“Svarga!” Suara berat ayah Archio mengambil alih pandangan Svarga dari Zaviya.
“Om Archi!” Svarga bangkit dari sofa, mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan calon mertua.
“Katanya kamu ke restoran Zaviya dulu tadi ya?” Ayah Archio berbasa-basi.
“Iya betul, Om … tadi Zaviya pamerin restoran kelolaannya.” Svarga melirik pada Zaviya.
“Bagaimana menurut kamu restoran kelolaan Zaviya?”
“Dari segi konsep arsitekturnya cukup bagus … seperti caffe-caffe di Jakarta.” Svarga bicara demikian untuk menyanjung ayah Archio, dia menduga kalau ayah Archio adalah orang yang berperan dalam pembangunan gedung restoran Zaviya.
“Tapi pengelolaannya belum sepadan dengan caffe-caffe di Jakarta, tissue di meja saya tadi habis, alat makan diberikan terakhir setelah makanan datang lalu menu minumannya terlalu biasa tidak memiliki ciri khas.” Sengaja Svarga mencari-cari kekurangan dari pengelolaan resto untuk membuat Zaviya kesal.
Tatapan Zaviya seketika berubah, tidak seteduh dan selembut biasanya kepada Svarga.
“Terimakasih kritik dan sarannya calon suami yang enggak pernah mengerti dan terjun di bisnis restoran.” Zaviya bersarkasme bersama senyum kecut.
“Zaviyaaaa,” tegur ayah Archio.
“Iya Ayah … maaf.” Zaviya mengatakannya sambil bangkit dari sofa.
“Zaviya mandi dulu ya Yah, Ayah ngobrol aja sama Svarga.”
Zaviya lantas melengos menaiki anak tangga menuju kamarnya.
Dia berpapasan dengan bunda Venus di lorong yang baru saja selesai memberikan instruksi kepada asisten rumah tangga untuk merapihkan kamar tamu.
Bunda sempat bertanya kenapa Zaviya meninggalkan Svarga dan dijawab Zaviya sama seperti kepada ayah dan Svarga kalau dia akan mandi.
Zaviya memang mandi, tapi setelahnya dia tidak keluar kamar lagi.
Gadis itu sedang memasukan banyak barang kenangannya dengan Argo ke dalam sebuah box.
Ada foto berdua mereka yang dianggap ayah dan bunda yang sering melihat foto itu terpajang di meja rias Zaviya sebagai foto kenang-kenangan antar sepupu.
Lalu ada cardigan, baju, boneka sampai barang-barang lucu lain yang dibelikan Argo.
Air mata ikut andil di sana karena meski dia menyukai paras tampan Svarga tapi Zaviya mencintai Argo.
Sesungguhnya dia khawatir tidak mendapat kasih sayang, cinta, perhatian dan kenyamanan yang diberikan Argo selama ini.
Zaviya harus memilih, dia tidak bisa serakah dan pilihan Zaviya justru jatuh kepada Svarga itu kenapa Zaviya merasa bersalah dan bersedih karena harus mengorbankan perasaannya terhadap Argo dan melihat pria itu kecewa.
Tok …
Tok …
Ceklek.
Zaviya mengusap air mata di pipinya dengan gerakan cepat.
“Non … ditunggu ibu sama bapak makan malam.” Sang asisten rumah tangga menyampaikan pesan.
“Bilang aja aku enggak laper, Mbok … mereka makan aja duluan.”
“Iya Non, permisi.”
Setelah asisten rumah tangga menutup pintu, Zaviya melanjutkan memasukan barang-barang pemberian Argo sambil menangis.
Sesekali barang-barang itu dia peluk, dia kecup lalu dimasukan ke dalam box.
Terlalu drama bagi orang yang memutuskan menerima perjodohan ini.
Di saat kesedihan membelenggu Zaviya, ponselnya berdering menampilkan nama Argo.
Zaviya bergegas bangkit dari duduk bersila di lantai berkarpet.
Dia menarik langkah cepat ke balkon sembari membawa ponselnya.
“Hallo?” Zaviya menjawab panggilan tersebut.
“Apa kamu sudah mempertimbangkannya? Kamu enggak akan menikah dengan pria yang enggak mencintai kamu ‘kan Zaviya?”
Zaviya menundukan pandangan dari matanya yang sendu.
“Zaviya udah memutuskan untuk menerima perjodohan ini ….” Zaviya melirih, dibalas Argo dengan tawa sumbang.
“Karena dia lebih kaya dari Mas? Lebih tampan dari Mas? Iya, kan? Tapi itu semua enggak menjamin kebahagiaan kamu, Zaviya.”
“Aku tahu, Mas … tapi ini demi kebaikan keluarga kita, ayah enggak akan mengambil keputusan ini kalau enggak beliau pertimbangkan matang- matang sebelumnya … aku juga enggak ngerti kenapa sebenarnya ayah enggak merestui hubungan kita ….”
Argo bungkam beberapa saat, otaknya sedang berpikir untuk mengganti topik pembicaraan.
“Mas butuh waktu untuk meyakinkan ayah kamu, Zaviya … tunggu sebentar lagi, Mas akan buktikan kesungguhan Mas kepada ayah kamu.”
“Lalu bagaimana cara aku ngomong sama ayah sedangkan ayah dan papanya Svarga sudah sepakat menjodohkan kami.” Suara Zaviya meninggi karena tertekan.
“Kamu ulur waktu … memohon sama ayah kamu.”
“Enggak bisa, Mas.” Zaviya mengesah, baru kali ini Argo tidak mau mengerti keadaannya, memaksanya melakukan hal yang sudah tidak mungkin dia lakukan sekarang.
Lalu hening terbentang beberapa lama, air mata Zaviya perlahan mengalir lantaran tidak tega melihat Argo kecewa.
“Kalau begitu kenapa enggak kamu akui kalau kamu menyukai Svarga karena dia tampan dan kaya raya … Mas pikir kamu akan lebih mementingkan kebahagiaan hati kamu dari pada pujian orang-orang tentang seberapa tampan dan seberapa kaya suami kamu.” Meski nada suara Argo merendah tapi Zaviya bisa mendengar kalau kalimatnya ditujukan untuk meledeknya lantaran kecewa.
“Maaaas, Svarga memang ganteng … dia juga anak Konglomerat tapi sungguh … bukan itu alasan aku memilih Svarga—“
Zaviya menjeda kalimatnya karena mendengar Argo memutus sambungan telepon.
“Hallo … Mas? Mas!”
Dan begitu Zaviya melihat ke layar alat komunikasi canggihnya, dia mendapati layarnya menggelap.
Panggilan telepon itu sudah terputus.
Zaviya menjatuhkan bokongnya di kursi balkon, mengangkat kedua kaki, menenggelamkan wajahnya di antara lutut yang dia peluk.
“Mas Argo … kamu enggak tahu segimana hancurnya aku … kenapa untuk hal ini kamu enggak mau ngerti? Aku juga mempertaruhkan kebahagiaan aku menikahi pria yang kata Mas sendiri enggak mencintai akuuuuu.” Zaviya memecah tangisnya.
Dia menangis sendirian di balkon kamarnya sampai tersedu dan lama kemudian tangisnya perlahan berhenti.
“Jadi kamu mengakui kalau aku tampan?”
Suara berat yang dia kenali itu membuat Zaviya refleks menoleh ke balkon kamar tamu yang dirapihkan asisten rumah tangga tadi sore.
Svarga berdiri di sana entah sejak kapan, pria itu top less menampilkan otot indah di d**a dan perutnya.
Mata Zaviya membulat, dia yakin Svarga mendengar semuanya.
Zaviya bangkit dari kursi di balkon.
“Dasar jelek! Kamu jelek kaya Naga!” Zaviya menjulurkan lidahnya meledek sembari melangkah cepat masuk ke dalam kamar.
Ya ampun, Zaviya malu sekali.
Dia mengingat-ngingat apa saja yang diucapkannya tadi saat bicara dengan Argo di telepon.
Zaviya melesakan wajahnya ke bantal setelah berbaring tengkurap di atas ranjang.
Tidak tahu saja kalau Svarga si pria dingin yang tidak pernah tersenyum itu sekarang sedang menahan tawa hingga perutnya sakit.
Dia mendengar semuanya, sudah ada di balkon bahkan sebelum Zaviya ke balkon kamarnya untuk menjawab panggilan telepon dari Argo.
Balkon di kamar mereka bersebelahan, Svarga bisa dengan mudah melompat ke balkon kamar Zaviya dari balkon kamarnya tempat dia berdiri saat ini.
Svarga juga sengaja mematikan lampu balkon agar tidak terlalu terekspose saat mencari angin segar di luar sini dan itu yang membuat Zaviya tidak menyadari keberadaannya.
Dia tidak mengira mendapat tontonan drama seru dari kisah cinta terhalang restu antara Zaviya dengan kekasihnya.
Lama-lama Svarga tersadar kalau tingkah Zaviya mampu membuatnya terhibur, seketika Svarga berdekhem untuk menetralkan perasaan.
Raut wajah Svarga kembali sedingin sebelumnya.