Bab 7. Memikirkanmu

2040 Words
Happy Reading Aries menggenggam erat setir, sinar matahari siang menyilaukan kaca depan. Jalanan perkotaan yang padat seakan bergemuruh oleh raungan mesin yang dipacu habis-habisan. Sedan hitam di belakang mereka masih terus mengejar, meski salah satu bannya sudah pincang. Ethan menurunkan kacanya lagi, angin siang yang panas menerpa wajahnya. Tatapan tajamnya menyorot musuh di belakang, seperti elang yang mengincar mangsa. “Bos, kalau kita terus-terusan begini bisa menarik perhatian polisi,” seru Aries, giginya terkatup menahan adrenalin. Ethan justru tersenyum tipis, suaranya dingin. “Biarkan mereka lihat. Yang penting tamu kita tahu, mereka salah memilih lawan.” Sedan musuh mendekat dari sisi kanan, mencoba menabrak. Aries sigap membanting setir, membuat mobil nyaris menyenggol truk boks yang melaju pelan. Klakson dari arah lain bersahut-sahutan, menambah kekacauan di jalan raya. “Sekarang, Aries!” perintah Ethan lantang. Tanpa pikir panjang, Aries menginjak rem mendadak. Sedan musuh yang sudah terlalu dekat tak sempat menghindar. Ban depannya yang bocor makin kehilangan kendali, membuat mobil itu berputar liar di tengah jalan. Bunyi gesekan ban dengan aspal menyayat telinga, sebelum sedan tersebut menghantam trotoar dan berhenti miring dengan kepulan asap dari kap mesinnya. Ethan sempat melihat sekilas pengemudi dan penumpangnya. Dua pria itu terhuyung keluar, lalu berlari terbirit-b***t ke arah gang kecil. Mereka memilih kabur, tak sanggup lagi menghadapi perburuan. Aries melirik spion, dadanya naik turun. “Mereka kabur, Bos. Kita bisa lanjut.” Ethan duduk tenang, memasukkan pistol ke balik jasnya. Tatapannya tetap lurus ke depan, datar tapi penuh ancaman. “Ingat, Aries. Mereka kabur bukan karena kita lari… tapi karena aku biarkan mereka hidup.” Mobil kembali melesat di bawah terik matahari siang, seolah tak pernah ada baku tembak di jalanan tadi. *** Lobi kantor Ethan terasa dingin dengan hembusan AC yang kuat, namun suasana hatinya masih panas, penuh bara dari kejadian di jalan. Langkah kakinya berat tapi penuh wibawa, sepatu kulitnya beradu dengan marmer lantai, menimbulkan gema yang membuat para karyawan menunduk saat ia lewat. Sesampainya di ruang kerjanya di lantai paling atas, Ethan melepas jasnya dengan gerakan kasar. Aries yang mengikutinya diam, tahu diri untuk tak berkata apa pun. Ia menutup pintu rapat-rapat, meninggalkan tuannya sendirian. Baru saja Ethan hendak menuangkan whiskey ke dalam gelas, pintu ruangannya terbuka. Seorang wanita melangkah masuk tanpa permisi. Sonya. Tunangan yang dijodohkan padanya. Senyumnya manis, tubuhnya dibalut gaun elegan warna pastel, wangi parfumnya memenuhi ruangan. “Ethan…” Suaranya manja, sengaja ditarik panjang. Ia berjalan anggun lalu mendekat, jemari lentiknya menyentuh lengan pria itu. “Kamu sibuk sekali… aku rindu.” Ethan menoleh dengan tatapan dingin, wajahnya masih menyisakan aura pemburu dari pertempuran tadi. “Sonya. Kau seharusnya tahu caraku bekerja. Jangan datang tiba-tiba.” Sonya malah terkekeh kecil, lalu duduk di pinggiran meja Ethan, menyilangkan kaki dengan gaya menggoda. “Jangan terlalu tegang begitu, sayang. Aku hanya ingin… hadiah kecil darimu. Berlian. Aku lihat ada koleksi baru di butik kemarin. Kau pasti bisa membelikannya untukku.” Nada manjanya menusuk telinga Ethan. Ia menegakkan tubuh, menatap Sonya dengan sorot mata yang dingin dan tajam, hingga tawa kecil wanita itu meredup perlahan. “Aku baru saja hampir ditembak di jalan. Darahku masih mendidih. Dan yang kau pikirkan hanya berlian?” Suara Ethan rendah, nyaris seperti geraman. Sonya terdiam sesaat, lalu mencoba tersenyum lagi untuk menutupi ketegangannya. “Ethan… aku hanya bercanda. Lagipula, kau calon suamiku. Salahkah kalau aku meminta sesuatu?” Gelas whiskey di tangan Ethan bergetar, lalu ia letakkan di meja dengan suara thak! keras. Ia mendekat, berdiri tepat di depan Sonya. Jarak mereka begitu dekat, tapi aura Ethan lebih menyeramkan daripada menggoda. “Dengar baik-baik, Sonya.” Ucapan Ethan berat, matanya menusuk. “Aku tidak butuh istri yang hanya peduli permata dan pesta. Jika kau terus begini, aku akan membatalkan pernikahan itu… sekarang juga.” Wajah Sonya pucat, senyum manisnya hilang berganti gugup. “E-Ethan… jangan begitu. Aku…” Ethan berbalik, duduk di kursinya, lalu menyalakan sebatang rokok. “Keluar dari ruanganku. Dan jangan pernah bicara soal berlian lagi padaku… kecuali kau ingin pernikahan ini berakhir sebelum dimulai.” Suasana ruangan hening, hanya terdengar desis rokok yang terbakar. Sonya menelan ludah, lalu bangkit dengan langkah terburu-buru. Aura dingin Ethan terlalu menekan untuk dilawan. Saat pintu tertutup kembali, Ethan mengembuskan asap, sorot matanya masih menyala penuh murka. Dalam hati ia berbisik, Jika bukan karena perjodohan ini, aku tidak akan pernah membiarkan wanita seperti dia mendekat. *** Asap rokok perlahan memenuhi ruangan. Ethan duduk bersandar di kursinya, menatap ke luar jendela kaca besar yang memperlihatkan hiruk pikuk kota siang itu. Matanya tajam, namun pikirannya berputar cepat. “Mobil yang mengejar tadi… jelas bukan amatir. Mereka tahu jalurku ke kantor, mereka tahu waktuku.” Suara Ethan lirih, tapi penuh perhitungan. Tangannya mengetuk meja berulang kali, seakan menyusun potongan puzzle. Aries masuk dengan berkas di tangan. “Bos, anak-anak sudah bergerak. Kami cari tahu plat mobil musuh, juga siapa yang kirim mereka.” Ethan mengangguk singkat, sorot matanya masih dingin. “Pastikan hasilnya cepat, Aries. Aku ingin nama… bukan dugaan.” “Siap, Bos.” Aries menunduk, lalu keluar lagi, meninggalkan Ethan dalam keheningan. Ethan meraih whiskey yang tadi sempat ia abaikan. Cairan keemasan itu berputar pelan di dalam gelas, namun tidak juga ia minum. Tatapannya kosong sesaat, pikirannya bukan lagi pada musuh yang barusan kabur. Entah kenapa, di tengah amarah dan dinginnya logika, satu nama muncul begitu saja di kepalanya. Levina. Bayangan wajah wanita itu menembus dinding keras hatinya. Senyum lembutnya, mata beningnya, bahkan suaranya yang menenangkan—semuanya datang tanpa diundang. Ethan mendengus pelan, mencoba menepis, tapi rasa itu tetap ada. Ada rindu yang samar, meski dirinya berusaha menyangkal. “Kenapa di saat seperti ini aku malah mengingatmu?” gumamnya, menatap jauh ke langit biru di luar jendela. Rahangnya mengeras, namun matanya kehilangan sedikit ketajaman biasanya. Sesaat, ia menutup mata, membiarkan rasa itu mengalir. Lalu, dengan cepat ia kembali tegak, menyembunyikan kelembutan yang muncul. Pistol di meja ia raih, memutarnya di antara jari-jari, seperti pengingat bahwa ia tidak boleh lengah. “Levina…” Ethan berbisik sekali lagi, kali ini nadanya lebih lirih, nyaris tak terdengar. “Aku tidak tahu apakah kau bagian dari masa laluku… atau masa depanku. Tapi aku—aku tidak bisa berhenti memikirkanmu.” Namun detik berikutnya, pintu diketuk, laporan baru masuk, dan wajah dinginnya kembali terpasang. Ethan kembali menjadi pemimpin mafia yang berbahaya. Hanya saja, jauh di dalam hatinya, kerinduan itu tetap mengendap, menolak padam. *** Malam telah larut ketika mobil Ethan berhenti di halaman mansion. Lampu-lampu taman menyinari jalan masuk, namun suasana tetap terasa dingin dan sepi. Aries membuka pintu untuk tuannya, tapi pria itu tak berkata apa pun selain langkah panjang yang langsung menuju dalam rumah. Ethan melepas jasnya sembarangan, meletakkannya di sofa ruang tamu. Wajahnya keras, tapi matanya memancarkan sesuatu yang berbeda dari biasanya—gelisah yang bercampur rindu. “Levina ada di mana?” tanyanya dingin pada salah satu pelayan. “Di kamar, Tuan Muda. Baru saja selesai merapikan buku-buku di perpustakaan.” Ethan hanya mengangguk tipis, lalu menaiki anak tangga besar menuju lantai atas. Setiap langkahnya berat namun penuh tujuan. Sesampainya di depan pintu kamar Levina, ia tidak mengetuk. Ethan langsung membuka pintu, menemukan Levina yang masih berdiri dengan pakaian rumah sederhana. Gadis itu terkejut, matanya membesar melihat Ethan yang mendadak muncul dengan wajah penuh tekanan. “Tu-Tuan Ethan?” Levina tergagap, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya. Ethan menatapnya tajam, lalu menutup pintu dengan sekali dorongan hingga terdengar bunyi bruk! keras. Keheningan kamar seketika menegang. “Ke kamar utamaku. Sekarang.” Suaranya dalam, tegas, tak memberi ruang penolakan. Levina terpaku di tempat, kedua tangannya meremas ujung gaunnya. “Tapi… Tuan, sudah malam. Mungkin besok—” “Aku bilang sekarang, Levina.” Ethan memotong dengan nada yang membuat darah berdesir. Sorot matanya bukan hanya dingin, tapi juga menyimpan sesuatu yang sulit diartikan—rindu, marah, dan keinginan yang bercampur jadi satu. Levina akhirnya menunduk, langkahnya pelan menuju pintu. Ethan mengikuti dari belakang, tatapannya tak pernah lepas dari punggung rapuh gadis itu. Begitu tiba di kamar utama, Ethan menutup pintu rapat-rapat. Levina berdiri di tengah ruangan, tubuhnya kaku menunggu perintah. Ethan melepas dasinya, berjalan mendekat dengan aura yang begitu menekan. “Kenapa…” Ethan berhenti tepat di depannya, suaranya bergetar samar, “kenapa setiap aku hampir mati, wajahmu yang selalu muncul di kepalaku?” Levina terperangah, terkejut tapi tak mampu menjawab. Ethan mengangkat dagu Levina dengan jarinya, memaksanya menatap. “Aku tidak tahu siapa kau sebenarnya, Levina. Tapi malam ini… aku tidak akan membiarkanmu pergi dari sisiku.” Levina menutup matanya ketika melihat wajah Ethan mendekat. Wanita itu bisa merasakan hembusan napas tuan mudanya dan sebuah rasa hangat dan basah menyapu bibirnya. Hanya menempel, Lavina bisa merasakan sensasi aneh yang berada di dalam dirinya. Sedangkan Ethan juga sama, merasakan sesuatu yang menyengat seperti terkena aliran listrik yang langsung menuju otaknya. Ethan merasa dejavu, seakan dia pernah merasakan bibir mungil itu. Deg! 'Bibir ini?' Levina meremas ujung bajunya, jantungnya berdentum keras tak beraturan. Bibirnya masih terasa panas, seolah bekas sentuhan itu belum benar-benar hilang. Ia tak berani menatap Ethan lagi, apalagi sorot mata pria itu yang tajam, dalam, dan seakan bisa menelanjangi seluruh isi hatinya. Sementara Ethan, masih terpaku. Nafasnya sedikit berat, dadanya naik turun, dan pandangannya tak lepas dari wajah Levina. Bibirnya bergerak, seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi tertahan. Ia kembali mengingat masa lalunya, Valencia. Ethan memundurkan wajahnya, merasakan sesuatu sensasi yang dulu dirasakan kepada Valencia ( Kekasihnya saat SMA ) tubuhnya tidak pernah serespon ini terhadap seorang wanita. Hanya pada Valencia, Ethan merasakan sensasi luar biasa. Dan kali ini dia merasakan hal yang sama terhadap pembantunya, Levina. Wajah dan suaranya memang mirip dengan Valencia, tetapi Ethan masih belum bisa memastikan bahwa Levina adalah Valencia. Ethan memandang wajah Levina yang masih dekil itu, meskipun penampilannya seperti ini, tetapi bagi Ethan, Levina seakan mengeluarkan aura kecantikannya. 'Valencia' Sudah bertahun-tahun dia tidak bisa menemukan kekasihnya tersebut. Seakan seperti ada seseorang yang dengan sengaja menyembunyikan darinya. Padahal dia seorang mafia, tapi kekuatan dan kekuasaannya tidak sanggup untuk mencarinya. "Kenapa rasanya sama? Kenapa, Levina… kenapa kau seperti dia?" batinnya meronta. Namun di depan Levina, Ethan tak boleh menunjukkan kelemahannya. Pria itu menarik napas dalam, lalu menegakkan tubuhnya, kembali memakai topeng ketegasan yang selalu ia gunakan di hadapan orang lain. Sedangkan Levina yang melihat Ethan seperti ini hanya bisa menundukkan wajahnya, dia merasa minder dan takut, apakah Ethan tidak menyukainya? Kenapa dia berhenti menciumnya? Mungkin memang benar kalau dia sudah tidak menarik lagi, hingga mantan suaminya menceraikannya dengan alasan karena Levina sudah tidak cantik dan sedikit gendut. Rasanya hampir saja ia putus asa, tapi Levina tetap akan berusaha tegar dan kuat di hadapan Ethan. "Apa kamu masih punya keluarga?" tanya Ethan yang tidak meneruskan kegiatan ciuman mereka malah bertanya sesuatu hal yang menurut Levina sangat tidak penting. Levina menggeleng tapi kemudian dia mengangguk. "Sebenarnya saya tidak tahu di mana keluarga kandung saya berada," jawab Levina dengan wajah yang sendu. Matanya meredup, pandangan kosongnya jatuh ke lantai. Ada kepedihan yang selama ini ia kubur rapat, kini muncul ke permukaan hanya karena satu pertanyaan sederhana. Ethan menatapnya lama. Ada sesuatu di balik jawaban itu yang terasa janggal, seolah Levina menyimpan rahasia besar yang bahkan dirinya sendiri tidak pahami. Namun ia menahan diri, karena ia tahu, waktunya belum tepat. Levina salah paham pada tatapan Ethan. Ia kira pria itu muak mendengarnya, merasa rendah hati yang tak pantas di sampingnya. Dadanya terasa sesak. “Mungkin benar, aku tidak menarik lagi. Bahkan mantan suamiku pun mencampakkan aku… Apa Tuan Ethan juga akan begitu?” Ia menggigit bibir bawahnya menahan perasaan itu, berusaha tetap tegar. “Tuan…” suaranya nyaris bergetar, tapi ia paksakan keluar. “Kalau Tuan tidak menyukai saya, tidak apa-apa. Saya mengerti… saya hanya—” “Cukup.” Ethan memotong dengan suara tegas. Sorot matanya menajam, membuat Levina terdiam. Ethan mendekat lagi, hanya beberapa jengkal darinya. Jemarinya terulur, hampir menyentuh dagu Levina, tapi ia urungkan. “Aku tidak pernah bilang kalau aku tidak menyukaimu,” ucapnya pelan namun jelas, seakan setiap katanya mengandung makna tersembunyi. Levina menahan napasnya, tatapan matanya langsung bertemu dengan mata Ethan. Ada getaran halus di tubuhnya. Ia tidak tahu apakah itu ketakutan, atau sesuatu yang lain—sesuatu yang bahkan lebih berbahaya. Sepertinya keinginan Levina untuk merebut kembali harta warisannya sangat penting di bandingkan dengan informasi tentang jati diri wanita itu saat ini. Ethan memalingkan wajahnya sejenak, menatap jendela dengan ekspresi dingin. "Tuan?" Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD