Hancur

1022 Words
Affan tampak sibuk mencuci piring. Arin, Ibu Affan pun serius memasak. Kegiatan ini sudah sering mereka lakukan. Affan memang cukup dekat dengan Ibunya. "Adikmu itu pintar, ibu harap dia bisa merasakan duduk di bangku kuliah," ucap Arin tiba-tiba, membuat Affan berhenti sejenak dalam melakukan aktivitasnya. "Baik, aku akan berusaha semaksimal mungkin agar sekolahnya tak putus, Bu." Affan kembali berpikir, sepertinya pilihan untuk menjauhi Renee itu sudah tepat. Ini demi adik dan ibunya. Walau di sisi lain hatinya teramat sakit. "Dia masih sekolah, ya? Kenapa jam segini belum pulang?" tanya Affan kemudian. "Setiap Kamis dia ada pelajaran tambahan, semacam les. Tak apalah dia banyak belajar demi masa depan yang lebih baik," ucap Arin sambil memotong wortel kemudian memasukkannya ke dalam wadah. "Ibu rasa, Renee sudah jarang ke sini lagi. Apa ada masalah di antara kalian?" lanjut Arin secara tiba-tiba, membuat Affan hampir saja menjatuhkan piringnya. Beruntung Affan bisa mengendalikan diri dengan cepat. "Dia sibuk bekerja, Bu." "Oh, kalau begitu sampaikan salam Ibu padanya, ya. Sungguh, Ibu sangat merindukannya. Tapi kamu serius, kan, tidak sedang ada masalah dengannya? Tidak bertengkar, bukan?" Affan benar-benar membenci keadaan saat Arin menanyakan Renee. Mungkin dulu ia akan sangat bersemangat membahasnya. Namun, kali ini tidak. Affan tak tahu bagaimana caranya menjelaskan semua ini. Ibunya pasti tak akan mengerti. Kadang Affan sedikit menyesal mengapa dulu tak mengatakan yang sesungguhnya pada Renee. Tiba-tiba fokusnya terganggu sehingga gelas yang ada dalam genggamannya terjatuh dan pecah. "Ya Tuhan, kenapa sampai jatuh, Affan?" Arin dengan gesit membersihkan pecahan gelas itu. "Maaf, Bu. Aku tak sengaja memecahkannya." "Bukan masalah gelasnya, Affan. Bagaimana jika kamu terluka?" Arin masih sibuk membereskan pecahan gelas. "Ah, Ibu. Aku tidak akan mati jika terkena serpihan pecahan gelas seperti itu. Mungkin hanya sakit biasa." Ya, tentu saja gelas itu tak ada apa-apanya dibandingkan rasa sakit karena jauh dari Renee. Tiba-tiba suara ketukan pintu membuat Affan menajamkan pendengarannya. "Seperti ada suara yang mengetuk pintu. Apa Ibu mendengarnya?" Arin pun melakukan hal yang sama dengan Affan, menajamkan pendengaran. "Iya. Lihatlah siapa yang datang. Untuk masalah gelas, biar Ibu saja yang mengurusnya." Affan langsung bergegas menuju pintu depan untuk melihat siapa tamu yang datang. Sementara Arin tetap di dapur membersihkan serpihan gelas yang dipecahkan Affan tadi. Sejujurnya ada tamu yang datang ke rumah mereka adalah sesuatu yang jarang. Selama ini hampir tak pernah ada tamu kecuali Renee. Mungkinkah Renee? Affan jadi berharap-harap cemas. Semoga saja Renee. Meskipun beberapa hari ini ia menghindari wanita itu, tapi tetap rindu di hatinya tak bisa dibohongi. Kadang terbesit keinginan untuk menceritakan semua yang terjadi, alasan ia menghindari Renee. Hanya saja Affan tak memiliki cukup keberanian akan hal itu. "Ibu Deswita?" ucap Affan sesaat setelah membuka pintu. Tanpa sungkan, ia langsung mencium tangan Deswita karena sudah terbiasa melakukannya. "Masuk, Bu," ajak Affan. "Tidak perlu, Ibu ke sini hanya ingin menanyakan apakah Renee ada di sini? Jika ada, tolong panggilkan sebentar." "Renee? Kenapa Ibu mencari Renee? Memangnya ada apa? Apa dia tidak bekerja?" "Ibu sudah mencarinya ke tempat kerja, tapi kata karyawan di sana … dia absen selama tiga hari. Makanya Ibu ke sini, barangkali Nak Affan tahu." "Tiga hari Renee tak pulang?!" Jujur saja Affan sangat terkejut. “Renee tidak ada di sini, Bu.” "Ya Tuhan. Ibu jadi semakin khawatir, Nak. Ibu takut terjadi apa-apa terhadapnya. Bisakah Nak Affan menghubungi Renee atau jika tidak keberatan, bisakah mencari tahu di mana Renee? Setahu Ibu, kamu sahabat Renee satu-satunya." "Baik, aku akan mencari tahu di mana Renee, Bu." "Terima kasih, Nak Affan. Oh ya, belakangan ini Renee sering diantar pulang oleh pria bermobil mewah. Entah siapa, Ibu tak pernah menanyakan hal itu padanya. Yang jelas Ibu takut. Ibu khawatir pria itu menculik Renee." "Ibu tenang saja, ya. Jangan khawatir. Aku akan bantu mencari tahu di mana Renee. Sekarang, Ibu istirahat saja.” "Baiklah, kalau begitu Ibu permisi. Sekali lagi terima kasih ya, Affan." ***   Arin segera ke kamar Affan untuk menghampirinya. Tampak Affan sedang memakai jaket seperti bersiap akan pergi. "Mau ke mana? Tadi siapa tadi yang datang?" Affan tampak berpikir sejenak. Haruskah ia menceritakan atau berbohong saja? "Oh, teman kerjaku. Sekarang aku pamit ya, karena ada urusan penting," kata Affan kemudian meraih helm yang disimpan di atas lemari. Meskipun sangat penasaran, Arin hanya bisa berkata, "Hati-hati, ya." Affan mengangguk kemudian mengambil kunci motor dan bergegas keluar untuk mengendarai motornya. Arin menatap kepergian Affan dengan ekspresi yang tak terbaca. Walau bagaimanapun hati seorang Ibu sangatlah peka. Arin bisa merasakan jika terjadi sesuatu pada anaknya, pada perasaan anaknya. Hanya saja ia tidak memiliki indra keenam untuk menebak apa yang sebenarnya terjadi. *** Affan sudah sampai di tempat tujuan utamanya untuk mencari Renee. Entah mengapa ia yakin Renee ada di tempat itu. Affan tak berani masuk, biarlah ia hanya mengintai dari jauh. Mencari tahu dari luar. Rumahnya tampak sepi. Bahkan, sangat sepi. Affan ingin sekali masuk untuk melihat kebenaran di dalamnya. Namun, ia tak mau mengambil risiko. Pandangannya kini tertuju pada balkon rumah. Jarak yang tidak terlalu dekat dari tempatnya berdiri membuatnya kesulitan. Namun, Affan begitu yakin yang berdiri di balkon lantai dua itu adalah Renee. Affan semakin meyakini bahwa itu Renee saat tatapan mereka bertemu. Oh Tidak, seharusnya Affan tak terkejut Renee ada di sana. Hanya saja, perasaan Affan menjadi was-was terlebih Affan hafal betul sikap Dewo. Affan khawatir Dewo akan melakukan hal yang tidak seharusnya terhadap sahabatnya yang masih begitu polos. Affan juga masih menduga apakah Renee menangis atau tidak karena samar-samar matanya tampak sembap. Andaikan sedikit lagi saja jarak mereka didekatkan, Affan ingin melihat apakah Renee benar-benar habis menangis. Sebagai sahabatnya, Affan merasa ada yang tak beres pada diri Renee. Firasat ini bagai begitu nyata. Meskipun mereka kini saling bertatapan, sayangnya tak mungkin bisa berbicara karena terhalang jarak. Tak lama kemudian, berdiri seseorang di samping Renee. Benar saja, itu Dewo. Ya, Affan semakin panik dan berusaha bersembunyi agar Dewo tak melihatnya. Affan bingung, apa yang akan ia katakan pada Deswita jika begini? Ia tidak mungkin jujur. Deswita akan hancur hatinya jika mengetahui anaknya sedang bersama pria asing. Akhirnya, Affan memutuskan untuk pulang, setidaknya ia tahu keberadaan Renee meskipun belum bisa membawanya pulang. Affan berjanji akan menemukan cara untuk berbicara dengan Deswita tanpa harus membuatnya panik. Selama di perjalanan, Affan selalu memikirkan Renee. Affan benar-benar takut. Walau bagaimanapun Dewo adalah pria yang reputasinya tidak bisa dibilang baik. Sebagai karyawan, Affan tahu kalau Dewo sering meniduri banyak wanita. Bahkan, seluruh karyawan juga tahu betapa mesumnya Dewo. Affan takut, mungkinkah Dewo juga akan meniduri Renee?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD