Sebenarnya ada rasa penyesalan pada diri Renee yang menolak diantar pulang oleh Affan. Sore seperti ini akan sangat besar kemungkinan bertemu dengan Dewo. Entahlah, Renee hanya merasa Dewo selalu ada di mana-mana. Ah, bagaimana jika bertemu Dewo? Bagaimana jika kemudian pria itu memaksanya agar ikut? Bodoh! Renee benar-benar bodoh. Kalau seperti ini caranya lebih baik pulang dengan Affan. Lebih aman.
Renee mampir di toko yang menjual ATK sejenak, rasanya ia butuh membeli beberapa amplop coklat dan kertas folio untuk melamar pekerjaan. Walau bagaimanapun Renee harus segera mendapatkan pekerjaan yang baru. Apa pun pekerjaannya.
"Jadi totalnya tujuh belas ribu," kata seorang pramuniaga pada Renee. Saat hendak mengambil sebuah dompet, bermaksud membayar barang yang ia beli, tiba-tiba seseorang datang dan menyodorkan uang senilai lima puluh ribu.
"Biar saya yang bayar, ambil saja kembaliannya."
"Wah … serius, Mas? Terima kasih, ya." Pramuniaga itu kegirangan.
Akhirnya Renee menoleh pada pria di sampingnya. Sepertinya Renee pantas mendapat gelar pemilik indra keenam. Betapa tidak, dugaannya kali ini tepat sekali. Baru saja ia khawatir berjumpa dengan Dewo dan benar saja, Dewo benar-benar ada di hadapannya.
Oh Tuhan, pria itu sungguh ada di mana-mana. Renee langsung buru-buru menghindar. Namun, jangan panggil Dewo kalau tak bisa menahan Renee. Dewo kemudian menarik wanita itu agar masuk ke mobilnya.
"Kenapa kamu selalu mengikutiku?!" tanya Renee kesal.
"Aku punya hak untuk mengikuti kekasihku," kata Dewo, kemudian mulai menjalankan mesin mobilnya.
Renee sudah menduga, pasti Dewo akan selalu memiliki alasan untuk berkelit. Dalam hati Renee kesal, Dewo masih saja menganggap ia adalah kekasihnya.
"Baiklah, kalau begitu kita putus saja. Dan kamu tak berhak mengikutiku lagi," jawab Renee cepat.
Mendengar jawaban Renee yang di luar dugaan, akhirnya Dewo mematikan kembali mesin mobilnya. "Kamu bilang apa? Coba katakan lagi."
"Kita putus!"
"Gadis polos yang kukenal bahkan sudah mulai berani. Sadarlah, setelah aku mencicipi tubuhmu dan mengabadikannya dalam bentuk video, apa kamu gila meminta putus?!"
Renee bungkam. Ada benarnya juga, ia kini bagai tawanan yang tak bisa melepaskan diri. Ingin rasanya memusnahkan foto atau video itu. Andaikan Affan tahu, pasti akan menghajar Dewo tanpa ragu. Affan … betapa Renee sadar hanya ia satu-satunya pria terbaik yang Renee kenal.
"Menyesalkah meminta putus?" tanya Dewo dengan tatapan licik.
"Ah tidak, aku akan tetap meminta putus. Mana mungkin aku pacaran dengan pria jahat sepertimu yang selalu menyakiti hati kekasihnya."
"Tenanglah, aku akan membahagiakanmu.”
"Tapi aku ingin kita putus. Baiklah kita sudah putus, oke?"
"Hubungan akan berakhir dengan sebuah kata putus. Kata putus yang diucapkan harus disetujui pihak yang diajak putus. Dan ucapan putus darimu tak sedikit pun aku setujui. Kamu tahu, kata putus yang barusan kamu ajukan itu tidak sah karena hanya berasal dari satu pihak. Putus itu harus sepakat kedua belah pihak," jelas Dewo.
"Untuk apa harus dua belah pihak? Bukankah saat jadian hanya satu pihak? Kamu yang memaksaku, padahal aku tak mau."
"Kamu sudah berjanji jika merasa senang … kamu akan menjadi kekasihku. Kamu senang, jadi harus menepati janji itu."
"Tapi...." Sanggahan Renee terhenti saat Dewo mendekatkan wajahnya ke wajah Renee hingga bibir mereka saling bertemu selama beberapa saat.
"Kamu sangat menikmati. Bahkan sudah mulai jago, ya."
Renee tak menjawab lantaran malu. Ia begitu menikmati ciuman panas yang baru saja mereka lakukan.
"Lain kali jangan munafik, oke? Apalagi sampai minta putus. Aku tahu kamu juga tertarik padaku," kata Dewo dengan penuh percaya diri.
"Aku ingin pulang."
"Kamu tahu saja kalau kekasihmu ini sedang sibuk. Kamu harusnya berterima kasih bisa diantar pulang pria paling tampan sepertiku. Maaf ya, sebenarnya aku masih ingin bersamamu. Hanya saja … ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan. Aku akan mengantarmu pulang sekarang juga."
"Terima kasih," jawab Renee cepat.
"Hmm, sejujurnya aku masih ada waktu dua puluh menit, sih. Temani aku dulu, ya? Aku pasti mengantarmu pulang setelah kamu menemaniku."
Sebenarnya Renee khawatir Dewo akan bohong. Renee takut Dewo bicara dua puluh menit tapi sebenarnya berjam-jam.
"Hanya dua puluh menit, ya," Renee berusaha mengingatkan Dewo.
"Jangan khawatir. Apa kamu masih tak percaya? Jika tak percaya, biar aku tambah waktunya."
"Ah, tidak. Aku percaya. Memangnya kita akan ke mana dalam waktu dua puluh menit?"
"Tidak ke mana-mana, hanya di sini saja. Melepas rindu di mobil ini."
"Melepas rindu?" tanya Renee hati-hati.
"Iya melepas rindu. Apa kamu mau melepas baju dan celana juga? Boleh jika kamu mau," kata Dewo dengan ekspresi wajah yang mulai m***m lagi.
Renee khawatir Dewo akan melakukannya di sini. Namun, syukurlah Dewo menjelaskan tidak akan melakukan 'itu' sekarang karena waktunya terbatas. Renee menjadi lebih lega.
***
Dengan memakai pakaian formal, Renee berjalan menyusuri pusat kota. Membawa amplop cokelat mencari kantor yang bersedia menjadikannya sebagai karyawan. Tak hanya kantor, tapi restoran dan kafe juga tak terlewat.
Setelah seharian memasukkan surat lamaran ke banyak perusahaan dengan harapan akan mendapat panggilan dengan cepat. Renee merasa perutnya lapar sekali. Tadi ia tak sempat sarapan, padahal Deswita sudah menyiapkan.
Renee memeriksa sebentar isi dompetnya, ternyata masih bisa. Ia baru ingat kalau kemarin mendapatkan gaji terakhirnya di kafe. Meski tak seberapa, akhirnya Renee memutuskan untuk masuk ke salah satu kedai makanan. Secara tak sengaja ia berpapasan dengan pria yang sangat dikenalnya. Heri, ayahnya, sedang apa pria itu di sini?
"Renee, sedang apa di sini?"
"Harusnya aku yang bertanya, sedang apa Ayah di sini?"
"Oh … Ayah sedang ada urusan tadi. Sudah dapat kerjaannya?"
"Masih baru memasukkan beberapa surat lamaran. Mudah-mudahan dapat panggilan segera."
"Renee, kalau kamu tidak bekerja juga tidak apa-apa."
Renee bingung, mengapa Heri tiba-tiba berbicara seperti itu. Apa Renee tidak salah dengar? Padahal Heri adalah orang yang bersikeras agar Renee mendapatkan uang. Aneh sekali.
"Kenapa tidak apa-apa?"
"Ah, tapi itu terserahlah. Jika ingin kerja silakan, jika tidak … juga boleh. Ayah tak peduli karena yang terpenting kamu tidak merepotkan Ayah."
Sungguh, Renee benar-benar tak mengerti mengapa Heri bisa bersikap seperti itu.
"Sudahlah, Ayah mau pulang. Ingat, jangan merepotkan Ayah."
Renee mengangguk, kemudian Heri bergegas pergi. Renee semakin heran tentang sikap Heri. Pasti ada sesuatu. Bahkan, Renee juga heran dengan kalimat terakhir pria itu. Sejak kapan ia merepotkan ayahnya? Seingatnya, Herilah yang selalu memanfaatkannya.
***
Mata Renee melihat sekeliling restoran dan mayoritas orang-orang datang berdua. Tak seperti Renee yang seorang diri. Tapi, tunggu ... mata Renee fokus tertuju pada pria berjas hitam yang duduk tak jauh dari tempatnya.
Lama memperhatikannya, tanpa diduga pria itu menoleh ke arahnya hingga pandangan mereka berdua bertemu. Dewo, pria itu tersenyum kemudian menutup teleponnya dan menghampiri Renee.
"Jodoh memang tak ke mana," ucap Dewo yang kini duduk di depan Renee.
"Sedang apa di sini, Dewo?"
"Sedang menunggumu."
Dalam hati Renee berteriak bahwa Dewo itu pembohong. Mana mungkin ia percaya?
"Lalu, sedang apa kamu di sini?" Kini giliran Dewo yang bertanya.
"Sedang makan. Apa tidak lihat ada beberapa makanan di mejaku?"
Dewo tersenyum mendengar jawaban Renee. "Akhir-akhir ini kamu menurutiku. Terima kasih, Sayang."
"Maksudmu?" Sungguh, Renee tak mengerti dengan arah pembicaraan Dewo.
"Kamu sudah tidak pernah masuk kerja lagi," jawab Dewo.
"Kamu terlalu percaya diri. Itu semua bukan karena menuruti apa maumu. Tapi aku memang dipecat. Jadi tolong berhenti mengada-ada."
"Baguslah kalau dipecat."
"Dan akan mendapat pekerjaan yang baru," ucap Renee dengan penuh keyakinan.
"Kamu melamar kerja ke tempat lain? Jadi, kamu habis melamar kerja?" Dewo terkejut. Ia selalu menginginkan agar Renee tidak bekerja.
Seulas senyuman tampak terukir di bibir Renee. "Tentu saja, seperti yang kamu lihat."
Dewo kesal. Seharusnya Renee tak perlu bekerja. Otaknya terus berpikir, bagaimana caranya agar Renee tak bekerja lagi.