Beberapa saat kemudian Cakra teringat peristiwa satu tahun silam. Saat itu Wulan mengenakan gaun merah tanpa tali. Wulan dengan wajah cerah sedang berlari di perempatan jalan menuju ke arah mobil mantan pacarnya. Sudut rok Wulan beterbangan, senyumnya begitu cerah. Mungkin seperti itulah sebenarnya Wulan. Wulan selalu berhati-hati dan serius saat bekerja di perusahaan, dan gaun merah itu adalah dunia Wulan.
Cakra berbisik tentang judul film yang sedang Wulan tonton pada layar laptopnya. Wulan langsung menoleh.
“Kamu sudah bangun? Aku sengaja tidak membangunkan mu karena tidurmu sangat lelap.”
“Ya, aku diseret subkontraktor kemarin, aku tidak ingin pergi tapi aku harus pergi ke pertemuan, aku pulang terlalu larut.”
Wulan segera menunjukkan pekerjaannya pada Cakra. “Sudah selesai, lihatlah.”
Cakra menatap layar laptop Wulan kemudian ia berkata, “bagus, segera kirim ke Dina, departemen perencanaan di perusahaan.”
Wulan segera mengirimkannya melalui email. Sementara Cakra berdiri dari kursinya. Pria itu berjalan menuju ke arah wastafel, dia mencuci beberapa buah ceri lalu meletakkannya dalam wadah. Cakra mengambil satu untuk mencicipinya lalu duduk santai di sebelah Wulan. Menonton tayangan film bersama. Sofa yang mereka duduki tidak terlalu sempit, muat untuk tiga orang. Wulan duduk agak jauh dari Cakra namun dia masih bisa mencium aroma daun mint dan asap dari tubuh Cakra.
Wulan beberapa kali melirik jam di dinding, hari sudah malam dan dia tidak punya cara untuk mengatakannya pada Cakra. Sampai tayangan film berakhir. Sepertinya Cakra sudah memikirkannya, pria itu berdiri lalu membawa jas serta dokumennya berjalan santai menuju ke arah pintu.
“Cepat sembuh, aku merasa sedih karena tidak melihatmu di kantor.” Ujarnya.
Wulan merasa ucapan itu ditujukan agar Wulan segera masuk ke kantor hingga dia bisa membantunya bekerja seperti hari-hari biasa. Setelah beristirahat selama empat sampai lima hari penuh, Wulan merasa kakinya benar-benar sudah baikan. Seminggu kemudian Wulan kembali masuk ke perusahaan.
Banyak proyek di perusahaan yang ditangani Mela dan Yasmin lebih menumpuk lagi proyek Wulan. Di hari pertama Wulan sangat sibuk, bahkan terlalu sibuk hingga dia tidak memiliki kesempatan hanya untuk meneguk air. Wulan bekerja lembur, dia merasa kedua bahunya sakit. Wulan memutuskan untuk berhenti dan melanjutkannya besok.
Semua rekan kerja Wulan sudah pergi, Wulan mengemasi barang-barangnya kemudian keluar dari dalam ruangan kerjanya. Wulan mengeluarkan ponselnya, niatnya untuk memesan taksi. Di depan pintu lift, Wulan berpapasan dengan Cakra. Cakra melihat Wulan berjalan mendekat.
“Baru pulang?” Tanyanya.
Wulan hanya menganggukkan kepalanya. Tiba-tiba Cakra menyerahkan tasnya pada Wulan.
“Tunggu sebentar, aku akan mengambil berkas lalu akan mengatarkanmu pulang.”
Wulan hampir membuka bibirnya untuk menolak permintaan dari Cakra tapi tidak jadi karena Cakra sudah berlalu pergi, Wulan hanya bisa berdiri di sana dan menunggu Cakra kembali untuk menyerahkan tasnya.
Cakra kembali dia berjalan ke arah Wulan.
“Manager, aku bisa pulang sendiri.” Ucap Wulan padanya.
“Aku juga sedang dalam perjalanan pulang.”
Wulan tidak memiliki alasan untuk menolak niat baik Cakra. Apa yang harus dia katakan ketika atasannya ingin mengantarkan pulang? Bahkan setelah hari itu, hampir setiap hari Wulan diantarkan Cakra pulang ke rumah.
Pada saat Cakra lembur di kantor, Cakra mengirimkan pesan pada Wulan.
“Telepon aku saat kamu pulang, aku akan mengantarmu kembali.”
“Tidak perlu, Manager tidak perlu menunda pekerjaan hanya untuk mengantarkanku.” Tolak Wulan melalui pesannya.
“Harus!”
Wulan cukup lama membaca pesan balasan dari Cakra, pikirnya mungkin Cakra salah kirim atau sejenisnya. Dan pada akhirnya Wulan tetap menelpon Cakra dan bilang padanya setelah pekerjaannya selesai. Cakra mengantarkan Wulan pulang ke rumah.
“Berkat Manager aku benar-benar sembuh sekarang.” Ucapnya saat turun dari dalam mobil Cakra.
Cakra menemani Wulan naik ke lantai atas. Tepat di depan rumah Wulan, Cakra memegangi perutnya sendiri. Wulan mulai cemas, karena sepertinya Cakra sedang sakit.
“Ada apa denganmu?” Tanya Wulan dengan tatapan cemas.
“Aku sakit mag kronis, aku akan pulang dan minum obat sebentar lagi.” Sahutnya.
Wulan tidak mungkin membiarkan Cakra kembali dengan keadaan seperti itu.
“Kamu harus makan sebelum minum obat, apakah kamu sudah makan?” Tanya Wulan padanya. Wulan ingat mereka berdua seharian bekerja, lalu lembur. Tidak ada waktu untuk pergi makan malam. “Jika kamu tidak keberatan masuklah ke rumah, aku akan membuatkan mi rebus untukmu.” Ujarnya.
Cakra tidak menyahut dia langsung masuk ke dalam rumah Wulan. Karena tidak ingin Cakra merasa tidak nyaman di sofa, Wulan meminta Cakra tidur di dalam kamar Wulan sementara dia sedang membuat mi di dapur.
Wulan mulai merebus mi, aroma masakan Wulan sampai di kamar. Cakra bisa menghirup aroma masakan Wulan dan perutnya seketika tidak terasa sakit lagi. Wulan melihat Cakra sudah tidak sabar untuk menikmati makanan yang dia buat untuknya, Wulan menatapnya dengan wajah cemas. Dia memberikan Cakra segelas air hangat.
Melihat ekspresi khawatir pada wajah Wulan, Cakra segera bertanya dengan nada bercanda.
“Apa kamu mencemaskanku?”
“Ya kamu atasanku di kantor, tentu saja aku sangat cemas, aku mengandalkanmu untuk membantuku dipromosikan.”
Wulan segera pergi lalu kembali dengan semangkuk besar mie rebus di atas nampan. Cakra segera menikmatinya.
Cakra melepaskan kancing kerah bajunya, juga dua kancing di bawahnya. Cakra terlalu seksi dalam pandangan Wulan bahkan saat menikmati semangkuk mi. Setelah selesai makan Wulan menyuguhinya s**u panas.
“s**u panas akan membuat lambung terasa lebih baik.”
Wulan benar, dan Cakra merasa lebih baik dari sebelumnya, dia beristirahat sebentar lalu pergi.
“Terimakasih, mie-nya enak.”
“Biasanya saya yang selalu menerima bantuan dari Anda, sudah seharusnya saya membalas budi baik anda.”
Cakra segera menjawab. “Semangkuk mie saja tidak cukup.” Ujar Cakra, sebelum Wulan menimpali ucapannya Cakra sudah berlalu pergi.
Setelah kaki Wulan sembuh, Wulan mulai pergi ke beberapa lokasi saat siang hari. Jumat pagi Wulan mendapatkan pemberitahuan tentang perjalanan bisnis.
Di perusahaan ada proyek besar yang baru berlangsung. Cakra harus pergi ke luar kota untuk melakukan pertemuan awal tentang proyek tersebut. Awalnya Cakra ingin membawa Budi Pawelang, karena lebih berpengalaman. Akan tetapi Budi sudah melakukan perjalanan bisnis selama dua hari berturut-turut, jadi dia hanya bisa mengajak Wulan untuk pergi ke sana bersamanya.
Mereka duduk di kereta ekspresh berdua, Wulan merasa sangat mengantuk. Saat ingin menyandarkan kepalanya ke samping Cakra memeluk lehernya menempatkan kepala Wulan di atas bahu kanannya. Wulan mengangkat wajahnya menatap wajah Cakra.
“Lebih nyaman tidur dalam posisi seperti ini.” Ucap Cakra pada Wulan.
Wulan merasa cemas, dia tidak bisa tidur, namun setelah memikirkan hal lain dia pun tertidur di atas bahu Cakra hingga sampai ke tempat tujuan. Saat tiba di sana, mobil jemputan sudah datang. Di sana Wulan dan Cakra bertemu dengan beberapa orang penting, mereka bilang akan bermain golf sambil membicarakan proyek yang akan berlangsung.
“Apakah tidak apa-apa membuat janji di lapangan golf sambil membicarakan proyek yang akan berlangsung?”
Cakra segera menjawab. “Tentu saja, tidak ada masalah.”
Di sisi lain Wulan mencari tempat untuk duduk sementara Cakra sedang berbicara dengan beberapa orang di sana. Beberapa menit kemudian Cakra datang menemui Wulan, dia mengeluarkan kartu dari dompetnya.
“Belilah stelan golf sore nanti, dan juga beberapa pakaian biasa.” Cakra melirik ke arah tubuh Wulan sekilas. “Jangan beli ukuran besar! Belilah ukuran yang normal. Kalau kamu tidak tahu ukuran yang normal kamu bisa meminta seseorang untuk menemanimu.”
Sore itu Wulan pergi untuk membeli pakaian seperti perintah Cakra. Dan ketika dia kembali ke kamar hotel, Cakra mengirimkan pesan padanya.
“Bagaimana? Apakah kamu jadi membeli bajunya?”
“Ya.”
“Bagaimana dengan ukurannya, apakah muat?”
Wulan agak kaget dengan pertanyaan Cakra barusan. “Pas.”
Keesokan harinya mereka bertemu di lapangan golf. Area luas hijau, dan ada taman di sana.
Pada akhirnya pertemuan itu berlangsung untuk membicarakan proyek di atas rerumputan yang hijau. Usai membahas hal-hal penting, akan ada acara makan malam. Wulan mengenakan baju lain yang dia beli bersamaan dengan baju golf.
Stelan kemeja satin warna merah dengan rok pendek, sepasang high heels. Cakra melihat Wulan tampil cantik sekali dengan stelan itu. Make-up ringan menghias wajah Wulan, beberapa helai rambut jatuh di atas kening, sisanya diikat menjadi satu di belakang tengkuknya. Mereka berdua masuk ke dalam lift bersama-sama,
“Sangat cantik hari ini.” Itu yang dia dengar dari bibir Cakra.
Acara makan malam digelar di sebuah restoran. Semuanya nampak berjalan lancar, Wulan memblokir beberapa gelas minuman untuk Cakra sambil berbisik pada Cakra.
“Makan lebih banyak, kurangi alkohol.” Ucapnya seraya meletakkan semangkuk sup untuk Cakra.
Cakra merasa Wulan memperhatikan dirinya, hati Cakra terasa hangat. Cakra menghentikan Wulan, dia menggenggam tangan Wulan di bawah meja. Wulan duduk kembali di kursinya.
Cakra menerima gelasnya dan kembali meneguk minumannya. Tangannya yang lain masih menggenggam tangan Wulan di bawah meja. Wulan pikir semua orang di dalam ruangan pertemuan malam itu minum alkohol terlalu banyak.
Mereka membantu Wulan mengantarkan Cakra kembali ke kamar di hotel. Mereka membantu Cakra rebah di atas ranjangnya.
“Sisanya kami serahkan pada Direktur Wulan!” Ujar salah satu dari mereka lalu pergi dan menutup pintu.
Wulan melihat kancing Cakra lepas di sisi atas sekitar tiga kancing bajunya, Wulan menyeka leher dan juga kening Cakra menggunakan handuk basah. Wulan juga menyeka telapak tangan Cakra. Ketika Wulan mengusap telapak tangan Cakra, tiba-tiba Cakra meraihnya hingga tubuh Wulan jatuh ke ranjang. Keduanya berguling di atas ranjang, kini Wulan tinggal di bawah himpitan tubuh Cakra.
“Apakah kamu tidak mabuk?”
Cakra tidak bicara, napas Cakra beraroma alkohol dan daun mint. Tubuh Cakra yang panas menempel pada tubuh Wulan di bawahnya, semuanya terasa begitu dekat satu sama lain. Cakra menyentuh wajah Wulan, bibir Wulan, memutar ujung jemarinya di atas bibir Wulan seperti menemukan sesuatu yang sangat manis dan seksi.
“Kamu terlihat cantik dengan warna merah.”
Wulan tidak mengatakan apapun, dia hanya menatap wajah Cakra. Cakra mendengar Wulan hanya bergumam.
“Aku suka melihatmu dengan warna merah ...” tambah Cakra pada Wulan.
Wulan tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Wulan ingin menolak tapi dia tidak bisa bangun dari posisinya. Wulan pikir dia harus melakukannya. Instingnya berkata demikian.
Bibir Cakra mulai berlabuh pada bibir Wulan. Bagai kayu kering dan api, panas membara. Tubuh mereka jujur mengatakan semuanya, saling merindukan satu sama lain. Hingga keduanya tenggelam bersama.
Mereka pernah melakukannya sebelumnya, itu terjadi sudah lumayan lama. Wulan dan Cakra sama-sama memiliki kesan yang baik satu sama lain. Hanya saja mereka sengaja berpura-pura bingung, menjadikan alkohol sebagai alasan saat semua itu terjadi.