"Rey?"
Tak ada siapapun, suaranya yang cukup keras tak bisa membuat Rey datang ke arahnya. "Rey? Dimana kamu, Nak?"
Saat berjalan jauh ke arah seberang, dilihatnya Rey tengah berdiri tapi tak hanya sendiri. Ada seorang nenek yang juga berdiri bersamanya sambil tersenyum pada Rey. Nenek tua itu seperti tengah menanyakan sesuatu pada putranya. Mungkin ditemukan sedang bermain sendirian, karena Rey memang tadi keluar dari tempatnya berjualan sambil membawa bolanya.
Ia mengira Rey tak akan berani bermain jauh. Cukup lama ia sibuk melayani para pembeli hingga sadar Rey memang tak berada di area sekitarnya.
"Rey, ayo pulang, Sayang!"
Ia memanggil anaknya yang berdiri sambil memegang bingkisan, terlihat berisi snack dan juga minuman. Anak itu langsung berlari begitu melihatnya datang.
"Mama!"
Mata Rey berkaca-kaca, seperti menangis tapi ia masih cukup riang tak seperti ketakutan. Rey akan menangis kalau takut dimarahi, dan mungkin dia takut kena marah dan hanya bisa menangis padahal ia tidak akan memarahinya.
"Rey! Kamu bermain cukup jauh, Sayang!"
Rey hanya tersenyum, lalu menghisap jempolnya. Dengan cepat Amelia menepis tangan Rey agar tak menghisap jempolnya yang mungkin kotor kena bola.
Amelia memandang ke arah nenek yang berada di hadapan Rey. Wanita itu tersenyum, sepertinya dia orang yang baik. Dilihat dari cara ia memandangnya.
"Ini anakmu?" tanya wanita tua itu.
Amelia mengangguk, mengusap kepala Rey yang wajahnya sembab karena habis menangis. Anak itu memeluk erat kedua kakinya dan menangis lagi.
"Kenapa bola mu bisa masuk ke parit? Mama sudah bilang jangan main sembarangan!" ucapnya sedikit menekan agar Rey takut dan tak mengulangi lagi.
Wanita tua yang tadi bersama dengan Rey menghampirinya. Mengatakan sesuatu dengan lembut. Suaranya yang serak dan sedikit parau berusaha membela Rey agar tak kena marah.
"Dia tidak salah, jangan marahi anak selucu ini. Bolanya saja yang menggelinding jauh dan masuk ke parit!"
"Maaf, Nek. Tapi dia yang salah, sepatutnya memang disalahkan karena bermain jauh,"
"Wajar dia bermain, bergabung saja dengannya saat bermain. Jangan biarkan dia sendirian!"
Amelia merasa tak perlu panjang lebar berdebat dengan seorang nenek-nenek, ia berusaha untuk mengalah saja. Namun lagi-lagi, nenek yang tak dikenalnya ini menanyakan sesuatu padanya tentang berapa usianya.
"Anakmu ini, usianya berapa tahun?"
"Dua tahun, Nek," jawabnya.
Amelia memandang wanita tua itu. Terlihat bersahaja seperti bukan orang sembarangan. Wajahnya tampak teduh dengan sorot mata cukup tajam. Ia mengira-ngira usia wanita itu sekitar 70 tahunan.
"Dua tahun, akhir bulan ini dia genap berusia dua tahun," imbuh Amelia seraya terus memandanginya.
Ada mobil yang sangat mewah berhenti tepat di sekitar mereka, mungkin itu mobil nenek ini. Memang dari penampilannya terlihat sebagai orang yang cukup kaya. Meski telah berusia senja namun masih cukup cantik dan rapi untuk ukuran seorang nenek-nenek.
Wanita tua itu mengusap dan tersenyum pada Rey, Amelia merasa malu karena Rey sedikit kotor dan mungkin akan membuat wanita itu terkena debu yang menempel di rambut anaknya. Rey terbiasa bermain dengan tanah bahkan bisa berguling di rerumputan.
"Anakmu ini lucu, meskipun masih kecil dia pandai berbicara, aku tanya dimana mamamu, dia bilang kalau mamanya sedang jualan, apa benar?"
Amelia mengangguk lagi, "Benar yang dikatakan Rey, Nek,"
"Rey? Namanya Rey?" tanyanya.
"Ya, Nek,"
Tiba-tiba wanita tua itu mengeluarkan sebuah dompet. Uang beberapa lembar diberikan untuknya. "Ini! Ambillah untuk anakmu, belikan dia baju yang cukup hangat, cuaca sedang sangat dingin. Anak selucu ini harus memakai baju lengan panjang, aku memberikannya karena ingat cucuku, dia sangat mirip dengannya,"
Amelia tak serta merta mengambil langsung uang yang jumlahnya tak sedikit itu. Ia takut kalau wanita tua itu menginginkan sesuatu yang tak lazim atau bahkan akan membawa Rey.
Dengan cepat ia menggendong Rey dan menolak pemberian wanita tua itu. Amelia memilih pergi tapi wanita tua itu langsung menaruh uangnya di saku celana Rey yang kebetulan saat digendong saku celananya mengarah ke arahnya dan memudahkan meletakkan uangnya disana.
"Aku memberikannya dengan ikhlas, jangan menolak!" ucapnya tegas lalu pergi.
Amelia membalikkan badannya dan mengejar wanita tua. "Nek ... Nenek!"
Sia-sia sudah memanggil dan meneriakkannya, tahu-tahu wanita tua telah masuk ke sebuah mobil yang cukup mewah dan pergi dari jalanan di sekitar tempatnya berjualan.
Ia berdiri tertegun dan merasa sia-sia mengeluarkan suaranya tadi. Amelia bergegas masuk ke both jualan miliknya dan meraba celana Rey. Dikeluarkannya uang di saku celana Rey. Sepertinya cukup banyak wanita itu memberikannya.
Dihitungnya ternyata ada sekitar satu juta rupiah. Amelia merasa bingung sekaligus takut karena jarang sekali ada orang sebaik ini bisa memberikan uang dalam jumlah yang cukup banyak tanpa mengenal atau tahu latar belakangnya.
"Rey, kamu tidak kenapa-kenapa, kan tadi?" tanyanya.
Rey hanya diam saja dan menguap, anaknya sepertinya mengantuk dan tak lama memang akhirnya tidur setelah memangkunya. Untungnya hari ini jualan sedang sepi jadi bisa digunakan untuk berisitirahat sambil memikirkan nenek tua tadi.
**
"Kamu kenapa, sih? Bete amat, muka ditekuk kaya orang kurang gizi!" tukas Farhan sambil mengunyah buah apel yang didapatnya dari atas meja.
Arkana tampak mendesah dan merasa beban di pundaknya seperti terhimpit. Arkana bukan pria dengan kesulitan ekonomi yang berat, tapi caranya mendesah seperti orang yang memiliki tekanan ekonomi lemah
"Kenapa, Ar? Butuh asupan gizi atau kasih sayang?"
Arkana mengeluh, bibirnya manyun, rokok yang akan dikeluarkan dimasukkan lagi ke dalam bungkusnya. Kebingungan melanda hatinya, dia bimbang dan ingin pergi dari Indonesia menuju ke Paris, negara yang ingin dikunjunginya.
"Ada apa sih? Kelihatannya seperti orang yang kurang bahagia?"
Farhan menepuk punggungnya dan merebut rokok yang masih utuh satu bungkus itu. Ia adalah seorang dokter yang sangat perhatian pada kesehatan Arkana. Sudah cukup lama memberi peringatan pada sepupunya itu agar berhati-hati dengan paru-parunya.
"Nenek minta aku menikah terus, bikin nggak betah aja di rumah," tukasnya dengan suara datar.
Farhan tertawa, lalu mengingatkan Arkana untuk tetap sabar. "Nenek mau menikahkanmu, mungkin karena dia kesepian,"
"Memang, dan aku belum ada calon, kecuali seseorang yang dulu pernah ..."
Farhan menoleh dan menunggu ucapannya dilanjutkan.
"Pernah apa? Kamu ada pacar, Ar?"
Arkana diam saja, ia ingat seseorang yang pernah menolongnya tapi dia telah membuat kerugian yang sangat besar. Ada noda di atas sprei, di sebuah kamar hotel tempat ia menginap dan kata orang hotel ada seorang gadis yang datang bersamanya. Ia bingung dan masih mencari tahu siapa dia.