Setelah makan siang di kafe itu — Jakarta, sore hari Langkah Vanya terasa berat saat ia meninggalkan kafe tempat pertemuan terakhirnya dengan Raisa. Di luar, matahari Jakarta masih menggantung rendah, sinarnya menyoroti aspal panas dan trotoar yang mulai berdebu. Namun, tak ada cahaya yang mampu menembus kabut kelabu yang bergulung di dalam hati Vanya. Ia berjalan tanpa arah, menolak kembali ke kantor ataupun menyentuh pekerjaan yang menumpuk. Semangatnya lenyap, pikirannya berantakan. Ia membiarkan langkah kakinya menuntun sesuka hati, tak peduli ke mana ia akan berakhir. Sesekali ia menunduk, mengusap air mata yang mengalir diam-diam dari sudut matanya, seakan setiap helai bulu matanya membawa beban kesedihan yang terlalu berat. Bukan hanya karena pengkhianatan Raisa—sahabat yang sela