Bab 5

1519 Words
    Rana menjatuhkan diri ke kasur. Ia mengembuskan napas dalam. Rasanya sangat melegakan makan malamnya bersama dengan Sagara akhirnya selesai. Rana hanya bisa berharap pria itu tidak mengajaknya makan malam berdua saja seperti tadi. Rana tak akan betah dengan obrolan basa basi seperti tadi.     Rana melirik arah jam yang berada di nakas. Saat ini sudah pukul setengah sebelas malam. Mungkin seharusnya Rana menghubungi Ruby untuk melaporkan makan malamnya bersama dengan Sagara. Rana mendial nomor Ruby. Tapi, setelah menunggu beberapa saat Ruby tak kunjung mengangkat panggilan telepon dari Rana.     “Apa udah tidur?” gumam Rana menatap layar ponselnya.     Akhirnya Rana memutuskan untuk mengirim pesan kepada Ruby agar menghubunginya ketika melihat pesannya itu. Setelah itu Rana memutuskan untuk berendam air hangat agar tubuhnya bisa lebih rileks.     Sebagai seorang pelayan, Rana tidak mempunyai waktu luang untuk sekadar berendam air hangat. Bahkan dirinya pun tidak mempunyai bathtube. Tapi di sini, sebagai Ruby, Rana mempunyai apa pun yang pernah sangat ia inginkan. Kebebasan melakukan apa pun. Dan sebaiknya ia memanfaatkannya sebaik mungkin.     Rana menghabiskan sekitar setengah jam untuk berendam dan membersihkan diri. Setelah berpakaian, Rana langsung berjalan ke meja rias untuk mengeringkan rambutnya yang masih basah. Lalu, tanpa sengaja ia menoleh ke arah jendela di kamarnya. Dari sana, ia melihat sosok pria yang berjalan menuruni tangga depan rumah menuju mobil hitam yang terparkir di halaman. Tak salah lagi, itu adalah Sagara.     “Hampir jam setengah dua belas mau ke mana dia?” gumam  Rana mendekat ke arah jendela agar bisa melihat sosok Sagara lebih jelas. Pria itu sudah berganti pakaian dengan kemeja berwarna biru dongker dengan lengan yang digulung sampai siku. “Pasti mau ke kelab malam. Dasar,” kata Rana lagi geleng-geleng kepala.     Tak lama kemudian mobil itu meninggalkan halaman rumah.     Sembari mengeringkan rambut, Rana juga memikirkan kepergian Sagara. Jika benar pria itu pergi ke kelab malam, Rana jadi punya alasan untuk memperjelas rasa tak sukanya kepada Sagara. Bahkan, hal itu bisa dijadikan Ruby sebagai alasan untuk menolak perjodohan tersebut. Lagian, mana mungkin Hendrick membiarkan putri kesayangannya menikah dengan pemabuk seperti Sagara—ya, Rana berasumsi bahwa Sagara ke kelab malam itu untuk mabuk.     “Baiklah,” kata Rana sambil bangkit dari posisi duduknya. “Aku bakal nungguin Sagara pulang dan memergokinya mabuk.”     Rana melirik ponselnya yang menunjukkan pukul dua belas lebih sepuluh. Mungkin sebaiknya Rana turun ke lantai bawah, menunggu Sagara di sana. Karena jika menunggu di kamarnya, Rana tak akan bisa mencium bau alkohol yang ditenggak Sagara. Rana hanya bisa berharap Sagara tidak pulang terlalu malam—atau pagi. Takutnya nanti Rana malah ketiduran.     Setelah memakai cardigan di atas piyama tidurnya, Rana turun ke lantai satu. Dirinya menunggu Sagara di ruang tengah dalam keadaan lampu padam. Rana memang tidak berniat menyalakan lampu. Bahkan, kalau bisa, Rana ingin Sagara tidak menyadari kehadirannya di sini ketika pria itu pulang.     Rana menoleh ke arah jam dinding. Pukul satu malam. Dan Sagara belum juga pulang.     “Nona Ruby?” panggil suara dari arah samping Rana yang sukses membuatnya terperanjat kaget. “Maaf saya mengagetkan Anda.”     “Nggak kok,” balas Rana menggelengkan kepala. Saat ini sudah ada Nila yang berdiri di sampingnya. “Ada apa?” tanyanya.     “Saya hanya ingin menanyakan apa yang Nona Ruby lakukan di sini tengah malam begini? Apa kebetulan Nona tidak bisa tidur? Apa perlu saya buatkan sesuatu?”     “Oh itu, iya saya nggak bisa tidur,” kata Rana. “Dan nggak saya nggak perlu dibuatin apa-apa. Kamu istirahat aja, silakan tidur.”     “Baik kalau begitu,” balas Nila. “Kalau butuh apa-apa, Nona bisa panggil saya atau pelayan yang lain.”     Rana mengangguk dan tersenyum. “Iya, terima kasih. Kamu tidur aja yang nyenyak. Saya yakin nggak akan butuh apa-apa.”     Nila menganggukkan kepala. “Kalau begitu saya permisi dulu.”     “Oh iya,” kata Rana sebelum Nila pergi meninggalkannya. “Sagara, dia biasanya pulang jam berapa?”     Nila menoleh ke arah jam dinding. “Tidak pasti, Nona. Kadang jam satu sudah pulang. Kadang lebih,” jawabnya. “Apa Nona sedang menunggu Pak Sagara?”     Rana terkekeh dan menggelengkan kepala. “Nggak kok. Saya nggak sedang nungguin Sagara, saya hanya nggak bisa tidur,” jawabnya. “Ya udah, kamu silakan istirahat.”     “Baik, Nona. Saya permisi dulu. Selamat malam,” kata Nila lalu berjalan pergi meninggalkan Rana.     Rana menguap sambil menatap lekat-lekat arah pintu yang menuju ruang tamu. Dalam hati ia berharap bahwa Sagara segera sampai. ***     Sagara memarkirkan mobilnya di halaman. Lalu ia keluar dari mobil dan berjalan memasuki rumah. Sagara merenggangkan tubuh. Badannya terasa sangat capek karena dirinya sibuk seharian. Seharusnya malam ini ia bisa tidur lebih awal. Tapi, karena Erika memintanya bertemu, akhirnya ia tidak punya pilihan selain pergi menemuinya.     Sagara menghela napas dalam. Kedatangan Ruby yang tiba-tiba membuat dirinya kewalahan. Seharusnya perempuan itu datang ke sini setelah semua urusan pribadi Sagara selesai. Tapi, ternyata orangtua mereka ingin segera mempertemukan mereka berdua. Dan bahkan mungkin menginginkan keduanya untuk secepatnya menikah.     Sagara menyalakan lampu ruang tengah. Dirinya berniat pergi ke dapur untuk mengambil minum sebelum naik ke kamarnya. Namun, sesosok perempuan yang terkulai di sofa ruang tengah membuatnya berhenti. Sagara hanya bisa menghela napas melihat perempuan itu.     “Ngapain tidur di sini, sih?” gumamnya seraya mendekat ke arah Ruby.     Sagara melirik jam dinding yang saat ini menunjukkan pukul dua lebih sepuluh. Ia jadi bertanya-tanya, apa kamar yang ia siapkan untuk Ruby kurang nyaman sehingga perempuan ini memilih tidur di sofa? Kemarin pun Sagara mendapati Ruby tengah terduduk diam di halaman belakang. Ternyata Ruby cukup aneh.     Sagara menyentuh lengan Ruby dengan lembut, mencoba membangunkannya. “Ruby,” panggilnya. “Sebaiknya kamu pindah ke kamarmu.”      Ruby hanya bergumam, tapi matanya masih tertutup.     “Ya Tuhan,’’ kata Sagara dengan helaan napas dalam.     Tanpa berpikir panjang akhirnya Sagara mengangkat Ruby dalam gendongannya. Sagara berjalan menuju lantai tiga di mana kamar Ruby berada. Di dalam gendongannya, Ruby tampak damai, tak terganggu sedikit pun. Sagara mengamati wajah Ruby yang terlihat manis meskipun tanpa make up. Ruby memiliki wajah yang enak dipandang. Bukan tipe wajah yang amat sangat cantik yang bisa membuat siapa saja jatuh cinta karena nafsu. Sagara tidak akan keberatan menghabiskan hidupnya bersama wanita ini selama bisnis keluarga mereka lancar. Ya. Perjodohan antara mereka berdua memang karena bisnis.     “Pak Sagara,” panggil suara dari arah belakangnya. Sagara menoleh dan mendapati Nila, pelayan yang ia tugaskan untuk membantu Ruby, tengah berlari kecil ke arahnya.     “Kamu belum tidur?” tanya Sagara ketika Nila sudah ada di sampingnya.     “Belum, Pak. Saya menunggu Nona Ruby kembali ke kamarnya,” jawab Nila.     “Apa yang Ruby lakukan di bawah?”     “Sepertinya Nona Ruby menunggu Anda pulang. Tadi Nona Ruby sempat menanyakan kapan Anda akan pulang.”     Sagara kembali menatap ke arah Ruby yang masih tertidur  lelap. Sagara jadi bertanya-tanya untuk apa Ruby menunggunya pulang? Apa ada hal penting yang ingin dia tanyakan atau katakan kepada Sagara?     “Tolong bukakan pintu pintu kamar Ruby,” kata Sagara kepada Nila.     Nila mengangguk dan bergegas membukakan pintu kamar yang ditempati Ruby.     “Kamu boleh kembali ke kamar. Dan silakan istirahat,” kata Sagara lagi.      “Baik, Pak,” balas Nila.     Sagara berjalan memasuki kamar Ruby. Lalu, dengan hati-hati meletakkan Ruby ke kasur. Ketika Sagara menarik kedua tangannya dari bawah tubuh Ruby, tiba-tiba saja ia melihat mata Ruby terbuka. Kedua mata perempuan itu membulat, tampak kaget ketika melihat Sagara. Kemungkinan karena jarak wajah mereka yang terlalu dekat. Detik berikutnya Sagara mendengar teriakan dari mulut Ruby diikuti tangannya yang mendorong Sagara agar menjauhi tubuhnya. Setelah itu Ruby berguling ke samping hingga tubuhnya terjatuh ke lantai yang berada di seberang tempat tidur. Sagara melihat kejadian yang begitu cepat itu dengan kening berkerut.     “Kamu nggak apa-apa?” tanya Sagara kepada Ruby.     Ruby bangkit dari posisi jatuhnya seraya menunjuk Sagara dengan telunjuknya. “Tadi kamu ngapain? Kamu sedang mencoba melakukan hal yang tidak-tidak kepada saya?” tuduhnya dengan ekspresi kaget beserta panik.     Sagara menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri sebelum menenangkan Ruby. “Saya tidak sedang mencoba melakukan apa-apa, Nona,” kata Sagara tenang. “Saya hanya memindahkan kamu ke kamar. Tadi kamu ketiduran di ruang tengah.”     Seakan mengingat sesuatu, Ruby menganggukkan kepala dengan ekspresi sedikit linglung.     “Kamu mabuk?” tanyanya lebih seperti tuduhan.     “Apa kamu mencium bau alkohol pada tubuh saya?” tanya Sagara dengan sebelah alis terangkat.     Ruby mengendus udara. Lalu perempuan itu diam sejenak. “Saya nggak pernah mencium bau alkohol. Saya nggak tahu,” jawabnya entah jujur atau berbohong, Sagara tidak yakin. “Jadi, apa kamu mabuk?” tanyanya lagi.     Sagara memberinya senyum kecil. “Tidak, Nona. Saya tidak mabuk.”     “Terus, jam segini baru pulang habis dari mana?” tanya Ruby seraya melirik ke arah jam di atas nakas.     “Saya sedang tidak bisa tidur. Jadi, saya berkendara berkeliling sekitar sini.”     Ruby menggaruk kepalanya. “Oh,” balasnya.     “Ada lagi yang ingin kamu tanyakan ke saya?”     Buru-buru Ruby menggelengkan kepala. “Nggak ada.”     “Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu. Selamat malam,” kata Sagara seraya memberi senyum sopan kepada Ruby. Setelah itu ia berderap meninggalkan kamar perempuan itu.     Sungguh malam yang sangat panjang dan penuh drama. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD