Bab 6

1589 Words
    Rana duduk diam di kasurnya. Pikirannya melayang kembali memikirkan kejadian sepuluh menit yang lalu, ketika dirinya mendapati wajah Sagara hanya berada beberapa sentimeter darinya. Apa Sagara tadi ingin menciumnya dan melakukan hal yang tidak-tidak kepadanya? Rana menggelengkan kepala kuat-kuat, mencoba mengusir pikiran kotor dari otaknya.     “Lagian, kenapa aku bisa ketiduran, sih?” gumam Rana kesal sendiri menatap jam di atas nakasnya yang sudah menunjukkan pukul dua lebih tiga puluh lima menit. Ternyata sudah jam setengah tiga lebih. Pantas saja dirinya ketiduran.     Dari penciumannya tadi, Rana tidak mencium bau alkohol dari tubuh Sagara. Bisa dipastikan dia tidak sedang mabuk. Tapi, entah mengapa Rana masih tidak percaya dengan ucapan pria itu tentang dirinya yang tidak bisa tidur dan hanya berkendara keliling sekitar. Sekurang kerjaan itu kah Sagara?      Rana menghela napas dalam. Ia menoleh ke arah sekitar, mencari air minum. Namun, ia tidak menemukan air minum di mana-mana. Akhirnya dengan malas Rana bangkit dari kasur dan berjalan keluar kamar.     Seingat Rana di lantai ini ada dapur bersih. Mungkin saja di sana ada air yang bisa diminum. Juga ada cemilan yang bisa dimakan. Gara-gara terbangun tadi, dirinya saat ini sudah tidak mengantuk lagi.     Rana berjalan ke arah dapur dan langsung membuka kulkas yang ada di sana. Untung saja isi di kulkas ini cukup lengkap. Rana berjongkok untuk mencari buah yang sekiranya bisa langsung ia makan.     “Kamu sedang apa?” tanya suara yang membuat Rana terperanjat karena kaget. Rana langsung terduduk dan berbalik menatap pria yang tengah berdiri menjulang tinggi di hadapannya. “Kamu nggak apa-apa?” tanya pria itu lagi.     Rana mengembuskan napas lega lalu menggelengkan kepala.”Nggak apa-apa,” jawabnya seraya bangkit dari posisi duduk. “Kamu hobi banget bikin kaget,” omel Rana melirik Sagara dengan kesal.     Sagara tersenyum tipis. “Maaf,” katanya.      Rana hanya mengangguk lalu mengambil satu botol air mineral dingin dari dalam kulkas. “Kamu belum tidur?” tanyanya kepada Sagara.     “Masih belum mengantuk.”     Rana mengangguk. Ia kembali menatap Sagara. “Kenapa pulang?”     Sagara mengernyit bingung. “Maksudnya?”     “Tadi kamu kan bilang habis berkendara berkeliling sekitar sini karena tidak bisa tidur. Kenapa pulang kalau masih nggak bisa tidur?”     Sagara terkekeh pelan. “Mungkin memang seharusnya saya masih di jalan. Tapi, jika saya tadi tidak segera pulang, pasti badan kamu sakit semua karena tertidur di sofa,” balasnya. “Nila bilang kamu tadi menunggu saya, ya? Apa ada sesuatu yang ingin kamu tanyakan ke saya atau katakan ke saya?”     Rana tertawa canggung mendengar pertanyaan Sagara. “Siapa yang nunggin kamu, sih? Saya tadi cuma penasarana aja dan tanya ke Nila kamu ke mana tengah malam begini. Nggak ada maksud lain.”     “Jadi begitu,” kata Sagara terdengar tidak percaya dengan ucapan Rana. Rasanya Rana seperti bocah berumur lima tahun yang sedang berbohong kepada orangtuanya. Bodoh sekali.     “Ya udah kalau gitu, saya mau balik ke kamar,” ucap Rana cepat-cepat seraya berjalan meninggalkan Sagara.     Rana ingin segera kembali ke kamarnya dan membenamkan diri di dalam selimut. Ia tak mau dipermalukan lagi oleh Sagara. Pria itu diam-diam mematikan.     “Ruby,” panggil Sagara yang membuat Rana berhenti.     “Ya?” Rana berbalik untuk menatap Sagara.     “Nanti siang saya ingin mengajak kamu menonton. Bagaimana? Kamu mau?” ajaknya tersenyum lembut.     Tidak. Rana tidak mau. Rana menolak! Tapi, sebagai Ruby, rasanya agak aneh menolak ajakan Sagara itu.     “Ya. Oke,” jawab Rana mencoba tersenyum lebar. “Apa saya harus mengenakan pakaian berwarna merah?”     Sagara mendenguskan tawa ringan. “Silakan pakai pink kalau kamu mau.”     Rana menggelengkan kepala. “Saya akan memakai warna biru,” katanya. “Saya permisi dulu. Selamat malam,” tambahnya. “Atau pagi,” ralatnya. “Selamat beristirahat, Ruby,” balas Sagara mengangguk dan tersenyum sopan.     Rana berjalan menuju kamarnya sambil membawa sebotol air mineral. Dalam hati ia tak henti-hentinya mengomel karena ajakan dari Sagara itu. Karena sejujurnya Rana hanya ingin menghabiskan seharian nanti dengan tidur. Pasalnya, gara-gara menunggu Sagara pulang dirinya harus rela begadang hingga jam segini.     Dasar menyebalkan. ***     “Bagaimana kabarmu, Ran?”     Rana menghela napas. Ia menguap lebar sambil menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal. “Ngantuk,” balasnya. “Semalaman aku nungguin Sagara pulang. Aku kira dapat memergokinya pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. Tapi ternyata tidak. Dia nggak mabuk.”     Terdengar kekehan dari seberang telepon. “Terus?”      “Terus nanti siang dia ngajakin nonton. Emang dia segabut itu apa? Bukannya dia orang sibuk, By?”     Ruby menghela napas panjang. “Sepertinya dia sedang memperlihatkan sisi fleksibelnya di hadapanmu, Ran. Biar dia terkesan selalu ada waktu buat kamu. Dengan begitu dia akan menjadi calon suami idaman.”     “Iya, sepertinya begitu. Lalu, apa yang harus aku lakukan, By?” tanya Rana putus asa. Matanya melirik buket bunga mawar merah yang berada di atas meja. Itu adalah buket mawar pemberian Sagara. Sepertinya pria itu juga ingin menunjukkan sisi romantisnya kepada Rana. Padahal, Rana bisa melihat bahwa Sagara sebenarnya tidak benar-benar menyukainya. Sagara hanya bersikap sopan. Apa dia tidak lelah berpura-pura seperti itu?     “Coba provokasi dia, Ran. Bikin dia kesal atau marah gitu. Atau korek sesuatu dari kehidupan pribadinya.”     Rana menganggukkan kepala meskipun ia tahu bahwa Ruby tidak bisa melihatnya. “Aku sedang mencoba mencari tahu tentang wanita yang disukainya. Maksudku, dia pria normal kan? Dan kurasa pria sekelas Sagara pasti punya wanita yang disukai. Siapa tahu dia pun punya kekasih kayak kamu.”     “Nah, iya. Coba aja cari tahu, Ran,” balas Ruby. “Oh iya, kamu janjian sama Sagara jam berapa?”     “Jam sebelas sampai sana. Tapi aku berencana sampai sana jam setengah dua belas. Kali aja dengan begitu dia akan kesal.”     Ruby terkekeh. “Bagus,” katanya. “Ya udah, selamat kencan. Aku mau kencan juga sama Farand.”     "Jangan kencan di mal. Aku nggak mau kalau tiba-tiba kita nggak sengaja ketemu."     Terdengar kekehan dari seberang telepon. "Oke. Bye, Ran."         “Bye. Hati-hati, By,” kata Rana     “Siap!”     Dengan begitu Ruby mengakhiri panggilan telepon mereka. Rana bergegas masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia tak perlu terburu-buru karena memang berniat telat datang. Ia sungguh berharap Sagara akan marah karena Rana yang terlambat datang. Untuk ukuran orang sibuk, seharusnya tepat waktu adalah segalanya bagi Sagara. Orang seperti itu paling benci dengan orang ngaret.                 ***      Tepat pukul setengah dua belas siang Rana sampai di depan bioskop tempat di mana Sagara akan menunggu. Rana menoleh ke segala arah, mencari pria itu. Lalu, dari arah ruang tunggu bioskop, Rana melihat Sagara tengah berdiri sambil membawa popcorn di tangannya. Dari wajahnya tampak sekali bahwa pria itu kesal. Hal ini membuat Rana tersenyum lebar.     Dengan santai Rana berjalan menuju ke arah Sagara. Senyum lebarnya kini ia ganti dengan eskpresi khawatir yang dibuat-buat.     “Sori, ya, nunggu lama?” tanya Rana menepuk lengan Sagara pelan.      Sagara menoleh ke arah Rana. Untuk sesaat Rana agak takut ketika melihat ekspresi dingin di wajah Sagara. Namun, tak butuh waktu lama untuk Sagara mengubah ekspresinya itu menjadi senyum kecil.     “Nggak kok,” balasnya masih mempertahankan senyum itu. “Ayo,” katanya.     Rana mengangguk lalu mengikuti Sagara yang sudah berjalan menuju salah satu pintu studio.       “Tadi macet,” kata Rana membuat alasan. “Saya lupa kalau Jakarta bisa semacet itu.”     “Nggak apa-apa,” balas Sagara ringan. “Saya kira kamu akan memakai baju warna biru.” Sagara menoleh ke arah Rana, mengamati pakaian yang dikenakannya.     Rana menunduk, menatap dress selutut berwarna putih dengan aksen bunga berwarna kuning. Dirinya lupa jika pernah berkata akan mengenakan baju warna biru.      “Ini biru,” kata Rana menunjuk putik aksen bunga di dressnya yang berwarna biru.     Sagara mendekatkan kepalanya ke arah Rana dengan tatapan tertuju pada bunga-bunga yang tersebar di dressnya. Pria itu mendenguskan tawa ringan, seolah tak melihat warna itu di sana. “Benar. Warna biru,” balasnya sarkastik.      “Omong-omong, kita akan nonton film apa?” tanya Rana.     “Film romance. Saya pikir kamu akan menyukainya,” jawabnya.     Rana tersenyum lebar. “Wah, romance. Ya , genre favorit saya,” balasnya.     Membosankan. Rana lebih suka film bergenre action. Genre romance selalu membuatnya mengantuk. Bahkan tak jarang dirinya tertidur ketika menonton film bergenre itu.     Mereka berdua memasuki bioskop yang tampak sepi. Sagara membimbing Rana untuk duduk di barisan tengah. Tak lama kemudian, lampu padam dan film mulai diputar.     Rana menguap lebar-lebar. Ia mencoba mempertahankan matanya agar terus terbuka.     “By the way, kenapa sepi banget? Filmnya apa nggak selaku itu?” tanya Rana memperhatikan sekitar. Bangku yang berada di depan ataupun belakangnya tampak kosong. Sepertinya memang hanya ada Rana dan Sagara di dalam sini.     “Ah, itu. Saya menyewa seluruh studio ini hanya untuk kita berdua,” jawab Sagara santai sambil fokus menatap layar di depannya.     Rana hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar pengakuan Sagara tersebut. Orang kaya terkadang memang suka berlebihan. Rana sampai sudah tidak heran lagi.     Rana mencoba memfokuskan pandangan pada layar yang sedang menampilkan seorang perempuan yang tengah tersenyum ke arah seorang pria. Lama kelamaan gambar pada layar terlihat seperti kabur. Mata Rana pun semakin berat. Hingga akhirnya tanpa sadar Rana sudah tertidur dengan kepala terjatuh di pundak kiri Sagara.     Sagara yang merasakan berat di pundaknya sontak menoleh. Awalnya ia berpikir jika Ruby tengah bersikap manja kepadanya. Tapi, ketika melihat mata perempuan itu terpejam dengan napas yang teratur, akhirnya Sagara sadar jika saat ini Ruby tengah tertidur.      Sagara menghela napas dalam. Dirinya pun menyandarkan kepala pada punggung kursi. Ia mempertahankan posisi tubuhnya agar Ruby tidak terbangun. Lalu, dirinya pun ikut memejamkan mata, mencoba mengistirahatkan badannya. Sagara pun memilih tidur daripada menonton film yang ia sendiri tidak suka. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD