Happy Reading
Levina menatap pantulan dirinya di cermin besar yang terpajang di ruang perawatan. Sinar lampu putih terang membuat kulit wajahnya terlihat lebih bersih dari biasanya. Tiga jam sudah ia duduk di kursi itu, melewati berbagai prosedur modern untuk menghilangkan bekas jerawat yang selama ini membuatnya tidak percaya diri. Alat-alat canggih bekerja dengan teliti di wajahnya, dan semua dilakukan dengan sangat aman oleh tangan profesional.
Kini, hasilnya mulai terlihat. Bekas jerawat yang dulu begitu jelas perlahan memudar, menyisakan kulit yang lebih halus. Levina menyentuh pipinya dengan ujung jari, seakan memastikan bahwa itu benar-benar nyata, bukan hanya efek cahaya lampu.
“Wajah saya… kok jadi berbeda, ya?” gumamnya lirih. Ada rasa senang, tapi juga masih ragu apakah ini hanya sementara.
Suara seorang pria yang familiar tiba-tiba terdengar di sampingnya.
“Ternyata kamu tidak bohong,” ucap Ethan sambil menyilangkan tangan di d**a, matanya ikut menatap cermin, bukan Levina langsung.
Levina terlonjak kecil, lalu buru-buru menoleh. “Apa, Tuan? Saya bohong gimana?” tanyanya gugup, bahkan suaranya terdengar sedikit bergetar.
Ethan tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. “Kamu nggak bohong kalau ternyata wajah kamu memang cantik.”
Deg. Jantung Levina berdetak lebih kencang. Pipinya memanas, entah karena pujian itu terlalu tiba-tiba atau karena memang ia sudah lama tidak mendengar kata-kata seperti itu dari seorang pria. Ia buru-buru menunduk, berusaha menyembunyikan ekspresi wajahnya.
Malu, deg-degan, grogi, gugup—semuanya bercampur menjadi satu di dadanya.
Melihat itu, Ethan justru terkekeh kecil. “Hahaha… jangan tekuk wajahmu lagi. Mulai sekarang, angkat wajahmu untuk menghadapi dunia luar. Jangan terus menunduk seperti saat kamu di rumah. Kalau kamu benar-benar ingin mengambil kembali semua yang dirampas mantan suamimu, maka belajarlah untuk mengendalikan diri dengan baik.” Tatapannya kembali ke cermin, seolah ia sedang memberi perintah pada Levina sekaligus pada pantulan dirinya sendiri.
Kata-kata itu terasa seperti tamparan lembut bagi Levina. Ia merasa seakan baru saja mendapat energi baru, dukungan yang tidak pernah ia sangka akan datang dari seseorang seperti Ethan. Selama ini, hanya dirinya sendiri yang berusaha kuat, tapi kali ini ada pria yang berdiri di sisinya, memberinya semangat tanpa menuntut apa pun.
“Roni…” batin Levina dalam hati, matanya menatap serius ke arah pantulan wajahnya di cermin. “Aku akan mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku.”
Ia menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara lantang, “Baik, Tuan. Mulai sekarang, kalau saya di luar rumah, saya akan mengangkat dagu dan berjalan tegak. Supaya mereka semua nggak lagi memandang saya sebelah mata.”
Ethan tersenyum puas, lalu mengulurkan tangannya untuk mengelus rambut Levina yang kini dipotong sebahu. Potongan baru itu membuat Levina tampak lebih fresh, lebih dewasa, tapi tetap manis dipandang. “Bagus. Nah, sekarang waktunya kita beli pakaian bagus untukmu.”
Mendengar itu, Levina tertawa kecil sambil mengangguk. “Ayo, Tuan. Saya janji nggak akan menyia-nyiakan kebaikan Anda. Soalnya, kalau ditolak nanti mubazir.”
Ethan ikut tertawa, matanya menatap Levina dengan penuh ketenangan. Ia senang melihat perubahan wanita itu. Setidaknya, kini Levina sudah bisa bersikap lebih rileks di hadapannya. Tak ada lagi kecanggungan yang berlebihan.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Levina merasakan keyakinan baru tumbuh di dalam dirinya. Keyakinan bahwa dirinya mampu, dan ada seseorang yang siap berdiri di sisinya.
***
Setelah keluar dari salon kecantikan, Ethan langsung menggiring Levina menuju sebuah butik mewah yang terletak di pusat kota. Pintu kaca butik itu terbuka otomatis, memperlihatkan deretan pakaian berkelas yang tertata rapi di dalam. Aroma khas ruangan ber-AC bercampur dengan wangi parfum mahal langsung menyambut mereka.
Levina sempat tertegun, langkah kakinya melambat. Sudah lama sekali dia tidak masuk ke tempat seperti ini.
“T-tuan… apa nggak salah bawa saya ke sini?” tanya Levina lirih sambil menatap ke sekeliling dengan canggung. Tangannya reflek meremas ujung baju yang ia kenakan. Levina tahu butik ini adalah langganan orang-orang kaya. Dulu, dia pernah menjadi golongan di antara mereka.
Ethan menoleh sekilas, wajahnya tetap tenang. “Kenapa harus salah? Kamu kan perlu pakaian baru. Lagipula, butik ini langganan Mama. Jadi, kamu bisa pilih apa saja yang cocok.”
“Maksud Tuan… pilih apa saja? Di sini?” Levina menelan ludah, nyaris tidak percaya. Matanya melirik label harga yang terpasang di salah satu dress. Jumlahnya cukup membuat jantungnya berdebar lebih kencang.
“Ya,” jawab Ethan ringan. “Tidak usah lihat harga, Levina. Fokus saja pilih yang pas buatmu.”
Levina masih ragu, langkahnya terhenti di dekat rak berisi blouse cantik berwarna pastel. Ia bahkan tak berani menyentuh kainnya terlalu lama.
“Kalau saya salah pilih, nanti…”
Ethan memotong cepat, suaranya tegas. “Tidak ada salah pilih. Aku yang suruh kamu. Jadi anggap saja semua ini perintah dari majikanmu.”
Levina terdiam. Kata-kata itu cukup membuatnya bergerak lagi, meski wajahnya masih memerah menahan malu. Ia pun mulai mencoba beberapa pakaian dengan bantuan pegawai butik.
Tak lama kemudian, Levina keluar dari ruang ganti dengan mengenakan sebuah dress sederhana berwarna biru muda. Potongannya jatuh pas di tubuhnya, membuat wajahnya tampak lebih segar. Ia berdiri kaku di depan Ethan, kedua tangannya saling meremas gugup.
“Tuan… bagaimana? Cocok nggak?” tanyanya hati-hati.
Ethan menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki tanpa ekspresi. Sesaat, Levina menahan napas, takut kalau pria itu tidak suka.
“Cocok. Ganti lagi,” ucap Ethan singkat, tapi matanya jelas menunjukkan kepuasan.
Levina masuk lagi ke ruang ganti, lalu mencoba pakaian lain. Kali ini setelan blouse putih dipadukan rok selutut warna krem. Ia keluar perlahan, menunduk sambil berkata, “Kalau yang ini… agak terlalu formal, ya, Tuan?”
“Angkat wajahmu,” ujar Ethan, membuat Levina mendongak dengan canggung. “Tidak, justru itu membuatmu terlihat elegan. Kamu perlu lebih dari sekadar terlihat cantik, Levina. Kamu harus terlihat berkelas.”
Pipi Levina memanas lagi. Ia masuk ke ruang ganti beberapa kali hingga akhirnya terkumpul lima set pakaian berbeda. Setiap keluar, ekspresinya selalu gugup, tapi Ethan selalu memberi komentar singkat namun mantap—cukup untuk membuatnya yakin.
Akhirnya, pegawai butik menyiapkan kelima set pakaian tersebut di kasir. Levina hanya bisa ternganga melihat angka yang tertera di mesin pembayaran. Jumlah nolnya membuatnya hampir limbung.
“T-tuan… ini banyak sekali uangnya. Untuk baju-baju saya… rasanya terlalu berlebihan.”
Ethan hanya mengeluarkan kartu tanpa banyak bicara. “Tidak ada yang berlebihan kalau itu untuk mengubah hidupmu. Ingat, kamu butuh semua ini.”
Levina menggigit bibir, antara terharu dan bingung harus berkata apa. Dalam hati, ia berjanji tidak akan menyia-nyiakan bantuan pria itu.
***
Setelah selesai dari butik dan membawa beberapa kantong belanjaan berisi lima set pakaian baru yang harganya tidak main-main, Ethan mengajak Levina ke sebuah restoran mewah di pusat kota. Restoran itu penuh dengan aroma khas hidangan western yang menggoda, dan interiornya bernuansa elegan dengan lampu gantung kristal berkilauan.
Levina tampak kikuk ketika pelayan restoran mengantar mereka ke meja di sudut yang cukup tenang. Meja bulat kecil dengan taplak putih bersih, dihiasi bunga mawar merah dalam vas kaca.
Ethan memesan menu tanpa banyak berpikir, seolah sudah hafal betul dengan tempat itu. Sedangkan Levina hanya mengangguk ketika Ethan menawarkannya kentang goreng dan pasta.
Beberapa menit kemudian, makanan pun terhidang. Levina pelan-pelan menyuapkan kentang goreng ke mulutnya. Matanya sesekali melirik pria di depannya yang tampak tenang, seperti biasa. Namun, rasa canggung tetap saja menyerang hatinya.
"Tuan," ucap Levina akhirnya, suaranya pelan, nyaris ragu. "Kalau… kalau ada yang curiga dengan kita di rumah, maksud saya para pelayan yang lain… bagaimana?"
Tangannya berhenti sejenak, kentang goreng yang tadi digigit sudah habis ia telan. Hatinya berdebar karena pertanyaan itu sebenarnya sudah lama berputar-putar di kepalanya.
Ethan menatap Levina dengan tenang, bibirnya melengkung dalam sebuah senyum tipis yang entah kenapa membuat Levina gugup. "Tidak akan ada yang berani curiga," jawabnya mantap. "Semua pelayan di rumah sudah terlatih, mereka tahu batas. Mereka terampil dalam bekerja, tapi tidak pernah mencampuri urusan majikannya. Jadi kamu tenang saja. Kalau kamu bersama aku, aman. Tidak akan ada yang iri, apalagi berani bicara macam-macam."
Levina hanya bisa mengangguk, meski hatinya belum sepenuhnya lega. Ia belum benar-benar memahami dunia majikannya itu, dunia yang penuh aturan tak tertulis dan batasan yang terkadang samar.
Suasana kembali hening sejenak. Hanya suara sendok dan garpu yang sesekali terdengar beradu dengan piring. Hingga tiba-tiba Ethan bersuara lagi, kali ini dengan nada yang lebih rendah, serius.
"Sekarang kamu sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan," ucapnya sambil menatap langsung ke mata Levina. "Jangan lupa nanti malam, persiapkan diri kamu."
Seketika Levina menelan salivanya dengan susah payah. Kata-kata itu bagai mengingatkannya pada perjanjian yang dulu ia setujui, sesuatu yang membuat hatinya campur aduk antara takut dan pasrah.
'Aku tahu Tuan Ethan orang baik, dia tidak pernah memperlakukan aku kasar… tapi tentu saja dia tetap akan meminta sesuatu sesuai perjanjian kami,’ batin Levina, menunduk sejenak menatap piringnya.
Dengan segenap tenaga, Levina mengangkat wajahnya dan tersenyum. "Baik, Tuan. Saya akan mempersiapkan diri," ucapnya, kali ini berusaha terdengar ringan.
Ethan terdiam, pandangannya jatuh pada senyuman itu. Senyum sederhana yang justru membuat jantungnya berdebar. Ada sesuatu dalam senyum Levina yang begitu memikat, seolah mampu merobohkan dinding tebal dalam dirinya.
Senyum itu hangat, tulus, dan tanpa ia sadari, sudah terlalu sering mengganggunya.
Sungguh, Ethan benar-benar terpana.
‘Aku yakin kalau wanita ini adalah kamu…’ batinnya, penuh keyakinan yang bahkan dirinya sendiri sulit jelaskan.
Bersambung