“Hallo besan!” Sapa papa Arjuna yang langsung berpelukan dengan ayah Archio.
Senyum ayah Archio terkembang kecut, beruntung papa Arjuna tidak menyadarinya.
“Hallo ….” Mama Kejora menyapa ramah besannya, beliau juga memeluk bunda Venus tanpa segan.
Svarga terlihat tampan dengan kemeja batik berlengan panjang, menyalami ayah dan bunda juga pria lain yang diperkenalkan sebagai kakak ipar dan kakak laki-kaki Zaviya.
Svarga menatap Reyshaka lekat saat bersalaman, dia mengenali Reyshaka.
“Jadi proposal kerjasama bisnis hanya alasan? Sang kakak ingin mengetahui calon suami adiknya,” ujar Svarga dengan sopan.
Reysahaka memang pernah sengaja datang ke kantor Svarga, bertemu pria itu untuk menawarkan kerjasama bisnis.
“Tidak juga, saya serius dengan proposal yang diajukan beberapa minggu lalu, tapi memang sekalian ingin mencari tahu apakah pria pilihan ayah memang pantas untuk adikku.” Reyshaka meluruskan.
“Dan sepertinya jawabannya sangat pantas.” Svarga berujar penuh percaya diri menghasilkan tawa tulus Reyshaka.
Papa Arjuna dan mama Kejora dituntun untuk menduduki kursi yang telah disiapkan sementara ayah dan bunda masih menyambut keluarga Gunadhya yang lain termasuk kakek dan nenek Svarga dari pihak mamanya.
Setelah itu barulah ayah dan bunda duduk berhadapan dengan papa Arjuna dan mama Kejora yang dibelakangnya tersusun rapih kursi yang diisi oleh pihak keluarga Svarga.
MC mulai memandu acara, kemudian bertanya secara formalitas tujuan pihak keluarga Svarga datang ke Surabaya.
Yang dijawab oleh pamannya Svarga bernama Arkana dengan suara berat yang lantang.
Om Arkana yang merupakan kakak ke tiga mama Kejora memang sudah menjadi langganan untuk hal seperti ini.
Svarga baru sadar kalau dia belum bertemu dengan Zaviya.
Dia memang terlalu acuh bagi pria yang akan bertunangan.
Tidak lama Zaviya datang ditemani dua perempuan cantik menggunakan kebaya sama sepertinya.
Kini Svarga bisa melihat Zaviya dengan jelas, dia pikir gadis yang berjalan di tengah tadi bukan Zaviya karena penampilannya berbeda, sekarang gadis itu terlihat lebih … cantik.
Svarga mengutuk hatinya yang memuji Zaviya.
“Kenapa si Naga itu ganteng banget sih?” Zaviya membantin.
“Ngeliatin aku terus lagi.” Dia masih membatin.
“Pasti udah mulai jatuh cinta ya dia sama aku.” Hati Zaviya berujar penuh percaya diri.
“Zaviya?” Terdengar suara MC memanggil diikuti sikutan di lengan dari bunda.
“Heu?” Zaviya melongo.
Ternyata itu adalah panggilan ketiga yang sang MC lontarkan tapi Zaviya terlampau asyik melamun jadi tidak mendengarnya.
“Kak Zaviya ngelamun nih … ini baru tunangan kok, Kak … belum nikah, malam pertama masih harus melewati banyak proses.” Sang MC menggoda Zaviya.
Yang lain tertawa renyah sedangkan Zaviya tersenyum kecut, dia lantas mendekatkan bibirnya ke telinga bunda.
“MC-nya sok tahu … jangan dibayar, Bun …,” bisik Zaviya membuat tawa bunda semakin kencang.
“Jadi bagaimana? Apakah kak Zaviya bersedia menerima lamaran kak Svarga?” Ternyata MC hanya ingin bertanya pertanyaan yang menurut Zaviya tidak penting.
Zaviya memperbaharui senyumnya, kemudian menganggukan kepala.
Tepuk tangan mengudara disertai siulan dari beberapa anggota keluarga besar.
Dan karena jawaban Zaviya tersebut, mereka akhirnya masuk ke acara inti, Zaviya dan Svarga beserta kedua orang tua diminta berdiri mendampingi anak masing-masing untuk menyematkan cincin tunangan.
Svarga membawa satu kotak beludru berisi sepasang cincin pertunangan.
Dia diminta untuk menyematkannya di jari manis Zaviya.
Tidak seperti pasangan kebanyakan, Svarga tidak meminta pendapat Zaviya saat membeli cincin tunangan bahkan Svarga meminta tolong sekertarisnya membeli cincin tunangan dengan ukuran jari Zaviya.
Yang meminta ukuran jari Zaviya pun sekertaris Svarga, pria itu Effort less sekali mentang-mentang menikahi gadis pilihan papa.
Gantian Zaviya yang harus menyematkan cincin di jari manis Svarga namun karena kecerobohannya, cincin itu jatuh dan Zaviya refleks berjongkok hendak mengambil cincin di dekat kaki Svarga.
“Awas! Angkat kakinya,” kata Zaviya sembari memukul betis Svarga tanpa tenaga.
Svarga mengangkat kaki dan ternyata cincin itu ada di dekat sepatunya.
Setelah Zaviya mendapatkan cincin tersebut, bukannya bangkit—dia malah menjerit.
“Sakit Svarga! Kamu injek tangan aku!”
“Oh Sorry,” katanya kelewat santai.
Ayah membantu Zaviya berdiri yang kemudian diambil alih Svarga setelah papa memelototinya.
Zaviya melirik kesal kepada Svarga saat memasukan cincin ke jemari manis pria itu.
Tepuk tangan mengudara, Zaviya dan Svarga bersama kedua orang tua diminta berfoto, selama itu Zaviya terus meremat jemarinya yang tadi diinjak Svarga.
Lalu sampai pada momen mereka harus foto berdua, Zaviya masih sibuk dengan jarinya yang dia remat menggunakan tangan yang lain.
Svarga melirik, dia merasa bersalah karena tidak sengaja menginjak jari mungil yang tampak rapuh itu.
“Siap ya!” Sang photographer memberi aba-aba.
Svarga dan Zaviya mengangkat tangannya yang tersemat cincin pertunangan lalu tersenyum kecuali Svarga.
Tiga pose sesuai arahan sang photographer—tanpa beban Svarga lakukan dan dengan senang hati Zaviya lakukan.
Svarga tidak merasa terbebani karena sudah memutuskan akan tetap menjadi dirinya sendiri meski sudah menikah tidak peduli Zaviya akan menyukainya atau tidak.
“Svarga, jari aku masih sakit!” Ketika diminta untuk duduk, Zaviya malah menyodorkan kelima jarinya ke depan wajah Svarga.
“Aku sudah minta maaf.” Si dingin berujar ketus.
“Masih sakit! Tiupin,” pinta Zaviya.
“Tiup … tiup ….” dan anak-anak om Arkana mengompori.
Dengan kilat kesal di matanya saat menatap Zaviya, Svarga mau juga meniup jemari Zaviya yang ternyata memang merah.
Tapi Svarga menduga kalau jemari Zaviya merah karena dia remat-remat sejak tadi.
“Terimakasih calon suami,” kata Zaviya kemudian memeluk lengan Svarga menempelkan pipinya di otot bisep pria itu membuat Svarga berjengit hendak mendorong tubuh Zaviya, beruntung dia segera sadar kalau ada banyak keluarga Zaviya di sini.