Sesekali Raska melirik Sora yang tampak tidak tenang. Saat ini ia dan Sora dalam perjalanan menuju rumah sakit menyusul Sakura. Rupanya, Sakura pergi ke rumah sakit untuk menemui sang ibu. Sebelumnya Sakura sudah mengirim pesan pada Raska, tapi karena ponselnya lowbat, ia belum membaca pesan tersebut.
“Kenapa Mama di rumah sakit, Pa?” tanya Sora. Ia hanya mendengar dari sang ayah di mana keberadaan Sakura, bahwa ia berada di rumah sakit sekarang.
“Mama mengunjungi ibunya yang sedang sakit,” jawab Raska. Ia harap Sora lebih tenang sekarang sebab saat tak menemukan Sakura, anaknya itu hampir saja menangis dan mengajaknya segera mencarinya.
Sora tampak berpikir lalu mengatakan, “Ibunya Mama? Kalau begitu, neneknya Sora?”
Tubuh Raska menegang sesaat, ia lupa perihal hal ini. Dirinya menikahi Sakura di bawah tangan secara mendadak tanpa sepengetahuan keluarga Sakura. Jika tiba-tiba Sora bertemu ibu Sakura dan memanggilnya nenek, mengatakan dirinya dan Sakura telah menikah, apa yang akan ibu Sakura pikirkan? Jangan sampai penyakitnya makin parah bahkan terkena serangan jantung hingga meninggal. Jika itu terjadi, sama artinya dirinya menjadi penyebab kematian orang lain.
“Sora, ibunya mama sedang sakit, mungkin Sora tidak boleh bertemu dengannya,” ucap Raska mengantisipasi pertemuan Sora dan ibu Sakura.
Sora menatap Raska dengan pandangan tak terbaca seperti sedang berpikir. Namun, pada akhirnya ia mengangguk mengerti. “Oh, begitu. Ibunya mama pasti butuh istirahat, ya, Pa?”
Raska mengusap kepala Sora dan mengatakan, “Ya, ibunya mama butuh istirahat.”
Melihat wajah polos Sora membuat Raska merasa bersalah karena kembali membohonginya untuk kesekian kali. Tapi, untuk saat ini dirinya memang perlu banyak berbohong. Lagipula semua itu untuk dan demi Sora.
Cukup lama kemudian, mobil Raska berhenti di parkiran rumah sakit. Ia pun mencoba menghubungi Sakura menanyakan di mana keberadaannya sebab, ia beum mengatakan bahwa ia dan Sora akan menyusul. Namun, sudah berulang kali mencoba menghubungi Sakura, wanita itu tak juga mengangkat panggilan.
“Ada apa, Pa? Mama di mana?” tanya Sora melihat sang ayah tak juga masuk ke dalam gedung RS.
Raska mencoba menenangkan Sora. Ia tak bisa asal masuk ke dalam dan bertanya sebab ia tak tahu nama ibu Sakura.
“Tunggu sebentar, ya, Papa sedang mencoba menelepon mama.”
Tak mau menyerah, sambil menahan umpatan Raska kembali menghubungi Sakura. Mungkin ini panggan yang ke 5 dan barulah Sakura mengangkat panggilan.
“Halo, di mana kau.” Dengan suara yang dingin Raska bertanya.
Raska melirik ponselnya saat samar-samar mendengar suara isakan. Sakura menangis.
“Ma- maaf. Sa- saya ….”
Raska merasa ada yang tak beres mendengar tangisan Sakura. Dan saat Sakura kembali bicara dengan tersendat-sendat, matanya melebar.
Di tempat Sakura sendiri, dirinya tak bisa menahan tangis. Tangisnya pecah bahkan dirinya nyaris pingsan menerima kenyataan bahwa sang ibu telah mengembuskan napas terakhir. Pagi tadi ia mendapat telepon dari pihak rumah sakit, mengatakan mendapat pesan dari sang ibu bahwa ingin melihatnya. Ia pun meminta izin pada Raska, mengirim pesan yang mengatakan ia ingin menemui ibunya di rumah sakit. Ia juga menyebutkan nama rumah sakit sang ibu dirawat agar sang tuan percaya. Tapi, setelah ia sampai dan bicara dengan sang ibu belum lama tiba-tiba saja ibunya kritis dan tak lama mengembuskan napas terakhirnya.
“Ibu … ibu ….” Suara Sakura begitu lirih memanggil sang ibu. Selama ini dirinya bekerja keras hanya demi ibunya, bahkan sampai rela menjadi pengantin dadakan hanya demi ibunya pula, demi biaya pengobatannya, tapi belum saja dirinya mendapatkan gajinya, sang ibu telah tiada.
Raska menghentikan langkahnya melihat Sakura bersimpuh di lantai. Setelah mendengar apa yang terjadi dan mendengar posisi keberadaannya, ia menyusul Sakura sambil menggendong Sora.
“Mama!” seru Sora saat melihat sang Mama dari kejauhan. Namun, senyum yang sebelumnya merekah, perlahan lenyap melihat mamanya itu terlihat menangis tersedu-sedu. “Papa, kenapa mama menangis?” tanya Sora dengan suara pelan seakan terkejut melihat mamanya dalam keadaan seperti itu. Ia bahkan sampai berkaca-kaca meski tak tahu penyebab sang mama terus mengeluarkan air mata.
Raska tak mengalihkan pandangan dari Sakura. Meski belum lama mengenalnya, ia bisa memahami apa yang Sakura rasakan sekarang, kehilangan orang yang paling disayang. Karena, ia pun pernah merasakan itu.
Raska melanjutkan langkahnya hingga akhirnya berdiri di depan Sakura. Ia lalu menurunkan Sora dari gendongan.
Sora memeluk Sakura membuat Sakura terkejut. Dirinya yang tenggelam dalam kesedihan tak menyadari keberadaan Sora juga sang Tuan meski berada tepat di depannya.
“Mama, kenapa Mama menangis?” tanya Sora dengan menahan tangis. Melepas pelukan tangan kecilnya, ia mengusap air mata Sakura di pipi dengan ibu jari. “Mama, jangan menangis.”
Sakura menatap Sora dengan air mata yang terus mengalir meski Sora berusaha mengusapnya. Melihat mata Sora berkaca-kaca, tangannya yang gemetar mengusap sudut matanya Sora. “Sora di sini?” ucapnya dengan suara parau dan nyaris tersendat karena isakan. “Mama tidak apa-apa.”
“Tapi kenapa menangis?”
Sakura berusaha menghentikan tangisannya dan mengukirkan senyuman walau terpaksa dan berat. Ia tak mau memberitahu Sora, khawatir Sora akan teringat ibu kandungnya meski ia tidak tahu apakah ibu kandung Sora tiada karena meninggal atau pergi entah ke mana.
Raska tak mengalihkan pandangan, menatap Sakura dan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia tak mengerti bagaimana bisa Sakura masih bisa tersenyum meski terlihat jelas senyuman itu begitu ia paksakan.
“Papa bilang ibunya mama sakit?”
Sakura mendongak menatap Raska yang berdiri di depannya. Ia lalu kembali menatap Sora dengan air mata yang mulai menyusut. “Tidak, ibunya mama sudah sembuh. Sudah tidak sakit lagi, Sora.”
“Benarkah? Kalau begitu, Sora boleh menemui ibunya Mama? Ibunya Mama adalah nenek Sora, kan, Ma?”
Sakura terdiam. Maksud dari ucapannya adalah, ibunya sudah tidak sakit lagi karena sudah meninggal. Tapi, ia tak mau mengatakannya pada Sora.
“Maaf, ya, Sora. Ibunya Mama sudah pergi, jadi Sora tidak bisa bertemu dengannya lagi,” ujar Sakura.
“Pergi ke mana, Ma?”
Sakura kembali mendongak menatap Raska, berharap sang tuan membantunya memberi Sora penjelasan.
Raska mengangkat tubuh Sora, menggendongnya dan mengatakan, “Sora, mama belum makan, mari kita belikan mama sesuatu.”
Sora menatap Sakura yang berusaha berdiri. Ia seperti tak percaya dengan apa yang ayahnya katakan. “Mama mau apa?” Namun, pada akhirnya ia percaya ucapan sang ayah.
Sakura bertumpu dinding di belakangnya agar bisa berdiri tegak. Namun, kakinya yang masih lemas membuatnya oleng ke samping yang membuat Raska merangkul pinggangnya agar tetap berdiri. Tangan kanan Raska menggendong Sora dan tangan kirinya merangkul Sakura.
Sakura terkejut saat tubuhnya jatuh dalam dekapan Raska. Matanya sampai melebar melihat wajah Raska begitu dekat. Tampan, dalam sesaat hatinya memuji ketampanan majikannya itu. Ia juga sempat mencium aroma mint yang menyegarkan darinya.
“Ma- maaf,” ucap Sakura saat kesadaran menerpa. Di saat seperti ini ia tak pantas memikirkan hal lain selain sang ibu.
Sakura berusaha berdiri tegak setelah Raska melepas tangannya dari pinggang. Ia tak mau oleng lagi, tak ingin sang tuan kembali merangkulnya.
“Tuan.”
Raska cukup terkejut saat Sakura menarik bahunya, membuat bahu dan kepalanya sedikit turun ke arah Sakura.
Sakura berjinjit dan berbisik di telinga Raska, tak ingin Sora mendengar apa yang ingin dikatakannya. Mengatakan bahwa ia meminta izin untuk mengurus pemakaman ibunya. Namun, sebelum itu, ia meminta bantuan Raska terlebih dahulu untuk mengurus sesuatu.
Raska kembali berdiri tegak setelah Sakura selesai bicara. Ditatapnya Sakura yang menatapnya dengan wajah mengiba membuatnya berat untuk menolak permintaanya.