“Kemana dia? Kenapa belum datang?” Axel tampak gelisah menunggu di salah satu sofa di lobi utama kantor. Dia melirik kembali jam yang melingkar di pergelangan tangan. Ini sudah lewat jam masuk operasional kantor. Padahal seharusnya seorang cleaning service paling lambat satu jam sebelumnya sudah datang.
“Ck ck kemana sih dia? Apa nggak masuk kerja hari ini?” desis Axel. Dia sudah akan meminta tolong pada receptionist untuk mencari nomor handphone Lilian dan menghubunginya, ketika dia melihat orang yang dia tunggu-tunggu sejak tadi baru saja turun dari sebuah angkot di halte depan kantor.
Axel segera berjalan ke dekat mobilnya, dia masih menunggu dengan raut wajah tidak sabar.
Lilian yang terus berlari dari sejak turun dari halte, melihat sang bos besar sedang berdiri di sana, menatap tajam ke arahnya. Sontak jantungnya berdegup lebih kencang, dia meneguk saliva dengan susah payah. Ketakutan setengah mati akan kena semprot karena datang terlambat.
Lilian segera sedikit membungkuk ketika sudah berdiri tidak jauh di depan Axel. “Maafkan saya—”
“Ayo cepat masuk!” Axel membuka pintu mobil bagian pengemudi dan langsung masuk.
“Hah?” Lilian terdiam beberapa saat, dikiranya dia akan kena marah saat itu juga.
Dengan cepat Lilian membuka pintu penumpang bagian depan dan duduk di samping Axel yang telah memakai kacamata hitamnya. Masih sempat Lilian menoleh dan spontan mengagumi ketampanan Axel di dalam hatinya. Tampan dan terlihat sangat keren.
“Cepat pakai seat belt mu!”
“Baik, Pak.” Lilian menarik tali seat belt lalu memutari bagian depan tubuhnya, tapi dia merasa sangat nyeri begitu bagian dadanya tersentuh apalagi ini harus tertekan. Sebab dia tidak sempat memompanya tadi pagi.
“Ugh! Sshhh duh.”
Axel menoleh. Dilihatnya Lilian sedang meringis dengan keningnya yang mnegernyit. Kemudian spontan dia melihat ke bagian d**a Liilian. Benar saja, seragamnya sudah basah karena ASI yang merembes. Kancing kemeja Lilian tampak susah payah saling bertaut sebab bagian yang menonjol itu sangat terpampang nyata.
Glek. Kini Axel yang menelan salivanya dengan susah payah. Tanpa sadar dia merasakan sensasi yang berbeda. Maklum saja, Axel tidak pernah berhubungan dengan wanita manapun selain istrinya. Dia memang terlihat sangat tegas dan keras, tapi kesetiannya boleh diuji. Sekali sayang dengan wanita, maka tidak ada tempat bagi wanita lain di hatinya.
Axel telah mulai melajukan mobil keluar dari kawasan kantor, tapi dia cemas karena sesekali masih mendengar ringisan Lilian.
“Memangnya nyeri sekali, ya?” Axel bertanya tanpa menoleh.
“Eh, apa Pak maaf? Saya kurang dengar.” Lilian menoleh pada Axel.
Kebetulan lampu merah baru saja menyala, Axel menghentikan mobil lalu balas menoleh pada Lilian. “Itu.” Axel menurunkan pandangan. Dilihatnya kedua tangan Lilian sedang berusaha menahan tali seatbelt supaya tidak langsung menekan pada dadanya.
“Ohh i—iya, Pak.”
“Bagaimana cara mengurangi nyerinya? Dari tadi kamu kelihatan tersiksa.”
Lilian menghela napas dalam. “ASI-nya harus dipompa atau dihisap,” jawab Lilian cepat. Memang itu yang ada dalam pikirannya sekarang. Dengan posisi seperti ini benar-benar tersiksa, keringat mulai menetes di kening Lilian, padahal AC mobil begitu dingin. Setiap kali tangannya bergeser sehingga seatbelt sedikit saja menekan dadanya, maka rasanya seperti luka yang tersentuh.
Melihat itu membuat Axel semakin cemas, dia takut nanti Lilian malah menjadi drop lalu tidak bisa menjalankan tugas dengan baik sebagai ibu s**u Naomi.
Axel menepikan mobil di depan sebuah bekas bangunan yang sudah tidak terpakai. Dia melepas seat belt-nya sendiri, lalu memiringkan badan menghadap Lilian yang masih meringis kesakitan.
Axel mengulurkan tangan dan otomatis badannya mendekat pada badan Lilian. Sehingga membuat Lilian merapatkan tubuhnya pada sandaran kursi. Begitu dekatnya dia dengan Axel hingga membuat indera penciuman Lilian bagaikan dipenuhi aroma tubuh Axel yang khas, aroma maskulin yang hangat tapi menyegarkan.
“Pak Axel mau apa?”
“Katamu pakai seat belt membuat sakit, kan? Kalau begitu lepaskan saja.” Begitu cepat, ketika Axel mengulurkan tangan kanannya lalu melepaskan pengait seat belt dan tidak langsung melepaskannya begitu saja. Axel masih menahan tali seat belt hingga tertarik ke atas.
Tanpa sengaja tangan Axel menyentuh d**a Lilian yang memang menyembul. Meskipun hanya sekilas saja, tapi tetap Lilian bisa merasakan itu. Dia kembali meringis. Barulah Axel sadar kalau dia telah menyentuh Lilian di bagian yang sensitif itu, tanpa sengaja.
“Ohh maaf, saya nggak sengaja.” Axel tampak merasa bersalah. Padahal dia hanya ingin membantu tadi, sebab kelihatan Lilian agak kesulitan menggerakkan tangan.
“Nggak apa-apa, Pak. Begini sudah jauh lebih baik daripada tadi.” Memang benar, tanpa tertekan oleh seat belt, membuat Lilian bisa memposisikan tubuhnya sehingga menjadi lebih nyaman.
Axel mengambil sebuah bantal kecil di kursi belakang, sekali lagi tubuhnya yang beraroma khas maskulin menyentuh lengan Lilian. Kemudian diletakannya bantal itu di pangkuan Lilian.
“Mungkin dengan ini bisa membantumu menjadi lebih nyaman lagi.” Barulah kemudian Axel kembali melajukan mobil.
“Terima kasih, Pak,” ucap Lilian pelan.
Sesampainya di mansion, segera Axel berjalan menuju kamar putrinya di lantai dua. Lilian mengikuti langkah cepat Axel, dia selalu berusaha mengimbangi supaya tidak tertinggal dan beresiko akan nyasar lagi.
Axel membuka pintu kamar Naomi, tampak sang putri kesayangan sedang rewel dalam gendongan Rani.
“Ohh syukurlah, Mbak Lilian.” Rani tampak lega sekali melihat kedatangan Lilian.
“Sini Mbak, biar kugendong Naomi,” ucap Lilian lalu dengan lembut mengambil Naomi dari tangan Rani.
“Tolong buatkan minuman untuk Lilian.”
“Baik, Tuan.” Rani segera beranjak dari sana, keluar kamar lalu menutup pintunya kembali. Dia menuju dapur di lantai satu.
Axel perhatikan, raut wajah Lilian langsung berubah begitu Naomi sudah ada dalam dekapannya. Tadi Lilian selalu terlihat tegang dan kaku, apalagi ditambah terus-menerus meringis.
Namun sekarang, Lilian terlihat begitu bahagia. Senyumnya tulus saat melihat wajah Naomi. Axel terpana dengan pemandangan itu. Dia seperti melihat mendiang istrinya yang sedang menggendong putri mereka. Sampai tanpa sadar Axel tersenyum saat melihat Lilian mulai mengajak bicara Naomi yang dibalas dengan tatapan polos dari bayi mungil itu.
Namun detik kemudian senyum Axel menghilang dengan cepat, kedua bola matanya membelalak. Ketika tangan Lilian mulai membuka kancing kemejanya sendiri sambil masih terus menunduk mengajak ngobrol Naomi yang menjadi pendengar setia.
“Naomi sayang, yuk minum s**u dulu, ya,. Sama Mama Lilian ya, Nak. Minum yang lahap, semua susunya untuk kamu,” ucap Lilian dengan senyum yang tak pernah pudar. Tangannya terus membuka kancing kemeja satu-persatu. Membuat Axel yang masih berdiri di sana mematung tanpa berkedip.