10. Canggung

1141 Words
Cakra memang terlalu tampan, dan Wulan merasa tidak baik-baik saja karena hal itu. Suasana di antara Wulan dan Cakra sudah lebih baik dan tidak terlalu canggung seperti sebelum-sebelumnya. Tiba di lantai bawah, Wulan keluar dari dalam mobil Cakra. Wulan berpamitan pada Cakra. “Terimakasih Manager Cakra! Saya akan masuk ke dalam, Anda bisa kembali ke perusahaan!” Wulan tidak berani benar-benar menginjakkan kakinya di atas tanah. Wulan berjalan dengan kedua kaki berjingkat, hingga ia tiba di anak tangga. Wulan melompat beberapa langkah dengan tangan bertumpu pada pembatas anak tangga seraya menghitung. “Satu, dua, tiga,” ucapnya pelan. “Aku sudah cukup melakukan olahraga hari ini.” Batin Wulan. Beberapa detik selanjutnya Wulan mendengar Cakra berbicara di belakang punggungnya. “Sampai kapan kamu akan melompat seperti ini?” Wulan spontan memutar tubuhnya untuk melihat dan dia kehilangan keseimbangan tubuhnya kemudian jatuh ke dalam pelukan Cakra. d**a Cakra terasa sangat keras sekali, dan mereka tetap berpelukan seperti itu dalam beberapa detik lamanya. Wulan tanpa sadar melingkarkan kedua tangannya ke belakang leher Cakra karena dia tidak ingin terjatuh. Cakra memeluknya kemudian mulai berjalan, menjinjing tubuh Wulan dalam pelukan. Wulan nampak panik. “Aku bisa berjalan sediri, tidak apa-apa, turunkan aku!” pintanya pada Cakra. Cakra tidak menjawab, dia balik bertanya pada Wulan. “Kamu tinggal di lantai berapa?” Wulan mengerjapkan kedua bola matanya, dia berulangkali menekankan perkataan yang sama, tapi Cakra sudah membawa tubuhnya naik ke lantai dua. Pada akhirnya Wulan menjawab. Wulan masih berusaha menjauhkan tubuhnya, padahal keduanya sedang menempel satu sama lain sambil menaiki anak tangga demi anak tangga. “Lantai empat.” “Berhenti bergerak, kamu bisa jatuh.” Ujar Cakra pada Wulan. Wulan merapatkan tubuhnya, memeluk, dan berhenti bicara. Sepasang d**a Wulan yang padat kini juga menempel pada tubuh Cakra. Keduanya sama-sama diam dan tidak lagi bicara. Wulan bisa menghirup aroma rokok bercampur daun mint dari napas Cakra, bahkan setelah Cakra masuk dalam kompetisi, keringat Cakra tidak berbau. Pada detik ini Cakra sedikit berkeringat, terlihat maskulin, dan agresif. Sampai di lantai empat, Wulan segera bicara tepat di depan pintu rumahnya. “Sudah sampai.” Wulan nampak bingung, “haruskah aku mengundangnya ke rumah?” Cakra sudah pergi, di koridor Wulan bisa mendengar suaranya. “Jaga dirimu baik-baik agar lekas pulih, dan segera kembali bekerja!” Beberapa waktu kemudian, Cakra sudah kembali ke lokasi pertemuan olahraga, Cakra turun dari podium dengan membawa hadiahnya. Tak lama setelah itu telepon dalam sakunya berdering. Ternyata dari Inem, pelayan kediaman neneknya. Cakra sangat khawatir, dia merasa cemas dengan kesehatan neneknya jadi dia segera menerima panggilan itu. Begitu telepon terhubung Bi Surti langsung menyerahkan teleponnya pada nenek Cakra. “Cakra, Nenek masak makanan kesukaanmu, datanglah untuk makan! Malam ini.” “Iya, Nek, Cakra pasti akan datang. Sisakan beberapa untukku!” Sahutnya dari seberang. Cakra mendengar suara tawa neneknya di seberang sana bersama Bi Inem. “Nenekmu sedang memetik sayur dari kebun belakang, dia sangat senang kamu akan datang.” “Ya, aku akan segera datang.” sahut Cakra. Cakra mengambil napas untuk memenuhi seluruh dadanya. Dia merasa sangat lega sekali. Melihat kondisi neneknya baik-baik saja, terasa sangat hangat dalam hatinya. Pulang dari pertemuan olahraga Cakra langsung pergi ke kediaman neneknya. Di sana neneknya sudah membuatkan masakan untuknya. “Makanlah yang banyak, saat kamu masih muda semua ini adalah menu kesukaanmu!” Ujarnya pada Cakra. Nenek Cakra hampir tidak bisa makan makanan berminyak lagi, kebanyakan orang tua mengeluhkan banyak hal tentang kesehatan mereka. Cakra sendiri yang rutin berolahraga juga tidak makan makanan berminyak tapi dia akan tetap menghabiskan makanan yang diletakkan di atas piringnya oleh neneknya. Nenek Cakra menempatkan apel dalam genggaman tangan Cakra setelah Cakra selesai makan. Itu mengingatkan tentang masa kecilnya. Dulu setelah makan Cakra akan pergi bermain sebentar lalu kembali. Nenek Cakra akan memberikan potongan buah segar untuk Cakra makan. Kemudian kakeknya akan berkata kalau neneknya terlalu memanjakan Cakra, berikutnya pasangan tua itu mulai bertengkar. “Akhir tahun akan segera tiba, mari pergi mengunjungi makam Kakek.” Ajak Cakra pada neneknya. Mereka pun pergi bersama. Dalam perjalanan kembali dari pemakaman nenek Cakra berkata padanya. “Segeralah menikah, aku melihat anak dari saudara laki-laki ayahmu. Mereka cukup baik dan cantik, apa kamu tidak merasa tertarik?” Cakra terdiam sejenak. “Aku tidak suka dengan mereka, bagaimana mungkin aku menikahi putri Bibi dan Paman? Lebih baik aku tidak menikah.” Nenek Cakra mulai gemas. “Mereka cantik, baik, dan lembut.” “Bahkan Papa dan Mama juga bercerai, Papa meninggalkanku untuk dirawat Nenek dan Kakek. Kakek dan Nenek yang membesarkanku lalu ketika aku menikah nanti pada siapa aku harus menitipkan anakku?” Nenek Cakra terdiam sesaat lalu menghela napas panjang. “Setidaknya aku melihat cucu menantu sebelum pergi menyusul Kakekmu ke dalam tanah.” Nada suara neneknya terdengar sedih. Cakra merasa bersalah karena bilang dia tidak akan pernah menikah. Demi menenangkan neneknya Cakra segera meralat perkataan yang dia sampaikan barusan. “Jangan khawatir, Nek! Aku pasti akan menemukannya, aku akan memilih dengan hati-hati lalu membawanya kepada Nenek untuk Nenek lihat.” Mereka berdua sampai di rumah, Cakra membantu neneknya masuk ke dalam. Nenek Cakra kembali bersemangat. “Jangan bohong padaku.” “Aku tidak berbohong, Nenek harus tetap sehat. Lekaslah beristirahat, aku akan pergi ke perusahaan! Akhir minggu aku akan kembali menjenguk Nenek.” Karena perusahaan tempat Cakra bekerja jauh dari kediaman neneknya, Cakra memilih tinggal di rumah yang dekat dengan perusahaan. Dan dia biasanya kembali ke rumah neneknya di akhir minggu. Nenek Cakra kembali bertanya. “Bagaimana kalau aku pindah dan tinggal bersamamu di dekat perusahaan?” “Tidak, nanti tidak ada yang merawat kebun tempat kakek menanam sayuran.” Sebelum Cakra pergi Nenek Cakra meletakkan bingkisan bekal ke dalam genggaman tangannya. “Ini untukmu, bawalah dan makanlah. Tidak peduli berapa lama jam yang kamu habiskan untuk bekerja nanti kamu harus tetap makan.” Pesan nenek Cakra pada Cakra. Cakra menganggukkan kepalanya. “Ya, jangan khawatir.” Cakra meninggalkan kediaman neneknya dan kembali ke perusahaan. Sekitar pukul sembilan malam dia baru keluar dari perusahaan. Saat melihat kotak bekal di dalam mobilnya Cakra tiba-tiba teringat dengan Wulan. “Apakah dia sudah makan? Apakah dia bisa membuat makanan di rumah sementara kakinya sekarang terluka?” Cakra teringat saat dia membawa Wulan menaiki anak tangga, wajah Wulan begitu kusut dan ingin menjauhkan diri darinya demi menghindari gosip. Ingin menjauh tapi tidak bisa karena Wulan tinggal dalam pelukannya. Ditambah lagi kedua d**a padat itu menempel padanya. Ketika turun dari gendongannya, Wulan nampak bingung dan ragu, ekspresi wajah Wulan semakin terlihat kusut. Cakra tahu Wulan sedang memikirkan apakah akan mengundangnya masuk ke dalam karena mereka sudah tiba di pintu rumah. Cakra tidak bisa menahan senyumnya. Cakra tahu Wulan tidak sedang berpura-pura bersikap seperti itu. Wulan adalah bawahan favoritnya. Wulan sangat pandai membawa diri, pandai dalam bekerja, dan Wulan juga pandai berbicara dengan lawan bisnisnya di perusahaan. Saat mendiskusikan pekerjaan dengan klien Wulan terlihat tenang dan menguasai bidangnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD