Happy Reading
Malam itu, suasana kamar utama di kediaman Ethan terasa berbeda. Lampu kristal yang menggantung di langit-langit memancarkan cahaya temaram, menciptakan bayangan samar di dinding. Tirai panjang berwarna maroon menjuntai, menutup rapat jendela besar, menahan udara malam agar tidak masuk.
Ethan duduk santai di kursi panjang, jasnya sudah ia lepas, hanya menyisakan kemeja putih yang beberapa kancing atasnya terbuka. Gelas wine berisi merah keunguan sudah setengah penuh di atas meja kaca di hadapannya.
Langkah sepatu Levina terdengar pelan, menghampiri. Ia berjalan anggun, dengan riasan natural yang lembut menonjolkan kecantikan wajahnya yang kini mulai pulih. Jerawat yang dulu sering menjadi sumber minder, sudah lenyap berkat perawatan intensif—semua berkat servis dokter kecantikan yang dipilihkan Ethan. Rambut hitamnya tergerai, menambah kesan dewasa dan menawan. Di tangannya, ia membawa sebotol wine yang baru dibuka.
Tatapan Ethan tak bisa berpaling. Ada pesona berbeda dari Levina malam itu. Cara jalannya, senyumnya, bahkan gerakan kecilnya, semua terlihat begitu memikat.
“Levina…” suara Ethan berat, hampir seperti bisikan. Matanya menelusuri sosok di depannya. “Kamu semakin cantik saja.”
Levina tersenyum kecil, meletakkan botol wine di meja, lalu menuangkannya ke gelas Ethan dengan gerakan yang hati-hati. “Itu semua berkat Tuan,” jawabnya lirih. “Kalau bukan karena perhatian Tuan, mungkin wajah saya tidak akan pernah bisa kembali seperti ini.”
Ethan mengulurkan tangan, menyentuh pipi Levina yang kini sudah mulus tanpa cela. Ia membelainya lembut, jemarinya dingin bersentuhan dengan kulit hangat wanita itu. “Aku akan pergi ke Las Vegas selama seminggu,” ucapnya pelan, namun sarat arti. “Kamu harus bisa menjaga diri dengan baik… aku pasti akan merindukanmu.”
Levina mengangguk sambil menatap mata Ethan yang begitu dalam. Ada perasaan aneh menyelusup dalam hatinya, perasaan yang tidak ingin ia akui. “Tuan tenang saja, saya pasti bisa menjaga diri dengan baik,” jawabnya sambil tersenyum.
Namun senyum itu justru memantik sesuatu dalam diri Ethan. Tatapannya berubah lebih tajam, posesif. “Jaga diri… terutama dari pandangan para pria di luar sana!” katanya dengan nada yang lebih tegas, bahkan sedikit menuntut.
Levina terdiam sejenak, lalu menghela napas. Ia baru tahu, Ethan memang tipe pria yang tidak suka berbagi apa yang sudah menjadi miliknya. “Iya, Tuan,” jawabnya akhirnya, dengan nada pasrah.
Ethan lalu menggenggam tangannya, meremasnya ringan. “Kalau aku tidak ada, kamu bisa keluar rumah ditemani sopir pribadiku. Jangan coba-coba sendirian, mengerti?”
Levina menatapnya sambil menggeleng. “Tidak perlu, Tuan. Saya bisa pergi sendiri. Lagi pula, hanya tinggal beberapa perawatan saja. Setelah ini, wajah saya sudah akan benar-benar sempurna. Saya juga sudah melakukan diet ketat. Memang tersiksa… tapi tidak apa-apa. Demi misi saya.”
Kata-kata itu membuat Ethan tersenyum samar, sebuah senyum yang bercampur kagum sekaligus heran. “Misi, ya? Kamu wanita yang keras kepala,” gumamnya sebelum menarik dagu Levina agar wajahnya mendongak.
Tanpa memberi kesempatan untuk menghindar, Ethan menempelkan bibirnya ke bibir Levina. Kini bibir itu sudah tidak lagi pucat. Levina merawatnya dengan masker bibir dan vitamin, membuatnya tampak merah alami, lembut, dan menawan. Ciuman itu tidak hanya singkat, melainkan dalam, seolah Ethan ingin memastikan bahwa wanita di depannya benar-benar nyata.
Ketika ciuman itu berakhir, Ethan masih menatapnya dengan penuh rasa. Suaranya rendah, hampir seperti perintah yang tak bisa ditolak.
“Oke,” ucapnya sambil menarik napas panjang, “sekarang… layani aku.”
Levina hanya bisa mengangguk, menelan keras salivanya. Dalam hati, ia masih berperang dengan dirinya sendiri—antara kewajiban karena perjanjian, dan perasaan baru yang perlahan muncul tanpa ia sadari.
Levina menunduk sejenak, merasakan sentuhan jemari Ethan yang masih bertahan di dagunya. Ada getaran halus yang merambat ke seluruh tubuhnya, membuat napasnya tidak lagi stabil. Kata-kata Ethan barusan bukan sekadar perintah, melainkan tuntutan yang penuh hasrat sekaligus rasa memiliki.
“Apa Tuan benar-benar ingin saya melakukannya… sekarang?” tanya Levina lirih, nyaris berbisik, suaranya terdengar ragu namun tidak menolak.
Ethan menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak—tajam, namun juga hangat. “Aku tidak pernah main-main dengan ucapanku,” jawabnya pelan, lalu tangannya turun menyusuri bahu Levina hingga membuat wanita itu menegang.
Levina menarik napas dalam-dalam. Dalam batinnya, ia kembali berperang. Ini bagian dari perjanjian, Levina. Jangan sampai goyah. Ingat misimu. Jangan sampai perasaanmu kelewat jauh…
Namun, semakin ia mencoba mengingatkan dirinya, semakin sulit ia menepis kenyataan bahwa bersama Ethan ia mulai merasa nyaman. Sikap keras pria itu, kehangatan yang terkadang ia berikan, bahkan perhatian-perhatian kecil yang membuat Levina lupa bahwa ia hanyalah “orang luar” di rumah itu.
Levina berusaha menutupi kegugupannya dengan tersenyum tipis. Ia meraih gelas wine yang baru saja dituangkan tadi, meneguknya perlahan. Rasa manis bercampur asam dari minuman itu menenangkan sedikit ketegangan dalam tubuhnya.
“Apa yang Tuan inginkan saya lakukan?” tanya Levina lagi, kali ini lebih berani.
Ethan tersenyum miring, sebuah senyum yang membuat Levina semakin sulit bernapas. “Aku ingin kamu ada di sisiku malam ini, sepenuhnya. Tidak ada jarak, tidak ada pura-pura. Hanya kamu dan aku.”
Levina terdiam. Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari yang ia bayangkan. Perlahan, ia mengangguk. “Baik, Tuan.”
Ethan menariknya mendekat, begitu dekat hingga Levina bisa merasakan hangatnya napas pria itu di wajahnya. Tangan Ethan menelusuri punggungnya, membuat tubuhnya seolah meleleh.
Dalam hati, Levina menjerit pelan. Kenapa aku tidak bisa menolak? Kenapa aku justru merasa terlindungi dalam dekapan ini?
Namun bibirnya tidak mengeluarkan penolakan. Ia justru membalas tatapan Ethan dengan sepasang mata yang mulai penuh keberanian.
“Kalau begitu, izinkan saya melayani Tuan malam ini…” ucapnya lembut, penuh kepasrahan namun juga dengan nada tulus yang jarang sekali ia sadari keluar dari dirinya sendiri.
Ethan terdiam sejenak, menatap Levina dalam-dalam. Ada sesuatu yang berbeda malam itu. Senyuman, suara, bahkan tatapan wanita itu seolah bukan hanya sekadar kewajiban karena perjanjian—ada ketulusan kecil yang terselip, yang membuat hati Ethan bergetar.
Tanpa menunda lagi, Ethan menarik Levina ke dalam pelukannya. Ciuman kedua pun jatuh, kali ini lebih panas, lebih dalam, seolah mereka berdua sedang menyingkirkan semua batasan yang selama ini mereka bangun.
Dan malam itu, di antara cahaya temaram lampu kristal dan aroma wine yang samar, Levina benar-benar menyerahkan dirinya untuk melayani Ethan.
Namun jauh di lubuk hatinya, ia sadar—batas antara kewajiban dan perasaan mulai kabur.
***
Pagi itu, cahaya matahari menerobos dari celah tirai yang sedikit terbuka. Ruangan masih dipenuhi aroma samar wine semalam, bercampur dengan wangi lembut parfum Levina yang menempel di sprei.
Levina terbangun perlahan. Tubuhnya terasa lelah, tapi hangat. Ia menoleh ke samping, mendapati Ethan masih tertidur di sisinya. Wajah pria itu tampak berbeda saat terlelap—lebih tenang, lebih lembut, jauh dari sosok tegas dan posesif yang semalam sempat menuntut penuh kepemilikan.
Levina diam memandangi wajah Ethan beberapa detik, senyum samar terlukis di bibirnya. Aku tidak boleh terbawa perasaan. Semua ini hanya perjanjian… hanya bagian dari misi, batinnya, meski dadanya terasa sesak saat mengucapkannya dalam hati.
Tiba-tiba, Ethan bergerak. Tangannya meraih pinggang Levina dan menariknya lebih dekat. Mata pria itu perlahan terbuka, menatap Levina dengan pandangan hangat bercampur malas karena baru bangun.
“Pagi…” suara Ethan serak, khas orang yang baru saja bangun tidur.
Levina tersipu, buru-buru menunduk. “Pagi, Tuan…” jawabnya pelan.
Ethan mengangkat dagu Levina dengan ujung jarinya, memaksanya menatap. Senyum tipis terlukis di wajah pria itu. “Kenapa menunduk? Bukankah semalam kamu begitu berani?”
Wajah Levina langsung memerah, ia menggigit bibir bawahnya. “Itu… itu karena Tuan yang memaksa,” balasnya lirih.
Ethan terkekeh kecil, lalu menempelkan keningnya di kening Levina. “Kamu harus terbiasa. Aku tidak akan pernah bosan melihatmu seperti ini.”
Beberapa menit mereka hanya saling menatap dalam diam. Sampai akhirnya Ethan bangkit dari ranjang, meraih ponselnya di meja. “Hari ini aku harus bersiap. Penerbanganku ke Las Vegas sore nanti.”
Levina ikut bangun, merapikan rambutnya yang berantakan. “Apa Tuan tidak sarapan dulu?” tanyanya hati-hati.
“Tentu saja. Dan aku ingin kamu menemaniku,” jawab Ethan tanpa menoleh, sibuk mengenakan jam tangan.
Levina mengangguk. “Baik, Tuan.” Levina bangkit, mengambil pakaian dan memakainya.
Sebelum Levina benar-benar meninggalkan kamar, Ethan kembali menghampiri Levina, mencium keningnya sekali lagi.
“Aku akan pergi hanya seminggu. Pastikan kamu menjaga dirimu dengan baik… dan jangan pernah membuatku khawatir, Levina.”
Levina terdiam, lalu tersenyum samar. “Saya akan menunggu Tuan kembali.”
Dan untuk pertama kalinya, Ethan benar-benar percaya bahwa wanita di depannya tidak hanya sekadar bagian dari perjanjian. Ada sesuatu dalam nada suara Levina yang membuatnya yakin—hubungan mereka sudah melangkah lebih jauh dari yang ia bayangkan.
Bersambung
Hai, adakah yang masih stay??