Awan-awan kelabu menggantung berat di atas atap, seolah ikut merespons tekanan yang perlahan menggumpal dalam dadanya. Mobil taksi yang ditumpanginya berhenti di depan gerbang rumah bergaya kolonial klasik milik keluarga Salvadora, yang berdiri megah tapi terasa semakin asing baginya pagi itu. Vanya turun tanpa suara. Langkahnya pelan, nyaris seperti terhuyung. Angin pagi menyapa wajahnya, dingin dan lembap. Di tangannya, ponsel terus tergenggam erat, seolah masih membawa gema suara Papa-nya yang berat dan penuh nada kecewa. Begitu gerbang terbuka, seorang penjaga rumah menyapanya dengan anggukan gugup. Vanya membalas dengan senyum lemah, lalu melangkah masuk ke dalam rumah. Suasana rumah nampak sepi. Hanya ada aroma harum kayu manis dan kopi hitam dari dapur, serta suara langkah kaki y