Rana merasakan siraman cahaya di sekitarnya yang membuat matanya sontak terbuka. Segera ia mengamati sekitar. Benar, dirinya ada di bioskop. Dan saat ini film yang tadi tengah diputar sudah selesai.
Buru-buru Rana menegakkan badan. Ia menoleh ke sebelahnya, di mana Sagara tengah bersandar nyaman dengan mata tertutup. Apa tadi mereka berdua sama-sama tertidur?
Sagara tampak damai dalam tidurnya. Wajah pria itu terlihat begitu tampan. Rana tak pernah tahu bahwa ada orang yang akan terlihat sekeren ini ketika tertidur di dalam bioskop. Tidak adil.
“Sudah bangun?” tanya Sagara sambil membuka matanya dan melirik ke arah Rana.
Rana segera mengalihkan pandangan dari wajah Sagara. Ia tak mau Sagara tahu bahwa dirinya tadi sempat mengamati pria itu.
“Bangun? Siapa yang tidur?” tanya Rana balik.
Sagara mendenguskan tawa ringan. “Jadi, bagaimana filmnya?” tanyanya terdengar seperti sindirian. Pria itu kini menegakkan badan lalu menoleh ke arah Rana.
Rana menganggukkan kepala. “Romantis. Saya suka,” jawabnya tersenyum lebar.
“Bagus kalau begitu,” balas Sagara sembari tersenyum. Lalu ia bangkit dari duduk. “Mari,” katanya mengajak Rana untuk keluar dari studio itu.
Rana menghela napas kemudian bangkit berdiri. Ia berjalan mendahului Sagara menuju pintu keluar.
“Saya harus kembali ke kantor sekarang,” kata Sagara yang membuat Rana menoleh ke arahnya.
“Oh, oke.” Rana mengangguk mengerti.
“Kamu pulang sama Bani. Sebentar lagi dia sampai sini.”
Rana kembali mengangguk.
“Sagara,” panggil suara di samping Sagara yang membuat pria itu dan Rana menoleh. Kini seorang perempuan cantik bertubuh tinggi langsing tengah tersenyum ke arah Sagara. Perempuan berkacamata itu memiliki mata bulat indah. Rambut panjangnya tampak terawat. Dia bukan tipe wanita bak model ataupun sosialita. Dia terlihat sederhana, tapi berkelas. Bahkan, bisa dibilang, dia yang hanya mengenakan celana jins dan blouse hijau tampak lebih mempesona dibanding dengan Rana yang dandan mati-matian agar terlihat secantik Ruby—meskipun Rana sadar bahwa dirinya gagal.
Kenapa sih, orang-orang bisa cantik-cantik sedangkan Rana hanya terlahir apa adanya? Dan apa adanya Rana itu sangat jauh dari kata cantik.
Sagara balas tersenyum. “Aku nggak tahu kamu di sini,” katanya dengan tenang.
“Aku kira kamu sibuk,” balas perempuan itu. Lalu, dia melirik ke arah Rana yang hanya diam mengamati mereka berdua.
“Iya. Aku sangat sibuk,” ucap Sagara. Tampak sekali pria itu mengabaikan tatapan penuh tanda tanya dari perempuan itu mengenai kehadiran Rana. “Aku duluan, ya. Kamu hati-hati pulangnya.” Sagara tersenyum lembut kepada perempuan itu.
Perempuan tersebut mengangguk dan balas tersenyum. “Kamu juga.”
“Ayo,” kata Sagara menoleh ke arah Rana.
“Oke,” balas Rana.
Kemudian Sagara berjalan meninggalkan perempuan itu sambil memberikan dorongan ringan di punggung Rana seakan meminta Rana segera mengikutinya dan menyuruhnya mengabaikan perempuan tadi.
Rana jadi curiga tentang hubungan mereka. Kira-kira siapa perempuan itu? Apa dia pacar Sagara? Kalau pacarnya, kenapa dia tampak pasrah saja ketika melihat Sagara bersama perempuan lain?
***
Rana berjalan dengan pikiran berkelana memikirkan hubungan Sagara dengan perempuan yang ia temui tadi. Kalau benar dugaan Rana, sepertinya ia punya peluang untuk membuat Sagara membatalkan perjodohannya dengan Ruby.
Rana berhenti berjalan lalu berbalik. Ia menatap Bani yang saat ini sudah berhenti mendadak karena Rana.
“Ada apa, Nona?” tanya Bani.
“Kamu nggak lapar?” tanya Rana kepada pria itu.
“Anda ingin makan sesuatu?”
Rana tersenyum dan menganggukkan kepala.
Lalu Bani, asisten pribadi Sagara, mengajak Rana ke sebuah restoran cepat saji yang ada di mal ini. Rana memesan pizza dan beberapa menu makanan untuk mereka berdua.
Setelah Sagara mengantarkan Rana bertemu dengan Bani, pria itu langsung pamit untuk kembali ke kantor. Meskipun begitu, entah mengapa Rana ragu jika Sagara benar-benar kembali ke kantor. Bagaimana jika pria itu pulang bersama perempuan tadi? Atau malah, mereka pergi nonton berdua. Rana merasa harus mengorek informasi dari Bani. Rana yakin jika Bani tahu banyak hal tentang Sagara.
“Kamu suka pizza?” tanya Rana mempersilakan Bani untuk mengambil pizza di hadapan mereka.
Bani tersenyum sopan dan mengangguk. “Suka,” jawabnya sekadar formalitas semata.
Rana menarik napas dalam lalu menggigit pizza di tangannya. Tampaknya akan sulit mengorek informasi dari pria di hadapannya ini. Meskipun begitu, Rana tidak boleh menyerah.
“Kamu udah lama kerja sama Sagara?”
“Sudah hampir tiga tahun,” jawab Bani.
“Cukup lama, ya,” balas Rana tersenyum riang. “Berarti kamu tahu banyak tentang Sagara.”
Bani membalas ucapan Rana dengan senyum simpul. Tampaknya pria itu sedang bersikap hati-hati terhadap Rana.
“Kamu tahu kan, kedatangan saya ke Indonesia itu khusus untuk menemui Sagara dengan harapan agar kami bisa lebih mengenal satu sama lain,” ucap Rana. “Tapi, kamu tahu sendiri kalau Sagara agak tertutup dengan hal-hal yang bersifat pribadi. Bahkan, saya nggak tahu apa yang dia suka atau tidak suka. Jadi, apa kamu bisa memberitahu saya hal-hal tersebut?”
Bani diam sesaat. Sepertinya dia tengah mempertimbangkan permintaan Rana. Bani sepertinya bukan tipe orang yang ceroboh.
Rana menghela napas panjang. Lalu ia memasang wajah pura-pura kecewa. “Padahal, saya kan hanya ingin mengetahui hal-hal sepele mengenai Sagara, bukan hal yang menyangkut rahasia perusahaan,” katanya. “Kayaknya akan susah untuk kami bersatu. Jika kamu saja tidak mau membantu saya.”
“Bukan begitu, Nona,” kata Bani cepat-cepat. “Saya hanya takut salah bicara saja,” lanjut pria yang lebih muda dari Sagara itu.
“Setahu kamu saja,” kata Rana lagi. “Bisa dimulai dengan warna favoritnya mungkin.”
Bani kembali diam. Tak lama kemudian dia menghela napas dalam tanda bahwa dirinya menyerah. Hal ini mengundang senyum kecil Rana.
“Pak Sagara suka dengan warna-warna gelap, sepertinya. Beliau jarang mengenakan warna-warna terang.”
Rana menganggukkan kepala antusias. “Lalu, makanan favoritnya?”
“Pak Sagara bukan tipe pemilih. Tapi beliau lebih sering memakan makanan cepat saji jika sedang sendirian.”
“Lalu, tempat favoritnya?”
“Kantor. Lebih tepatnya ruangannya.”
“Bukan itu. Maksud saya, tempat yang biasa dia kunjungi kalau sedang tidak bekerja.”
Ingin rasanya Rana bertanya tentang tempat kencan favorit Sagara. Tapi, Bani pasti tidak akan menjawab pertanyaan itu.
“Pak Sagara hampir tidak perah tidak bekerja, Nona. Jadi saya kurang tahu.”
“Oke,” balas Rana mengangguk-anggukkan kepala. “Lalu, bagaimana dengan wanita idamannya?”
Pertanyaan itu membuat Bani kembali terdiam. Terlihat sorot mata keragu-raguan di matanya. Seakan itu adalah pertanyaan yang tidak bisa dia jawab.
“Bagaimanapun, saya kan nantinya, jika semuanya lancar, akan menjadi istri Sagara. Saya ingin menjadi perempuan yang Sagara idamkan. Akan lebih mudah jika saya tahu tipe dia seperti apa.” Rana mendesah kecewa.
“Saya kurang tahu, Nona,” balas Bani. “Tapi, menurut saya Pak Sagara menyukai Nona Ruby karena Nona Ruby cantik dan juga baik.”
Rana tertawa mendengar ucapan Bani. Rasanya menggelikan mendengar seseorang memujinya seperti lagi. Apalagi, itu pujian yang tidak terdengar tulus.
“Sagara bahkan tidak pernah memuji penampilan saya,” kata Rana terkekeh. “Padahal, butuh waktu yang sangat lama untuk berdandan. Menyedihkan sekali saya.”
“Pak Sagara memang bukan orang yang suka memuji seperti itu, Nona. Saya harap Anda jangan berkecil hati. Saya yakin Pak Sagara sering memuji Anda dalam hati.”
Rana terkekeh. “Pujian dalam hati tidak ada gunanya. Saya kan tidak bisa membaca hati orang lain,” balasnya. “Atau jangan-jangan, Sagara sudah punya kekasih, ya?”
Bani segera menggelengkan kepala. “Tidak. Pak Sagara tidak mempunyai kekasih. Nona Ruby adalah perempuan satu-satunya bagi Pak Sagara.”
Rana tertawa. “Kamu nggak perlu menghibur saya. Saya maklum kok kalau Sagara punya kekasih. Kami kan dijodohkan.”
Bani menatap Rana dengan sorot kesedihan. Seakan pria itu tengah mengasihani Rana. Tatapan itu sudah menunjukkan bahwa dugaan Rana benar. Sagara memang sudah mempunyai kekasih. Tugas Rana adalah mencari tahu perempuan itu—entah mengapa Rana yakin perempuan yang ditemuinya tadi di biskop lah kekasih Sagara—dan membuat hubungan mereka semakin erat. Dengan begitu, Sagara akan membatalkan perjodohannya dengan Ruby karena hubungannya dengan kekasihnya itu. Sangat sempurna.
“Silakan dimakan,” kata Rana. “Kalau mau nambah, boleh banget. Biar saya yang traktir.” Rana menyunggingkan senyum kepada Bani.
Bani mengangguk kecil. “Terima kasih, Nona Ruby.”