Keputusan

926 Words
"Kamu kira ini kafe milik nenek moyangmu, Renee?! Tiga hari secara berturut-turut kamu tak hadir tanpa ada kejelasan apa pun. Sekarang kamu datang untuk bekerja lagi? Maaf Renee, semenjak hari kedua kamu absen, kami sudah tidak menganggapmu sebagai karyawati kami lagi." "Maaf aku tak bermaksud—" "Berhentilah berbicara. Ini gajimu selama bekerja di sini. Dan tolong tutup pintu ruangan ini dari luar." "Kumohon beri aku kesempatan," pinta Renee. "Maaf, tempat ini memiliki peraturan. Jika kamu tak bisa mengikuti aturan kami. Untuk apa? Tolong keluar. Kamu boleh datang ke sini lagi tapi sebagai tamu. Bukan bekerja. Terima kasih sudah membantu selama ini." Renee tak bisa menghindari kenyataan bahwa ia memang harus segera meninggalkan ruangan itu. Digenggamnya amplop berisi gajinya dengan perasaan sedih. Ia merasa telah jatuh kemudian tertimpa tangga pula. Renee tak bisa membayangkan bagaimana reaksi orangtuanya. Deswita pasti akan mengerti, tapi bagaimana dengan Heri? Sangat sulit untuk mengerti jalan pikiran ayahnya itu. Ini semua gara-gara Dewo yang sangat b******n. Andaikan kemarin Renee tak bersama Dewo, pasti ia tak akan dipecat. Renee menyesali sikapnya yang selalu menurut dan terkesan pasrah. Oh Tuhan, penyesalan Renee tak ada gunanya. Bahkan, tidak akan pernah mengubah apa pun. Renee kini sedang berada di jalan. Ia tak ingin pulang sekarang karena belum siap membawa kabar sedih ini. Andaikan ada Affan, pasti ia akan mendengarkan segala keluh kesahnya. Menjadi teman curhat yang baik dan pastinya akan terasa lebih lega jika sudah bercerita padanya. Affan pun tak akan sungkan memberikan bahunya untuk Renee bersandar dan menangis. Renee sangat merindukan saat-saat seperti itu. Akhirnya Renee memutuskan untuk ke taman terlebih dahulu. "Sedang apa di sini?" tanya Affan yang tiba-tiba duduk di kursi panjang yang Renee duduki. Tentu saja Renee terkejut dengan kehadiran Affan. Seketika Renee merasa rindu dan marah dalam waktu yang bersamaan. "Ke mana saja kamu?!" "Kamu sedang apa di sini?" Affan malah balik bertanya. Renee paham Affan akan terus bertanya jika dirinya belum memberikan jawaban. Renee tak punya pilihan selain bersabar dan menjawab pertanyaan pria itu. ia sudah hafal betul sikap sahabatnya. "Sedang bernapas, sedang duduk, melihat pemandangan atau menghirup udara segar," jawab Renee, berusaha menyembunyikan kesedihannya karena tak ingin membahas hal itu. Sekarang yang Renee inginkan adalah membahas ke mana saja Affan selama ini. "Kenapa tidak bekerja?" tanya Affan lagi. Bukannya memberi penjelasan, Affan malah memberikan banyak pertanyaan. "Tidak apa-apa. Tolong hentikan pertanyaanmu dan beri aku kesempatan untuk balik bertanya padamu, Affan." Affan seperti bersiap mendengar apa pun yang akan Renee tanyakan. "Ke mana saja kamu selama ini?" "Aku selalu ada. Mungkin aku terlalu sibuk. Aku minta maaf, ya." "Tidak ada maaf sebelum kamu menjelaskan mengapa menghindariku?" "Aku tak menghindarimu. Aku hanya sedikit lebih sibuk dari biasanya. Kamu tahu aku dipercaya jadi manager." "Bohong! Kutahu kamu tak sesibuk itu. Tolong jelaskan kenapa pagi itu meninggalkanku? Padahal kamu tahu aku berteriak memanggil namamu." Affan diam. Memikirkan apa yang akan ia katakan agar Renee mengerti. "Apa kamu punya pacar? Lalu menghindariku, apa pacarmu melarangmu memiliki sahabat wanita? Apa dia juga melarangmu dekat denganku," tanya Renee lagi. Affan tak mengira Renee malah berpikiran sejauh itu. “Andaikan kamu tahu bahwa yang kamu katakan sedikit ada benarnya. Aku memang dilarang dekat denganmu, tapi bukan pacarku yang melarang. Melainkan Dewo. Pria yang tergila-gila padamu, Renee,” batin Affan. "Bukankah kamu yang sudah memiliki kekasih?" Lagi, Affan balik bertanya. "Kenapa kamu berbicara seperti itu?" Renne terkejut dengan apa yang dikatakan Affan barusan. "Akui sajalah. Aneh sekali, bisa-bisanya menuduh aku punya pacar padahal kamu sendiri yang punya pacar." "Affan," ucap Renee lirih. Renee tak mengerti bagaimana cara menjelaskan semua tentang Dewo pada Affan. Renee juga tak mungkin menceritakan apa yang telah dilakukan Dewo terhadapnya. "Kamu diam? Artinya memang benar memiliki pacar," kata Affan sambil berdiri. "Semoga bahagia," tambahnya. Affan kemudian bergegas meninggalkan Renee yang kini sudah tak bisa menahan tangis lagi. Air matanya jatuh membasahi pipinya. Ia dilema, sangat sulit berada dalam posisinya. Baru beberapa langkah Affan meninggalkannya. Renee langsung berdiri dan setengah berlari menghampiri Affan lalu memeluknya dari belakang. Sontak Affan menghentikan langkah saat sepasang tangan sudah memeluknya erat. Bahkan sangat erat seakan tak ingin terpisah. Tanpa sadar, mata Affan juga berkaca-kaca seperti hendak menangis. Namun, ia segera menepis air matanya agar tidak jatuh. Affan membalikkan badannya hingga posisi mereka berhadapan. Akhirnya pelukan itu terjadi lagi. Pelukan sepasang sahabat yang sudah lama tak jumpa. Pelukan yang penuh rasa rindu dan rasa bersalah. Sangat erat. Bahkan semakin lama semakin erat. Kini mereka saling melepas pelukan yang terjadi lebih dari semenit itu, beruntung suasana taman tampak sepi sehingga tak banyak yang menyaksikan apa yang mereka lakukan. "Aku tak bisa jauh darimu, Renee. Andai kamu tahu betapa tersiksanya tanpamu," ucap Affan sambil menyeka air mata yang membasahi pipi Renee. Renee tersenyum dalam tangisnya. "Aku tahu bagaimana rasanya tersiksa yang kamu rasakan karena aku juga merasakannya. Aku sama sepertimu. Aku selalu memikirkanmu. Maafkan aku, ya?" "Maafkan aku juga, maaf membuatmu terus memikirkanku. Maaf membuatmu merasa kehilanganku. Baiklah, sekarang maukah kau berdamai denganku?" Affan menyodorkan jari kelingkingnya. Mereka sudah terbiasa melakukan janji kelingking. Setiap membuat janji atau setelah bertengkar, janji kelingking adalah hal yang membuat perdamaian mereka menjadi sah. Akhirnya, jari kelingking mereka saling bertautan. Setelah itu, mereka kembali berpelukan. Bagi Renee, Affan akan selalu menjadi sahabat terbaiknya. Sahabat yang akan selalu mengerti, kapan pun dan di mana pun Affan tak akan pernah tergantikan. Sedangkan bagi Affan, Renee akan selalu menjadi wanita yang dipujanya. Baginya, kebahagiaan Renee adalah hal yang paling utama. Dalam pelukan Renee, pikiran Affan kembali melayang pada bayang-bayang tentang segala ancaman yang Dewo berikan padanya tempo hari. Ancaman yang membuatnya dilema. Namun, Affan akan belajar untuk tidak kalah pada kendali Dewo. Affan boleh saja kehilangan pekerjaan, karena pekerjaan bisa dicari di tempat lain meski tak setinggi jabatan yang kini ia capai. Hanya saja, wanita seperti Renee tak mungkin ia temukan di tempat mana pun. Mungkin keputusan Affan saat ini sudah bulat. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD