakukan lagi, demi terbebasnya ia dari segala bentuk ceramah, yang tentunya akan dilontarkan oleh sang ayah.
"Ayo," ajak Edgar sembari menggaet tangan Elena dan menggenggamnya.
Elena sontak menoleh kepada pria yang tengah menggandeng tangannya ini dan menatap wajah pria itu, lalu melihat ke arah tangannya ini, yang tengah dia genggam.
Belum lagi, saat berada di meja makan sana, pria tersebut bersikap begitu manis kepadanya. Hingga ia lupa, bila pria ini kerap berlaku dengan seenaknya kepada dirinya.
Kalau di depan ayahnya saja, sikapnya langsung berubah. Tapi jika ayahnya tidak ada, dia kembali menjadi seorang pria yang amat sangat menyebalkan lagi saja. Apa tidak bisa, pria ini berperilaku normal sepanjang hari saja, agar hidupnya ini terasa lebih mudah??
Kalau seperti ini, ia jadi bingung dalam bersikap. Ia tidak tahu harus bagaimana untuk mengimbanginya. Kenapa kelakuannya tidak bisa normal sedikit saja sih???
Ah, berangan saja terus. Karena sepertinya akan sulit untuk terwujudkan. Karena sudah kembali ke kamar lagi saja, bantal sudah melayang ke bawah dan ia diminta untuk tidur di sana lagi saja.
"Kenapa tidak kamu tolak saja, pernikahan kita kemarin," ucap Elena dan pria yang tengah memejamkan matanya itupun angkat suara juga.
"Sudah ku tolak. Sudah ku tolak mati-matian, tapi ayahku tetap mendesak untuk menikahi mu. Kamu pun tahu itu bukan??" ujar Edgar.
"Iya tapi, kalau memang tidak suka dengan pernikahan ini, harusnya kamu tolak terus saja. Jangan langsung setuju," ucap Elena.
Gelak tawa terdengar nyaring dan selanjutnya, Edgar pun berucap lagi saja. "Apakah kamu mulai menyesali pernikahan ini??" tanya Edgar.
"Iya. Rasanya jadi aneh. Kalau memang tidak suka. Ya kenapa harus menikah. Benar kan?"
"Iya. Benar. Kalau selera kita adalah daun yang kering. Ketika diberi daun muda, pasti rasanya kecewa. Benar kan??" sindir Edgar dan Elena nampak menghela napas lagi saja. Sudah dijelaskan bagaimana pun itu, laki-laki ini tetap saja menganggap ia adalah wanita simpanan ayahnya.
"Terus, apa mau kamu sekarang??" tanya Elena.
"Menyingkirkan mu, dari kehidupan ayahku!"
Elena nampak menghela napas lagi saja. Benar kan, mau bicara bagaimanapun, pria ini masih salah sangka juga.
"Ya sudah. Terserah apa katamu saja," ucap Elena, yang segera memejamkan matanya.
Sudah bosan mengajak pria itu bertukar pikiran. Apa lagi, pikiran mereka sangat jauh berbeda dan bahkan bertolak belakang. Jadi hanya membuatnya lelah saja. Lebih baik istirahat, karena besok, ia harus kembali mengikuti drama pria itu lagi.
Esok harinya di kantor.
"Jangan lupa, nanti malam, ada undangan dari rekan bisnis perusahaan kita. Kamu datanglah ke sana bersama Elena," pesan Rowan sembari memandangi pria, yang tengah duduk di seberangnya itu.
"Hanya berdua??" tanya Edgar.
"Iya. Tentu saja."
"Lalu Daddy?? Biasanya, kita datang ke setiap pertemuan bersama. Kenapa sekarang, Daddy tidak mau ikut??"
"Dad sudah cukup tua untuk melakukannya dan lagi, kamu sudah ada istri. Jadi, istrimu lah yang seharusnya menemani keseharian kamu. Mendampingi, di setiap ada acara apapun itu."
"Baiklah kalau begitu. Nanti malam, Ed akan pergi bersamanya," ujar Edgar sembari menaruh tumpukan berkas di meja ayahnya itu, untuk diperiksa kembali dan kemudian pergi dari sana.
Malamnya.
Elena didandani oleh tangan yang ahli di bidangnya. Ia dibuat menjadi wanita yang anggun dan cantik malam ini. Bahkan, Rowan sampai memuji-mujinya terus. Tetapi anaknya yang melihat hal itu, malah merasa Jijik mendengar maupun melihat kedekatan mereka berdua.
"You look so gorgeous, Elena," ucap Rowan sembari menyentuh kedua bahu Elena dan memperhatikan, wanita yang dalam balutan gaun berwarna hitam panjang ini.
"Thank you, Om," balas Elena sembari tersenyum tipis dan yang masih duduk di sofa sana, malah nampak tersenyum masam. Harusnya sebagai suami, dia yang memuji. Tapi melihat saja tidak dan malah buang muka.
"Ya sudah. Ayo, kalian segera berangkatlah. Nanti, acara keburu dimulai," perintah Rowan.
"Ed, ayo kemari lah. Bawalah istrimu ini," perintah Rowan sembari merangkul bahu Elena.
Edgar bangun dari sofa sembari mengembuskan napas dan berdiri di depan wanita, yang sudah melirik untuk melihat ekspresi wajah pria ini, yang bukannya takjub melihat penampilannya ini, tapi malah menatap dengan aneh dengan banyaknya kerutan, yang ada di dahinya itu.
"Ayo," ajak Edgar kepada wanita, yang ia pandangi dengan sinis ini.
"Ya digandeng, Ed. Kamu ini bagaimana sih!?" protes Rowan.
"Ck! Ayo," ajak Edgar lagi sembari memberikan tangannya, untuk digandeng oleh wanita yang sudah menjadi istrinya ini.
Elena mengulurkan tangan dan menggaet lengan Edgar, kemudian melingkarkan tangannya itu di lengan pria yang sudah siap-siap untuk pergi dari sini.
"Ed berangkat, Dad," ucap Edgar sembari menatap sang ayah.
"Iya iya. Ya sudah. Pergilah. Hati-hati mengemudikan mobilnya ya? Atau pakai saja supir," pesan Rowan.
"Tidak usah, Dad. Ed tidak percaya kepada supir. Nanti, mobil baru Ed malah lecet," ucap Edgar dan wanita yang digandeng terlihat geleng-geleng. Pria ini sangat trust issue sekali. Kepada supir saja tidak percaya, pantas dengannya pun sama.
"Ya sudah. Ed pergi dulu," ucapnya kemudian dan akhirnya pergi juga sembari membawa Elena bersamanya.
Setibanya di tempat tujuan. Edgar melepaskan Elena dan menyuruhnya untuk pergi kemanapun yang dia mau. Sedangkan dirinya berbincang dengan rekan bisnis dari ayahnya ini.
Elena yang tidak mau melewatkan kesempatan, nampak tengah berburu makanan saja. Toh tidak tahu apa lagi yang harus ia lakukan setelah ini.
Elena sudah melihat kue yang kelihatannya enak serta cantik dari kejauhan. Tapi, saat tangannya akan menyentuh cake tersebut, tangan lainnya pun datang dan akan melakukan hal yang serupa dengannya.
"Oh maaf. Silahkan duluan," ucap pria yang terlihat usianya tidak jauh berbeda dengan Edgar. Hanya yang berbeda, pria ini lebih tinggi, hingga membuat Elena harus mendongak, untuk melihat wajah pria tersebut.
"Tidak apa-apa, bila saya ambil??" tanya Elena.
"Iya. Tentu saja. Silahkan," ucap pria tersebut sembari tersenyum.
"Em, bagi dua??" ucap Elena.
"Tidak. Tidak usah. Untuk kamu saja," ucap pria tersebut lagi.
"Jangan. Kamu juga mau kan??" ucap Elena yang membelah dua kuenya dan memberikan satu potongan untuk pria tersebut, tanpa sadar, bila ada seorang pria lainnya yang tengah memperhatikannya dari kejauhan.