Lilian menatap bingung pada suaminya. Apa yang dimaksud dengan bagus? Sebab telah lama sekali dia tidak pernah mendengar pujian dari sang suami. Maka hati kecilnya berkata, bagus yang dimaksud oleh Edwyn pastilah tidak akan bagus sama sekali.
“Kebetulan kemarin Mbak Elsa bilang sama aku, kalau bulan depan dia ada acara raker sekaligus gathering ke Bali, selama empat hari. Mbak Elsa butuh tambahan uang saku katanya untuk membeli oleh-oleh, jadi … uang lembur kamu bulan ini, nanti kasihkan semua ke Mbak Elsa, ya!”
Tanpa menunggu jawaban Lilian, Edwyn beranjak begitu saja dari sana. Dia melangkah dengan santai menuju kamar. “Siapkan makan malamku!” teriaknya sebelum masuk ke kamar.
Dengan tergesa Lilian bangkit dan setengah berlari menuju ke dapur. Sebab sebelum suaminya selesai mandi, menu makan malam sudah harus tersaji dengan hangat.
Tadi pagi-pagi sekali sebelum bersiap kerja, Lilian sudah memasak. Jadi dia hanya tinggal ambil dari kulkas lalu menghangatkannya. Tidak lupa juga menyiapkan teh manis hangat dan air mineral di atas meja makan.
“Huffttt … akhirnya selesai juga.” Lilian menyeka keringat di dahi. Dia sedang meneguk air mineral dingin untuk membasahkan tenggorokan ketika Edwyn datang dan menggeser kursi makan dengan cukup kencang, sehingga Lilian kaget dan segera meletakkannya gelasnya. Kemudian dia menyiapkan makanan untuk suaminya di atas piring putih bersih.
“Mas, boleh aku tinggal mandi? Aku gerah sekali.”
“Hmm.” Hanya itu jawabab Edwyn dan itu artinya diperbolehkan. Memang hanya di awal-awal pernikahan saja Edwyn selalu menawarkan Lilian untuk makan bersama. Setelah itu tidak pernah lagi. Maka lebih sering Lilian makan sesempatnya saja, dan itu dipedulikan oleh Edwyn sama sekali.
Segera Lilian beranjak ke kamar mandi yang terletak di pojokan kamarnya. Dia melepas seluruh pakaiannya lalu berdiri di bawah guyuran air shower yang hangat. Setelah menggosok seluruh badan dengan sabun cair, Lilian kembali berdiri di bawah air shower.
Perasaannya merasa tenang sekali dalam keadaan seperti ini. Mungkin, di bawah guyuran air hangat seperti ini, adalah tempat ternyaman bagi Lilian di rumahnya sendiri. Dia sering berdiam diri berlama-lama seperti ini. Kemudian pikirannya akan bercabang kemana-mana.
“Uang lemburku untuk Mbak Elsa? Huffttt! Bagaimana ini? Padahal kan uang tiga puluh juta itu sudah kubuat untuk biaya operasi ibu. Apa mungkin bulan depan aku minta uang gajiku di awal lagi pada Pak Axel? Duh! Aku sungguh nggak enak hati. Tapi … darimana aku bisa dapat uang tambahan kalau bukan begitu caranya?” Lilian sibuk membatin sendiri di dalam hatinya. Dia sedang kebingungan bukan main.
Ceklek. Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka. Edwyn berdiri di ambang pintu kamar mandi dengan senyum penuh arti.
“Mas?” Lilian spontan berusaha menutupi area intimnya dengan kedua tangan. Meskipun itu adalah suaminya sendiri, tetap saja Lilian merasa malu-malu.
“Cih! Untuk apa kamu tutupi segala, Lilian? Malu kok pada suami sendiri!” Hasrat lelaki Edwyn langsung melonjak melihat tubuh polos Lilian di bawah guyuran air shower. Apalagi aroma harus tubuh Lilian yang menguar. “Kamu sudah pernah punya anak tapi tubuhmu masih menggiurkan, itulah salah satu alasan yang membuat aku bertahan, padahal kamu adalah istri yang bodoh.
“Ups! Salah. Alasan kedua yang membuatku bertahan denganmu justru karena kamu terlalu polos alias bodoh! Aku masih membutuhkan tenagamu di rumah ini ketimbang membayar pembantu. Apalagi kamu juga pintar mencari uang, punya gaji sendiri, jadi aku bisa makan gratis setiap hari.” Edwyn membatin lalu mencibir membayangkan kebodohan Lilian selama ini. Edwyn tertawa di dalam hati.
“Mas, biakan aku selesaikan mandinya dulu, ya? Aku hanya tinggal pakai handuk saja kok.”
“Untuk apa pakai handuk segala, hmm. Aku yang akan mengeringkan tubuhmu, Lilian.” Tangan Edwyn terulur, mematikan kran shower.
Kemudian dia terus melangkah maju sehingga memojokkan tubuh istrinya pada tembok. Lilian pasrah, dia tahu percuma mencari alasan lagi untuk menghentikan suaminya saat ini. Itu hanya akan menyulut kemarahannya saja.
Maka Lilian membiarkan ketika Edwyn sudah mulai melumat bibirnya dengan begitu rakus. Lilian hanya mampu memejamkan mata dan menerima saat suaminya terus menjelajah bibir hingga semakin ke dalam dengan lidahnya yang lincah. Padahal kalau boleh jujur, Lilian tidak menikmatinya sama sekali.
Ya, sejak suaminya kerap berlaku kasar dan sering menyakiti hatinya, Lilian tidak pernah lagi memberikan hatinya saat bercinta dengan sang suami. Dia tidak merasakan kenikmatan sama sekali. Terlebih setelah memiliki anak.
Kedua tangan Edwyn tengah menggerayangi punggung Lilian yang mulus, hingga ke pinggangnya yang ramping. Dan terus ke bawah, menikmati bagian yang padat dan kencang di bawah sana, dengan telapak tangannya. Desahan-desahan mulai keluar dari mulut Edwyn tanpa ditahan. Sedangkan Lilian justru merasa risih dan mulai tidak nyaman, saat kedua tangan Edwyn kini naik menuju sepasang payudaranya.
“Ouh,” desah Lilian tertahan. Raut wajahnya meringis menahan nyeri. Edwyn salah mengerti, dikiranya sang istri sedang mendesah kenikmatan.
Membuat Edwyn semakin bersemangat membelai dan sesekali mulai menekan dengan agak kencang. Rasanya kenyal dan padat, membuat Edwyn benar-benar mabuk kepayang.
Sekuat tenaga Lilian menahan rasa nyeri, sebab saat ini kedua payudaranya telah terisi penuh. Terakhir dipompa sore tadi saat di rumah Axel. Sedangkan sekarang sudah beberapa jam berlalu.
“Ouh … Mas … ummhhh ….” Lilian terpaksa menggigit bibirnya sendiri karena sungguh merasa kesakitan.
“Ah! Apa ini?!” teriak Edwyn tiba-tiba sambil mundur satu langkah. Dilihatnya ada cairan putih yang mengalir dari kedua putting istrinya. Cairan yang sama yang menempel pada kedua telapak tangannya. Edwyn langsung mencuci tangannya yang terasa lengket. Raut wajahnya begitu jijik menatap pada Lilian bagaikan tatapan menuduh.
“Ma—maaf, Mas. Itu ….”
“Sampai kapan sih ASI mu itu masih keluar? Hah?! Tadi aku sangat menginginkanmu, tapi sekarang … aku jijik melihat tubuh kamu! Jadi jangan salahkan aku kalau sampai mencari kepuasan dengan wanita lain!” Edwyn membalik badan lalu keluar dari kamar mandi.
Tinggallah Lilian yang menangis sendirian di dalam kamar mandi. Dia memperhatikan tubuhnya di depan cermin di dalam kamar mandi. Kata suaminya, dia jijik melihat tubuhnya ini. Diperhatikannya sepasang p******a miliknya yang tampak bulat berisi, tapi terlihat basah pada kedua putingnya.
Lilian mendesah sedih. Dia kembali teringat pada Yara. Bayi surganya yang dibenci oleh papanya sendiri bahkan sejak masih dalam kandungan, dan juga bahkan setelah meninggal dunia.
Dia menarik handuk yang tergantung di tembok lalu dililitkan pada tubuhnya yang mulai kedinginan. Lilian keluar kamar mandi, dilihatnya sang suami sudah berbaring di ranjang dengan posisi miring, membelakanginya.
Setelah memakai piyama, Lilian memutuskan untuk langsung tidur saja. Dia tidak jadi makan malam karena rasa laparnya sudah hilang. Dengan perlahan Lilian naik ke atas ranjang. Memandangi punggung Edwyn yang tampak kekar. Dia rindu pada suaminya yang dulu. Yang begitu romantis saat merayunya untuk mau dinikahi.