“Ayah … kenapa bude tiba-tiba pergi? Memangnya ada urusan mendesak apa?” Zaviya bertanya di sela makan malam setelah acara inti selesai.
Ayah melirik pada bunda yang sudah beliau beritahu perihal Argo dibawa ke rumah sakit karena over dosis.
Bunda terdiam menatap ayah lekat, beliau takut salah memberikan saran apakah harus memberitahu Zaviya atau tidak.
Tatapan ayah berubah nelangsa, tanggung jawab ada di pundaknya sekarang. Sang istri cari aman sendiri.
“Ayaaaah.” Zaviya memanggil ayah lagi memanjangkan kata karena ayah Archio malah tatap-tatapan dengan bunda.
Kebetulan duduk di meja itu adalah keluarga inti. Ada Reyshaka beserta istri dan Amaranggana bersama suami.
Mereka berempat juga belum mengetahui alasan kenapa bude Natalia melewatkan pesta pertunangan Zaviya yang merupakan keponakan yang paling beliau sayang lantaran sama-sama berdomisili di Surabaya dan mengelola restoran peninggalan eyang sehingga Zaviya banyak belajar dan berkomunikasi dengan bude Natalia.
“Argo dilarikan ke rumah sakit …,” ungkap Ayah yang tidak ingin disalahkan apalagi dibenci Zaviya.
“Apa?” Zaviya melantangkan suaranya tanpa dia sadari sampai beberapa keluarga di meja lain menoleh padanya.
“Mas Argo kenapa, Yah?” Mata Zaviya sudah memerah menampung buliran bening.
“Over dosis.” Ayah menjawab dengan suara rendah dan sorot mata penuh penyesalan.
Ayah menanggung risiko Zaviya akan melakukan tindakan impulsif saat memberitahu berita buruk tersebut.
Zaviya langsung bangkit dari kursi namun Amaranggana yang duduk di kanannya dan Reyshaka yang duduk di kirinya menekan pundak Zaviya sehingga dia kembali menjatuhkan bokongnya di kursi.
Amaranggana bahkan melakukan gesture ancaman yang dia lakukan di ruangan kerja Zaviya tadi dengan memposisikan tangannya di depan leher seolah sebuah pisau yang akan menggorok leher Zaviya tidak lupa memberikan tatapan penuh peringatan.
Zaviya memberengutkan wajahnya. “Aku mau nengok mas Argo.” Zaviya merengek.
“Biar Mas yang nengok Argo setelah acara ini selesai,” kata Reyshaka agar Zaviya tidak kabur di saat acara belum benar-benar selesai.
“Kalau setelah acara ini, aku juga bisa ….” Si bungsu sedang keras kepala.
“Zaviya sayangnya Bunda, cantiknya bunda, anak solehnya Bunda, sebaiknya enggak ketemu mas Argo dulu ya … ‘kan Zaviya udah jadi tunangannya Svarga … kalau Svarga enggak terima Zaviya ketemu mantan pacar Zaviya, gimana?” kata bunda Venus dengan suara teramat lembut.
“Tapi mas Argo juga sepupu aku, Bun.” Zaviya sedang bernegosiasi.
“Sepupu rasa pacar,” sindir Amaranggana membuat Zaviya mengerucutkan bibirnya dan memberikan delikan sebal kepada sang kakak.
Tapi kemudian Zaviya terdiam, bukan mengalah dan menuruti apa kata keluarganya melainkan mencari cara lain agar bisa menengok sang mantan kekasih tapi sepupunya itu.
Setelah menyantap makan malam, ayah dan bunda menghampiri papa Arjuna dan mama Kejora sedangkan Zaviya terlihat duduk sendirian di mejanya.
Svarga sendiri heran kenapa sang tunangan menjadi pendiam dan tampak sedang bersedih padahal tadi setelah mereka saling menyematkan cincin tunangan—Zaviya masih sempat menggodanya dengan meminta tiupan di jari yang tadi dia injak lantas mengusel di lengannya, terlihat begitu bahagia dan menyebalkan.
Hanya Zaviya, makhluk di dunia ini yang pernah Svarga temui yang mood-nya bisa berubah dalam waktu cepat.
Jangan-jangan Zaviya memiliki tombol on-off di tengkuknya.
“Svarga, coba panggil Zaviya ke sini … kita sekalian membicarakan konsep pernikahan kalian,” pinta mama Kejora yang tidak mungkin Svarga bantah.
“Iya, Ma.” Svarga bangkit untuk menjemput tunangannya.
Saat dia sampai di depan meja Zaviya, gadis itu hanya menoleh sekilas tanpa minat kemudian mengalihkan tatapannya ke arah sebelumnya, kembali melamun.
“Ikut aku,” kata Svarga memerintah.
“Ke mana?” Zaviya bertanya malas-malasan.
“Kamu diminta mama berbagung bersama mereka.”
Zaviya mengembuskan napas lelah, raut wajahnya tampak tidak bersemangat kemudian mengulurkan tangan kepada Svarga.
Svarga menatap tangan Zaviya sekilas lalu memandang wajah tunangannya itu penuh tanya.
“Bantuin berdiri, aku susah pake kain samping sama heels,” kata Zaviya menjelaskan.
Sekarang Svarga yang mengembuskan napas jangan bersama rotasi mata malas tapi tak urung dia mengeluarkan tangannya dari saku celana lantas meraih tangan Zaviya dan membantunya beranjak dari kursi.
Saat Svarga hendak melepaskan tangan Zaviya karena akan berjalan lebih dulu kembali ke mejanya tadi—Zaviya malah mengeratkan genggaman tangannya di jemari Svarga, tidak mau dilepaskan.
Svarga yang sedang malas berdebat membiarkan jemarinya di genggam Zaviya hingga sampai di tempat tujuan mereka.
“Eh sayang sini, tadi Mama udah bicara sama ayah dan bunda kamu … jadi pesta akan kita lakukan dua kali ya … yang pertama di Surabaya dan yang kedua di Jerman … untuk konsep di Surabaya, Mama sama papa serahkan sama kamu dan bunda Venus ….” Mama Kejora melirik bunda Venus yang kemudian mengangguk setuju.
“Dan yang di Jerman akan mengikuti konsep yang Mama buat, gimana?” Mama Kejora meminta persetujuan.
“Zaviya setuju, Ma.”
Zaviya langsung memberikan jawaban pasti, tidak mengatakan terserah karena itu bukan jawaban dan menurut etika adalah jawaban tidak sopan yang membuat lawan bicara bingung.
Dia juga keceplosan memanggil mama Kejora dengan sebutan mama karena beliau duluan memanggil dirinya dengan sebutan itu saat bicara dengannya.
Dan tentu saja, mama Kejora senang sekali karena sang calon menantu sudah mengakuinya sebagai mamanya.
“Bagus, jadi kita bisa mulai pilih vendor berhubung tanggalnya juga sudah di tentukan …,” kata mama Kejora kepada Zaviya kemudian mengalihkan pandangan pada Svarga.
“Kamu harus temenin Zaviya mewujudkan pesta pernikahan impiannya ya ….” Mama Kejora berpesan kepada sang putra di depan Zaviya dan calon mertua Svarga membuat pria itu meringis di dalam hati.
“Yaaah, Mama … pake ngomong gitu segala lagi, nanti si cewek licik ini pasti ngerjain aku terus.” Svarga membatin.
Dan sepertinya dugaan Svarga tidak salah bila melihat senyum smirk di bibir Zaviya.
Entah kenapa, Svarga merasa takut sekali berurusan dengan Zaviya. Pasti akan menguras tenaga dan emosi bila berada di dekatnya.
“Baiklah kalau begitu, kami akan langsung pulang ke Jerman karena banyak urusan yang sudah aku tinggalkan di sana ….” Papa Arjuna pamit karena malam pun hampir larut.
“Papa … Mama, boleh Svarga tinggal di Surabaya sampai besok? Hari minggu besok teman Zaviya ulang tahun … Zaviya mau ajak Svarga ke pesta ulang tahun teman Zaviya itu.” Dengan suara dan tatapan polos Zaviya memohon.
“Oooh … boleh-boleh donk!” Papa dan mama kompak berseru demikian membuat Svarga tercengang.
Apakah dia tidak memiliki hak bersuara mengeluarkan pendapat di dunia ini?
“Kamu boleh ambil cuti sehari di hari Senin buat jaga-jaga kamu enggak dapet tiket pesawat hari minggunya.” Dan sang kakek-Narendra Gunadhya malah memberi jalan.
Shaquelle, adik bungsu Svarga terkekeh dengan tatapan meledek Svarga yang rahangnya tampak mengeras.
Keluarganya tidak ada satu pun yang mengerti apa yang dia rasakan sekarang, karena memang Svarga tidak pernah bisa memperjuangkan suaranya bila menyangkut keluarga.
Saat melakukan penolakan dan penolakannya tidak diterima maka Svarga akan menurut seperti yang dia lakukan sekarang, bersedia dijodohkan dengan Zaviya.
Siapa suruh Svarga memiliki tampang dingin dan tatapan tajam membuatnya tampak garang jadi saat dia tidak senang atau tidak terima dengan sesuatu hal, orang lain tidak ada yang mengira karena setau mereka tampang Svarga memang seperti itu.
Mama Kejora sampai berpikir kalau Svarga menerima perjodohan ini karena menyukai Zaviya yang cantik dan menggemaskan.
Dan beliau antusias sekali dengan pernikahan anak keduanya ini.
***
Ayah dan bunda tidak memperbolehkan Svarga menginap di hotel, rumah mereka besar dan luas jadi meminta Svarga menginap di rumah mereka saja.
Lagi-lagi Svarga tidak bisa menolak dengan permintaan calon mertuanya tersebut.
Svarga menginap di kamar yang sama saat dia datang ke Surabaya beberapa minggu lalu.
Dia berbaring di atas ranjang menatap langit-langit kamar dengan kedua tangan di lipat ke belakang kepala dan d**a polos tanpa kaos.
Svarga terbiasa tidur tanpa menggunakan kaos malah terkadang hanya menggunakan boxer saja tapi malam ini dia menggunakan celana kain yang dia gunakan pada saat acara tunangan tadi.
Dia juga tidak terbiasa dengan pendingin udara sementara udara di Jakarta dan Surabaya sangat panas menurutnya.
Jadi Svarga membiarkan pintu balkon terbuka agar udara bisa masuk.
Di antara ambang kesadarannya dengan alam mimpi, dia mendengar suara pintu di ketuk.
Svarga membuka mata, suara ketukan kembali terdengar.
Dia bangkit bersama hembusan napas berat, berpikir pasti Zaviya yang berada di depan pintu.
Gadis itu sepertinya tidak bisa membiarkan hidupnya damai sebentar saja.
Dan benar saja, saat Svarga membuka pintu, sosok tunangannya berdiri di sana menggunakan piyama bergambar Pokemon.
“Svarga! Kenapa enggak pake baju?” Zaviya melotot menatap d**a Svarga yang seksi dengan pahatan otot indah di sana.
Dia tidak ingin melewatkan sedetik pun pemandangan mengundang gairah itu.
“Mau ngapain?“ tanyanya ketus dengan kening mengkerut.
“Ini, baju buat besok … aku beliin di butik mbak Salsa,p tadi.” Zaviya menempelkan paperbag ke d**a Svarga sehingga buku jarinya bisa menyentuh kulit d**a pria itu yang liat.
Beruntung mbak Salsa-sepupunya yang batal dijodohkan dengan sang kakak-Reyshaka memiliki butik online juga selain butik off Line-nya yang berada di salah satu Mall terbesar di kota ini.
Jadi Zaviya bisa meminta Salsabila mengirim baju yang sudah dia pilih melalui online menggunakan jasa kirim instan.
Kepala Zaviya miring, menjangkau penglihatan ke belakang punggung Svarga.
“Loh … kok pintu ke balkon dibuka? Di luar udah mau hujan!” Zaviya masuk lebih jauh ke dalam kamar di ikuti Svarga dari belakang.
“Aku kepanasan, biarkan saja!”
“Nanti kalau hujan besar terus kamu ketiduran, air hujannya bisa bikin banjir satu rumah!” tegur Zaviya tegas.
Duar!
Duar!
Duar!
Petir menyambar tanpa kilat sebelumnya bertepatan dengan Zaviya hendak menutup pintu ke balkon.
“Aaaarrrggghhhh!” Zaviya menjerit, memutar badan memeluk Svarga meminta perlindungan.
Svarga juga refleks memeluk tubuh Zaviya yang bergetar mendesak dadanya.
Parfum yang Svarga semprotkan di dadanya terendus oleh indra penciuman Zaviya yang membuatnya nyaman menempelkan wajah di d**a bidang sang calon suami.
Svarga memegang kedua lengan Zaviya bermaksud mendorong tubuh sang gadis menjauh lantaran sudah menyadari kalau posisi mereka meresahkan namun lampu seketika padam dan Zaviya kembali memeluk Svarga lagi.
Svarga memejamkan mata sekilas, sedang meredam emosinya karena kata mama Kejora dia harus memperlakukan wanita dengan baik apalagi gadis yang menempel di dadanya ini adalah calon istrinya—calon istri yang sedang mencuri-curi kesempatan.
“Udah puas belum, meluknya?” Svarga bersarkasme.
Genset langsung berfungsi sehingga lampu sudah menyala dari beberapa detik yang lalu.
“Iiih … siapa yang mau meluk kamu!” Zaviya mengurai pelukan, sorot matanya tampak kesal.
Duar!
Duar!
Duar!
Kali ini petir terdengar dekat sekali seperti di depan balkon membuat Zaviya terkejut bukan main dan sontak melompat lalu melingkarkan tangan di leher Svarga juga kedua kakinya melingkar di pinggang pria itu, wajah Zaviya melesak di leher Svarga begitu suara petir terdengar lagi.
“Terimakasih Tuhan, Zaviya menang banyak.” Gadis itu membatin.