Ciuman Yang Memabukkan

1070 Words
Baby berdiri mematung di halaman rumah Reigan, masih memegang paper bag ungu yang berisi ponsel baru. Udara malam yang semilir tak mampu meredakan gejolak dalam dadanya. Bibirnya bergetar, bukan karena dingin, tapi karena rasa bersalah yang menyesakkan. Ciuman panas tadi di bioskop terus berputar di pikirannya. Bagaimana Reigan mendekat, bagaimana tubuhnya merespons tanpa bisa menolak, bagaimana napas mereka bertaut dan bibir mereka saling melumat dengan tergesa namun dalam. Itu bukan sekadar ciuman biasa—itu terlalu menggoda, terlalu intim. “Kenapa aku membiarkannya?” bisik Baby lirih sambil menunduk. Reigan punya tunangan. Gladys. Wanita cantik dan dewasa yang pasti sudah membangun banyak cerita dengan pria itu. Lalu kenapa dia, Baby yang bahkan tak tahu siapa dirinya sendiri, bisa tenggelam begitu saja dalam pelukan Reigan? Langkah kaki mendekat membuyarkan lamunannya. Mark, sang asisten pribadi Reigan, baru keluar dari mobil dan menghampiri sambil tersenyum sopan. “Terima kasih, Tuan Mark. Maaf karena aku membuat hari libur Tuan terganggu,” ucap Baby seraya menunduk. “Tidak masalah, Nona. Lagipula saya harus tetap bekerja jika dibutuhkan meski itu hari libur sekalipun.” Baby menggigit bibir bawahnya, matanya kosong memandangi lantai teras. “Tuan, aku sangat menyesal karena membuat calon istri Rei marah.” Mark terdiam sejenak. “Nona, sepertinya kurang sopan memanggil Tuan Reigan dengan sebutan namanya saja.” “Maaf. Tapi Rei yang melarang aku memanggilnya tuan.” “Oh, begitu rupanya. Baiklah. Mengenai Nona Gladys, tidak perlu terlalu dipikirkan. Tuan Reigan yang akan mengurus semuanya. Lagipula itu bukan kesalahan Nona Baby.” “Tapi... tetap saja rasanya seperti salah. Aku tidak tahu kalau dia sudah bertunangan.” Mark tersenyum tipis. “Tuan Reigan tidak pernah membicarakan hal pribadi, Nona. Saya sendiri tidak tahu pasti bagaimana status mereka.” “Tuan, apa Rei akan menikah dengan calon istrinya itu?” tanya Baby pelan. “Saya tidak tahu, Nona. Itu sepenuhnya urusan Tuan Reigan.” Baby menarik napas panjang. “Ah, maaf aku terlalu ingin tahu urusan orang lain. Sekali lagi terima kasih sudah mengantar aku. Selamat liburan, Tuan Mark.” “Sebelum itu, ini ponsel Nona. Saya sudah mengaturnya seperti yang Tuan Reigan perintahkan. Di daftar kontak hanya ada nomor beliau.” Baby menerima ponsel itu dengan kedua tangan. “Apa tidak ada nomor Tuan Mark juga?” “Tidak. Tuan Reigan tidak memerintahkan saya menambahkannya.” Baby tersenyum kecil, mencoba bersikap biasa. “Hem... baiklah. Tapi seandainya aku perlu bantuanmu?” “Kalau nanti Tuan Reigan mengizinkan, saya akan memberikannya, Nona.” Mark benar-benar patuh. “Kalau begitu, aku masuk dulu. Hati-hati di jalan, ya.” “Nona, tunggu.” Baby menoleh lagi. “Ya?” “Berhubung Tuan Reigan memintamu memanggilnya tanpa embel-embel, saya juga minta yang sama. Panggil saya Mark saja.” Baby terdiam, lalu mengangguk pelan. “Baik, Mark.” --- Di tempat lain, Reigan duduk berhadapan dengan Gladys di restoran mahal yang tadinya ingin ia kunjungi bersama Baby. Tapi pertemuan tak terduga dengan Gladys membuat semua rencana berubah. “Rei, kau berhutang penjelasan padaku,” ujar Gladys, kedua tangannya bertaut erat di atas meja. “Siapa gadis itu?” “Sejak kapan kau peduli? Kita bahkan jarang bicara beberapa bulan ini,” sahut Reigan tanpa emosi. Gladys menahan napas. “Aku hanya kaget. Gadis itu masih sangat muda. Kau membawanya ke rumahmu?” “Dia tidak punya tempat tinggal. Aku hanya menolong.” Gladys mengerucutkan bibir. “Tapi dia bukan... simpananmu, kan?” Reigan tertawa kecil, sarkastik. “Pikiranmu selalu kotor.” “Aku hanya cemburu, Rei,” ujar Gladys. “Kalau begitu, biar adil, aku juga ingin tinggal di rumahmu.” Reigan menatap tajam. “Jangan bodoh.” Gladys bersandar, mencoba tenang. “Kau selalu menolak untuk dekat denganku. Bahkan menciumku pun tidak pernah.” “Apa sekarang kau minta ciuman?” “Kalau itu membuatmu kembali padaku, ya.” Reigan tak menjawab. Ia menunduk menatap makanannya, tapi pikirannya kembali pada bioskop tadi—bagaimana bibir Baby mengecap manis, bagaimana tangannya menggenggam erat lengan Reigan saat layar film menampilkan adegan panas. Ciuman mereka tak disengaja, tapi berkembang jadi sesuatu yang tak bisa dihentikan. Sial. Dia bahkan tidak bisa mencium Gladys walau sudah lima tahun bertunangan. --- Di dalam kamarnya, Baby duduk di tepi ranjang sambil memeluk lututnya. Ponsel barunya tergeletak di samping. Hatinya kacau. Kepalanya penuh dengan pertanyaan. "Apa yang sebenarnya aku rasakan? Kenapa aku tidak bisa marah, padahal dia punya tunangan?" Wajah Reigan begitu dekat saat itu. Nafasnya hangat. Suaranya berat dan dalam. Bibirnya, Tuhan... bibirnya menyapu lembut bibir Baby, lalu menghisapnya perlahan seolah memberi waktu untuk menolak, tapi Baby malah memejamkan mata dan membalas ciuman itu. Dia tidak bisa berhenti. Satu ciuman jadi dua, lalu makin dalam, makin panas. Sampai Reigan berhenti dan berbisik, "Kalau kau tak ingin lanjut, kita bisa pergi." Tapi Baby tidak berkata apa-apa. Dia hanya menatap mata pria itu, dan sekali lagi mereka menyatu dalam kecupan yang memabukkan. Sekarang, semuanya terasa seperti kesalahan. Tangannya gemetar memeluk diri sendiri. "Aku bodoh... sangat bodoh." Pintu kamarnya diketuk pelan oleh salah satu pelayan. Baby buru-buru menyeka air matanya dan menjawab, “Iya?” “Nona, makan malam sudah disiapkan.” Baby tidak lapar. Tapi dia harus menjaga wibawa di rumah ini. Setidaknya, dia tidak mau terlihat terlalu lemah. “Baik, aku segera turun.” Namun satu hal pasti—hatinya mulai rapuh. Dan Reigan adalah satu-satunya alasan di balik semua keretakan itu. ** Baby duduk di ruang makan yang terang dengan lampu gantung kristal berkilau. Ia menyuapkan sesuap nasi dan potongan ayam ke mulutnya, tapi rasanya hambar. Bahkan makanan yang tampak lezat itu pun tak mampu mengalihkan pikirannya. Yang terus berputar di kepalanya adalah ciuman panas mereka di bioskop. Ciuman pertama, yang begitu dalam, mengalirkan sesuatu yang asing namun membakar tubuhnya dari dalam. Sentuhan Reigan di pipinya, tekanan bibirnya yang begitu dalam, desahan kecil yang lolos tanpa bisa dicegah—semuanya membuat jantung Baby berdetak kencang hanya karena mengingatnya. Ia menunduk. “Kenapa aku seperti ini…” bisiknya. Sendok di tangannya diam menggantung. “Aku bahkan bukan siapa-siapa... dan dia sudah punya tunangan.” Pikirannya menampilkan lagi ekspresi Reigan saat membungkam bibirnya. Matanya tajam, hangat, dan entah kenapa… begitu memilikinya. Baby mengusap bibirnya pelan, seolah masih bisa merasakan bekasnya. Rasa bersalah menghantam dadanya, tapi rasa itu bercampur dengan sensasi aneh yang ia tak bisa tolak. Ia ingin menolak, tapi tubuhnya berkata lain. Ia mendesah, memaksakan diri kembali makan, tapi setelah dua suapan, ia berhenti lagi. “Kenapa aku malah berharap bisa menciumnya lagi…?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD