Amnesia sesaat

1361 Words
Gadis itu menggigit bibir bawahnya. Saat terbangun, yang ditemukan adalah dirinya yang tubuhnya tanpa sehelai benang dan hanya dibalut oleh selimut. Lalu ... ia melirik ke arah kirinya. Seorang pria yang juga dalam keadaan seperti dirinya! "Apa yang terjadi?" gumamnya histeris, tapi suaranya tercekat. Tiba-tiba, ia terhenyak, matanya mendelik. "Ah! Apa jangan-jangan semalam kami telah...." Ia menggelengkan kepala. "Mana mungkin!" sanggahnya. Lalu, kedua tangannya meremas rambutnya gemas. "Kenapa aku nggak ingat apa pun?" "Tunggu sebentar!" Gadis itu tertegun. Tangan kanannya mengusap dagunya, lalu berpikir sejenak. "Coba aku ingat lagi." Tadi malam, pukul 7 PM Seorang gadis bergaun ungu, berjalan memasuki ballroom sambil menunduk. Langkahnya canggung, lirikan mata ke arah orang-orang menunjukkan bahwa dirinya merasa takut.  Ia baru mendongak, ketika seorang gadis bergaun putih dengan dipenuhi oleh manik-manik yang berkilau mendekatinya dan tersenyum ramah.  "Aku senang kamu datang," katanya, lalu meraih tangan gadis itu, menggenggamnya girang.  Gadis itu tersenyum kecut. "Selamat, ya, Kak. Ini, hadiah buat Kakak." Kakaknya tertegun melihat kado yang dibungkus dengan kertas berwarna merah muda yang disodorkan oleh gadis itu. Namun, alih-alih mengambil dan berterima kasih, kakaknya justru berkata: "Calon tunangan aku aja belum datang. Kamu harus kasih aku selamat, kalau sudah melihat aku bertukar cincin dengan pria itu." Yang artinya, durasi gadis itu berada di sini pasti akan lama. Ia kan tidak betah berlama-lama ditempat seperti ini, apalagi kalau ada "wanita itu".  "Maaf, Kak," kata gadis itu, menyodorkan paksa kado itu ke tangan kakaknya. "Aku ada acara lain hari ini." Akan tetapi, kakaknya itu tidak surut prinsipnya. "Batalkan! Lagipula, apa yang lebih penting dari acara pertunangan Kakakmu ini? Atau paling tidak, tunggu setengah jam lagi. Aku akan minta MC untuk mempercepat acara." Memang, sih, ia sendiri menolak ajakan sahabatnya untuk ikut ke pesta ulang tahun temannya demi menghadiri acara ini. Melihat kakaknya bahagia dengan calon terbaik adalah hal terpenting.  Gadis itu mengangguk, sembari tersenyum simpul. "Oke." Kakaknya juga tersenyum senang. "Kalau soal mama, kamu nggak usah khawatir. Aku akan berusaha membujuknya supaya kamu tetap di sini." "Nggak ah. Aku nggak mau kalau Kakak jadi kena marah sama mama," kata sang adik, cemas.  "Nggak apa-apa kok," sahut kakaknya, santai. "Oh, iya. Tunggu sini dulu, ya. Aku mau panggil papa ke sini. Kamu minum dulu, atau makan dulu kek." Wanita itu meninggalkannya sambil setengah berlari mencari papa. Dia tampak riang karena ingin mempertemukannya dengan papa, yang sudah tidak dijumpainya selama lebih 5 tahun. Ia juga menantikan hal itu. Terpisah karena keadaan membuatnya dan papa sedih.  Tiba-tiba, ia merasakan langannya dicengkeram kuat oleh seseorang. Ia mendelik, lalu menoleh.  "Mama?" gumamnya tercengang.  Wanita setengah baya yang masih tampak cantik dan awet muda itu mendekatkan mulutnya ke telinganya, lalu berbisik, "Ikut aku!" Cengkeramannya sangat kuat, menggunakan kukunya yang panjang dan tajam. Wanita itu membawanya ke tempat yang sepi, lalu menghempaskannya dengan kasar.  "Aduh ...," keluh gadis itu, kesakitan.  Wanita itu menatapnya dengan tajam sambil mendekat, bagai seekor harimau betina memangsa seekor rusa yang tak berdaya.  Gadis itu tersudut, hanya bisa menunduk gugup, tanpa berani menatapnya. Seperti itulah yang dilakukannya, hingga bertahun-tahun, ketika bertemu dengan wanita itu. "Bukannya aku sudah bilang padamu," ucapnya dingin, mencengkeram lengan gadis itu lagi. "Kalau kamu nggak usah DATANG!" Bentakan itu bukan hanya menciutkan nyalinya, tetapi juga menghancurkan perasaannya. Dan, meskipun ia tidak salah, hanya jawaban ini saja yang keluar dari mulut gadis itu: "Maaf, Ma...." Suaranya bergetar saat mengucapkannya. "Maaf! Maaf! Maaf! Itu saja yang kamu bilang, tapi kamu mengulangi kesalahan yang sama!" bentak wanita itu lagi.  Air matanya tak dapat dibendung lagi, mengalir pelan tanpa suara. Namun, entah mengapa ia ingin tahu, kenapa sang mama melarangnya ke sini? Apa kesalahannya? "Tapi, Ma. Kenapa aku tidak boleh datang?" tanyanya, akhirnya memberanikan diri meski tanpa menatapnya. "Aku tidak akan mengacau kok—" "Siapa bilang!" tukas Mama, cepat. "Kamu bukan hanya mengacaukan pesta, tapi juga pertunangan Ciara. Karena apa? Karena kamu penggoda, sama seperti ibu kamu yang pelakor itu!" Tudingan dan pertanyaan yang sama dari beberapa tahun yang lalu. Gadis itu spontan menaikkan wajahnya, menggeleng, lalu menyanggah. "Nggak, Ma. Aku nggak seperti itu—" Wanita yang dipanggil Mama itu mengacungkan telapak tangannya, sepertinya merasa bosan mendengar alasan yang sama ketika ia menudingnya begitu.  "Pergi! Aku sudah bilang kan dulu? 'Jangan pernah muncul di hadapan keluargaku, apalagi di depanku!' Menghilanglah selamanya!" Gadis itu syok, bergeming dalam rasa sakit yang menghantam hatinya. Begitu wanita itu pergi, ia menangis tanpa bisa ditahannya lagi. Tak peduli, jika ada yang melihatnya dengan tatapan aneh, atau riasannya luntur oleh air mata. Mungkin ada sekitar 15 menit, ia keluar dari tempat itu. Langkahnya gontai, otaknya mengulang-ulang ucapan mama tirinya hingga berkali-kali. Isakan masih tersisa di setiap langkahnya. Kadang sesekali, ia mengusap air mata yang tak berhenti mengalir.  "Ayuuuuy! Jadi luntur deh," gumamnya, tertawa sinis melihat noda hitam pada selembar tisu yang baru saja dipakainya untuk menyeka matanya.  Ia menegadah ke langit. Entah kenapa Tuhan memberinya pikirannya yang konyol. Sangkanya, mungkin dengan menatap ke langit, air matanya tidak akan keluar lagi.  Walaupun itu konyol, tapi berhasil juga, 'kan? Ia tak menangis lagi sekarang. Mungkin, Tuhan menghiburnya dengan pemandangan yang indah di langit. Ia tertegun, ponselnya berbunyi. Saat melihat nomor ponsel temannya yang tertera di layar, ia langsung mengangkatnya. "Ya, Mel?" "Gimana acaranya, Dei? Kamu nggak diusir sama mama tiri kamu, 'kan?" Hatinya seketika mencelus, tersenyum getir, lalu berkata, "Kenapa kamu nggak jadi peramal aja sih? Ramalan kamu tepat banget." Terdengar suara helaan napas di ujung telepon. "Ya, udah. Ke sini aja, yuk! Buang kesedihan kamu. Pesta gila-gilaan mau dimulai nih." Gadis itu terkekeh. Ya, ia sudah mendengar begitu kerasnya musik itu, meskipun sahabatnya telah menjauh dari sana. "Oke. Mungkin kamu benar. Sepertinya, aku butuh sedikit hiburan," kata gadis itu." "Nah, gitu dong!" sahut sahabatnya itu, girang. "Nanti, aku share lokasinya, ya." Ia memberhentikan taksi yang kebetulan lewat tepat di depannya. "Pak, Heaven Club," katanya, selang setelah ia masuk ke dalam taksi.  Klub malam bukan tempat asing—sewaktu di Australia, ia mencari pengalaman kerja di salah satu klub malam di Melbourne sebagai pelayan. Saat melangkah masuk, ia memang canggung, berusaha menghindari sentuhan-sentuhan nakal para pria yang mencoba menggodanya.  Akhirnya, ia memilih menyingkir. Lagipula, sulit mencari sesorang dalam cahaya remang seperti ini. Ia duduk di sebuah kursi dekat meja bartender, menghubungi sahabatnya itu. "Halo, Melly! Kamu di mana," katanya agak berteriak, sambil menutup telinga sebelahnya.  "Kamu lagi di mana? Aku jemput," jawab Melly. "Aku di dekat meja bartender." Di ujung telepon itu, tak ada suara apa pun lagi. Pikirnya, sambungan teleponnya terputus. Namun, tak lama kemudian, Melly kembali bersuara.  "Kamu yang pakai baju ungu, 'kan?" "Iya," sahut gadis itu langsung. Kebiasaan lagi! Main matiin ponsel tanpa berbicara apa pun. Tapi, Melly ada di hadapannya, selang ia meletakkan ponselnya ke dompet. "Lama, ya, nunggu aku?" seloroh Melly.  "Mana yang ulang tahun?" tanya gadis itu, tanpa basa-basi.  "Ada di sebelah sana!" Melly menunjuk ke atas, di mana pesta itu diadakan di sebuah ruangan khusus. "Kamu mau ke sana?" "Boleh. Lagian, ngapain aku di sini? Kayak kambing congek." Melly pun tertawa, lalu menghela gadis itu ke tempat pesta itu diadakan. Sesampainya di sana, ia dikenalkan dengan teman-temannya Melly.  Ia tak sama seperti Melly, yang sangat suka bergaul dan pergi ke pesta. Temannya itu dari berbagai kalangan, bahkan ada dari aplikasi kencan, seperti pria yang sedang berulang tahun saat ini. Namun, tetap saja, ia hanya memiliki seorang sahabat yang dapat dipercaya. Yaitu, gadis bergaun ungu ini. Meski telah menemui banyak orang dan mengingat hampir semua nama orang di pesta ini, gadis itu lebih memilih keluar dari ruangan, menyingkir ke meja bartender. Lagi pula, Melly juga entah pergi ke mana. "Mas, pesan co ...," ucapan gadis itu menggantung karena mempertimbangkan sesuatu. Selama bekerja di klub malam, ia tidak pernah mencicipi minuman keras karena tidak tertarik. Namun, ia pernah belajar dari bartender hebat yang bekerja di sana. Ia bahkan minta diajari untuk meracik bomb shot. Karena tak ingin membuat si bartender menunggu lama, akhirnya ia menyebutkan pesanannya. "Berikan aku koktail." Ingatannya terputus sampai di situ. Setelahnya, ia tak ingat lagi. Sepertinya, tadi malam keadaannya sudah mabuk berat.  Ia menghela napas berat. "Ceroboh banget! Deirdre, umur kamu udah 25, bukan gadis berumur 15 tahun yang polos," gumamnya. "Terus, memang kenapa?" Suara berat itu membuatnya mendelik, lalu sontak menoleh pada pria yang ada di sebelahnya.[]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD