Merasa bersalah

1135 Words
Dia sudah bangun? Deirdre beringsut begitu melihat pria itu menatapnya sambil tersenyum misterius, menggenggam ujung selimut yang menutupi dadanya.  "Apa hubungannya umur dengan kecerobohan? Sifat tidak akan berubah meski umur bertambah," kata pria itu.  Pandangan nanar gadis itu bukan karena tersinggung oleh ucapan pria itu, tapi pada apa yang dilakukannya malam tadi. Dia, telah merenggut kesuciannya. "DASAR MESUM!" Jeritnya, meraih bantal, lalu memukul pria itu. "Anda memanfaatkan wanita yang sedang mabuk, lalu memperkosanya? Hina betul sikap Anda!"  "Eh! Enak saja," sanggah pria itu, menyilangkan lengannya untuk melindungi tubuhnya.  Deirdre terus memukulnya, tak memberi pria itu kesempatan untuk bicara. Maka, pria itu merebut bantal itu, lalu membuangnya asal. Deirdre terkejut, apalagi tak bisa menghindar ketika pria itu tiba-tiba menyergap kedua tangannya, lalu membaringkannya di ranjang.  Deirdre terpana sejenak, menatap wajah pria itu. Baru sadar, kalau dilihat sedekat ini, pria itu seperti raja-raja di jaman kerajaan yang ada di drama di Eropa—begitu aristokrat. Ia tak tahu apa pria itu memiliki garis keturunan bule atau tidak, tapi ia akui bahwa pria itu memang tampan.  Eh! Apa yang dipikirkannya?  Setelah sadar dibuai oleh ketampanan pria itu, Dierdre meronta sambil menjerit, "Lepaskan! DASAR MESUM!" "Siapa yang mesum? Coba lihat tanda merah di leherku ini!" Pria itu menoleh sedikit ke arah lain, memperlihatkan ruam merah itu pada Deirdre. "Kamu yang lakukan, tahu!" Benarkah? Tidak mungkin! Selama berpacaran dengan Calvin, ia tak pernah minta dicium, atau memulai duluan melakukannya.  "Bohong!" sergah Deirdre.  "Jadi, kamu tidak mengingatnya, ya?" ucap pria itu sensual. "Biar aku ingatkan. Kamu yang menarikku hingga dalam posisi seperti ini." Lalu, pria itu mendekatkan wajahnya, membuat jantung Deirdre berdetak tak menentu. "Lalu, kamu mencium bibirku dan leherku." "Tidak mungkin aku seliar itu!" sangkal Deidre, bersikeras.  "Orang yang sedang mabuk mana ingat telah melakukan hal yang di luar kebiasaannya," sahut pria itu, sinis. "Bahkan, di klub malam saja, kamu menari-nari seperti orang gila." Deirdre terdiam sambil berpikir. Ia memang tidak ingat soal itu, tapi mungkin saja ia melakukannya. Di dalam drama korea, seorang tokoh menari-tari atau menceracau ketika sedang mabuk.  Ia tertegun beberapa saat kemudian. Ah! Mungkinkah, memang dirinya.... Pria itu tersenyum begitu melihat ekspresinya itu. "Apa kamu sudah ingat?" Gadis itu menelan air liurnya. "Kalau memang begitu, kenapa Anda tidak mencegah saya? Kenapa malah Anda membiarkan hal 'itu' terjadi?" "Kamu sendiri yang bilang, kalau kamu ingin menyerahkan tubuhmu, dan tidak akan menikah. Jadi, kenapa tidak aku ambil kesempatan ini," jawabnya sambil tersenyum jahil.  Deirdre menggertakkan giginya, kesal. "DASAR MESUM!" Entah dari mana asal kekuatan itu, Deirdre bisa melepaskan cengkraman tangan pria itu, lalu beringsut mundur. Sementara itu, alih-alih terkejut, pria itu malah terkekeh.  "Hei, Nona. Karena kamu sudah merenggut malam pertama saya, kamu harus bertanggung jawab," kata pria itu, ucapannya seolah seperti mempermainkan Deidre.  Deirdre melongo. "Yang ada, Andalah yang bertanggung jawab." Kemudian, ia memalingkan wajah dan mencemooh. "Lagi pula. Saya tidak yakin kalau Anda masih perjaka." "Terserah kalau kamu tidak percaya," gumam pria itu. "Tapi saya tetap menagih janji kamu untuk mempertanggung jawabkan perbuatanmu." Lucu. Sampai Deirdre tersenyum geli mendengarnya. "Apa Anda ingin memenggal kepala saya, atau memasukkan saya dalam penjara, begitu?" cibirnya. "Bukan. Kamu harus menikahi saya." "Hah?"   -;-;-;- Deirdre berjalan gontai keluar dari lift. Tulang di tubuhnya seakan terlepas, lelah dan lunglai. Masih tersisa rasa ngilu di antara selangkangannya.  Menikah? Seakan tak percaya mendengar hal itu. Siapa nama pria asing tadi? Enrique Wijaya?  "Kok nggak asing, ya, namanya?" gumamnya. "Aku heran. Kenapa aku tidak ingat apa pun—" Ia terkesiap. Sekelebat ingatan muncul tiba-tiba. Enrique memang tidak bohong. Setelah menghabiskan 3 gelas koktail, ia jadi mabuk berat. Namannya juga peminum amatir. Namun, ia tidak pingsan setelahnya, ia malah beranjak dari kursi, berjalan menuju panggung DJ. Lalu, ia menari dengan heboh dan gerakan yang tak teratur.  Pipinya seketika memerah. Ia menepuk jidat, terus-menerus bergumam kesal "Bodoh! Bodoh! Bodoh!", lalu menghela napas sesal. Malu sekali kalau mengingat hal itu. Bisa-bisanya ia berbuat begitu. Dihirupnya napas dalam-dalam, lalu dihelanya panjang. Kakinya kembali melangkah, berbelok ke lorong selanjutnya. Namun, baru di ujung lorong, ia tertegun. Ada seorang wanita berdiri di depan pintu apartemennya, yang ia yakini bahwa itu Ciara. Bergegas dihampirinya wanita itu. Kebetulan, Ciara melihatnya. Dia tersenyum tanpa beranjak dari sana. "Kak Ciara? Sedang apa Kakak di sini?" tanya Deirdre, begitu sampai di depan wanita itu. Ciara tampak heran melihat penampilan Deirdre yang masih mengenakan gaun ungu. "Kamu habis dari mana? Kok belum ganti baju?" Deirdre terhenyak. "Ah, itu—aku habis menginap di rumah teman." Lantas, ia sigap menghampiri pintu, buru-buru membukanya. "Masuk dulu, Kak." Dengan senang hati, Ciara masuk ke dalam ruangan yang memiliki penataan yang sederhana, dengan berbagai perlengkapan yang cukup bagi adiknya.  Sudah sering Ciara datang ke sini, semenjak Deirdre kembali ke Jakarta. Tempat duduk favoritnya adalah di dekat jendela. Pemandangan kota terlihat dari sini.  "Aku buatkan Kakak minum dulu, ya," kata Deirdre sambil berjalan ke arah dapur. "Dei!" panggil Ciara.  "Ya, Kak," sahut Deirdre, berhenti melangkah.  "Ganti baju dulu deh! Bau kamu campur-campur gitu," katanya.  Deirdre mencium gaunnya. Bau alkohol, rokok, dan parfum pria bercampur. Kebetulan, ia belum bersih-bersih karena tidak ingin berlama-lama dengan pria sedeng yang bernama Enrique itu. "Ya, sudah. Kakak tunggu dulu, ya." Ciara tak menyahut, sementara Deirdre langsung masuk ke kamarnya, lalu bersih-bersih. Sekitar 15 menit, ia sudah kembali keluar dengan tubuh yang segar dan wangi.  Sebelum duduk di dekat kakaknya, Deirdre beranjak ke dapur sambil melilitkan handuk di rambutnya. Dua cangkir espresso hangat dibawanya dari dapur tak lama kemudian, lalu dihidangkan ke meja yang ada di ruang tamu.  Alih-alih tertarik pada minuman kesukaannya itu, Ciara malah mendekati Deirdre, lalu mengendus. "Sudah wangi," gumamnya sambil duduk kembali. "Kamu habis dari mana? Kok bau alkohol?" Deirdre terhenyak. Kepalanya ditundukkan, gugup, tak tahu harus beralasan apa. Kalau ia jawab sejujurnya, apa Ciara akan marah dan menceramahinya? "Em ... aku semalam ke pesta ulang tahun temanku. Mereka mengadakannya di sebuah klub malam," jawabnya, akhirnya lebih memilih jujur.  "Ke klub malam?" tanya Ciara, agak kaget dan tidak percaya. "Pantas saja kamu menghilang semalam. Kenapa tidak bilang sama Kakak? Padahal, papa mau ketemu sama kamu." Tundukan kepala Deirdre semakin dalam. Jemarinya meremas ujung sarung bantal, bibir bawahnya digigitnya pelan. "Maaf, Kak ...," ujarnya lirih.  "Ya, sudahlah," kata Ciara, menghela napas. "Oh, iya. Kamu ganti parfum? Baunya aneh gitu. Seperti campuran parfum wanita dengan parfum pria. Tapi, aromanya seperti tidak asing." Semakin pucatlah wajah Deirdre, sampai tak sanggup menatap wajah Ciara. Di dalam hati, ia bergumam: "Semoga, Kak Ciara tak curiga, Tuhan." Namun sepertinya, Ciara sedang mencoba membaca sikapnya. "Kamu kenapa, Dei?" tanyanya sembari melihat wajah adiknya itu.  Ingin maksud menghilangkan kecuriagaan, Deirdre mendongak, berusaha bersikap biasa. "Enggak kok. Oh, iya. Bagaimana acara pertunangannya semalam? Oh, iya! Sebentar, ya, Kak—" Deirdre akan beranjak, ingin mengambil kado yang disiapkannya untuk Ciara. Namun, ia berhenti dan terhenyak.  Kado itu ... tidak dipegangnya sejak pulang dari hotel. Sepertinya tertinggal di.... "Kamar," gumamnya sepelan mungkin, panik.[]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD