NPH 2

1121 Words
Milly baru saja menutup laptop miliknya, dan kedua mata wanita itu langsung tertuju ke pintu kamarnya yang terbuka lebar dan menampilkan visual pahatan sempurna sang suami--Eden. Di mana pria itu terlihat baru saja pulang, bahkan baju kerja yang ia kenakan tadi pagi masih melekat di tubuhnya. Pria itu berjalan mendekati tempat Milly duduk. Di dalam kamar memang Milly memiliki memiliki meja kerja yang ia buat untuk menyelesaikan segala pekerjaannya. Setelah sampai di depan wanita itu, Eden kembali meletakkan telapak tangannya di dahi Milly persis seperti yang tadi pagi dia lakukan. Milly tahu kalau pria ini sedang mengecek suhu tubuhnya. "Aku sudah sehat," akui Milly. Eden kembali menarik tangannya dan menatap keadaan kamar wanita itu lagi. "Aku sudah katakan untuk beristirahat. Kenapa kamu harus kerja lagi?" tanyanya seperti biasa. "Aku sudah katakan kalau aku baik-baik saja, Eden. Ini hanya demam biasa, setelah minum obat semuanya akan kembali normal. Lihatlah," sanggah Milly yang kemudian melihat pria itu mengambil napas dalam seperti sedang menanggung beban yang berat. "Kamu keras kepala, Milly. Apakah kamu sudah meminum obatmu malam ini?" tanya pria itu lagi. Kali ini nadanya tidak sekhawatir tadi. Milly pun mengangguk meskipun pada kenyataannya dia tidak meminum obatnya. Terakhir ia minum adalah tadi pagi. Menurutnya obat itu bekerja dengan baik, bahkan dia sudah merasa badannya tidak seperti tadi pagi. Sedikit lebih ringan dari tadi pagi. "Baiklah. Ini aku bawakan makanan kesukaanmu. Makanlah jika kamu ingin makan," ujar Eden yang mengangsurkan makanan terbungkus sterofoam. Milly menatap bungkus makanan itu dengan raut wajah berbinar. Pantas saja sejak tadi dia mencium bau enak sejak kedatangan Eden. Dan dia sudah bisa menebak makanan apa itu. "Terima kasih, Eden," ucapnya sambil tersenyum lebar. "Sama-sama. Makanlah yang banyak dan cepatlah sembuh. Aku akan kembali ke kamar, jika butuh sesuatu panggil aku atau pelayan," ucapnya lagi yang diangguki oleh Milly. Eden pun keluar dari kamar Milly. Seiring dengan kepergian sang suami, raut wajah Milly pun seketika berubah menjadi sendu sambil menatap makanan yang tersaji di depannya--martabak spesial kesukannya dari dulu. "Bahkan aku masih mengingat kenangan kita saat menikmati makanan ini," lirihnya di mana masih teringat akan masa lalu. Saat-saat bahagia ketika dia dan Eden bersama, bukan seperti orang asing seperti ini. "Huft." Eden mengembuskan napas lelahnya. Pria itu menyandarkan punggungnya di pintu dengan tangan yang bergerak membuka jas, dasi, kemudian kancing kemeja miliknya. Kemudian, matanya kembali menelusuri setiap inci kamar yang sudah menjadi tempat dia bernaung sejak lama itu. Matanya selalu tertuju kepada potret di meja dekat lemari besar miliknya. Pria ini pun berjalan menuju ke meja itu. Diangkatnya sebuah pigura yang menampilkan visual ketika dia masih lajang. Di sebelahnya ada Milly, dan di sebelahnya wanita itu ada Kris. Ternyata sudah lama sekali persahabatan mereka terjalin. Eden mengusap pelan foto itu, merutuki kebodohannya karena menghancurkan masa depan Milly. Eden dan Milly adalah sahabat sejak lama. Ketika keduanya beranjak dewasa, mereka tidak menyangka jika sudah lama keluarga mereka berniat mengatur perjodohan dan pernikahan. Baik Eden, Milly, bahkan Kris pun sama-sama terkejut mendengarnya. Ditambah dengan Nenek Eden yang kesehatannya semakin parah dan ingin segera melihat sang cucu menikah. Eden dan Milly tidak memiliki pilihan lain karena kedua orang itu sangat menyayangi nenek. "Maaf belum bisa menjadi suami yang baik untukmu, Mil," bisik Eden kepada potret Milly yang ada di dalam pigura itu. Eden kembali meletakkan foto itu ke tempat semula. Sekiranya itulah yang dia lakukan sekarang, menempatkan dirinya dan Milly di tempat semula. Baik Milly dan Eden sama-sama tidak tahu bahwa keputusan yang mereka buat akan berdampak besar di masa depan nanti. Ketika Eden menikahi Milly, dia merasa bahwa dirinya tidak akan pernah menjadi suami sempurna bagi sahabatnya itu. Karena Milly sudah mengenal Eden sejak lama, maka wanita itu menghargai segala keputusan yang pria ini buat. Meskipun di masa depan nanti dia akan merasakan sakit. "Kalian benar-benar akan menikah?" tanya Kris kepada kedua sahabatnya yang sedang dilanda kegelisahan. Bukan hanya mereka yang bingung, tetapi Kris pun juga. Eden mengangguk membenarkan, bahkan dia tidak tahu lagi untuk mengatakan apa. Dia tidak bisa menolak permintaan sang nenek, wanita yang paling dia sayang di dunia ini sebelum sang mama. "Dan kamu, Mil? Kamu akan menikahi Eden?" tanya Kris yang matanya tertuju kepada Milly. Wanita itu juga mengangguk, dan Kris pun menjadi pusing dibuatnya. Takdir dua sahabatnya ini benar-benar aneh. "Pernikahan bukan hal main-main. Pernikahan adalah menyatukan dua orang yang berbeda. Aku tau kalian sudah kenal lama, tetapi untuk pernikahan ... rasanya akan sulit kalian jalani," kata Kris terdengar serius. Meskipun pria ini memiliki jiwa seperti wanita, tetapi pikiran Kris masih waras untuk tahu bahwa pernikaham bukan hal yang baik dijadikan lelucon. "Untuk itulah kita mengundang kamu ke sini," lanjut Eden yang langsung mendapat perhatian penuh dari Kris. Eden pun mengeluarkan sebuah map yang ada di dalam tas miliknya. Dia memberikan kertas itu kepada Milly. Milly membaca kertas itu. "Itu adalah surat perjanjian sebelum menikah," terang Eden yang langsung mendapat pelototan dari Kris. Dengan cepat Kris pun beralih duduk tepat di samping Milly guna membaca kertas itu. Seketika mulutnya pun terbuka lebar karena benar-benar terkejut dengan hal yang baru dilihatnya ini. "Hebat! Bahkan aku baru saja mengatakan bahwa pernikahan bukan hal main-main dan sekarang kalian akan membuat pernikahan ini seperti permainan yang sebenarnya," cetus Kris dengan nada sarkas miliknya. Eden pun mengernyit karena melihat Kris yang berbeda, tidak seperti biasanya. "Kita tidak memiliki pilihan lain, Kris. Kalau kamu ada di posisi kita, aku yakin kamu akan melakukan hal yang sama. Jangan salah paham dulu, perjanjian ini adalah hal yang membuat aku dan Milly untuk tidak terikat sepenuhnya. Dan di sini aku meminta kamu menjadi saksi, agar segalanya menjadi lancar," jelas Eden yang tidak ditanggapi oleh Kris. "Eden ... aku tidak mengerti dengan isi perjanjian ini," ujar Milly, "pernikahan ini berakhir jika kedua belah pihak sepakat untuk mengakhiri pernikahan bersama. Maksudnya apa?" "Kita bisa mengakhiri pernikahan jikalau kamu dan aku sepakat," jawab Eden. "Kalau kalian tidak saling sepakat, maka pernikahan akan terus berjalan," sambung Kris yang mulai paham dengan isi perjanjian itu. Milly pun mengangguk mengerti, namun kemudian dia mengernyit. "Bukankah kamu bilang kalau pernikahan berakhir jika nenek tidak ada?" tanya Milly yang masih mengingat perkataan Eden minggu lalu. "Ya, awalnya aku berpikir untuk mencantumkan itu. Tetapi, rasanya sungguh tidak manusiawi jika kita benar-benar mengakhiri pernikahan ini jika nenek tiada. Bukankah itu terdengar seperti kita yang sedang menunggu kematian menjemput?" lontar pria ini yang membuat Milly akhirnya paham. Tanpa menunggu lama, Milly pun segera membubuhkan tanda tangan, diikuti oleh Eden, kemudian Kris sebagai saksi. Mengingat hal itu membuat Eden merasa menjadi orang bodoh. Seharusnya sejak awal dia tidak perlu melakukan perjanjian, atau bahkan memang sejak awal dia mengatakan bahwa tidak ingin menikahi Milly. Setidaknya wanita itu bisa mendapat kehidupan yang lebih baik dari pada dengan dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD