Momen ini adalah momen yang paling tidak Zaviya inginkan, harus melihat ekspresi kecewa di wajah Argo.
Pria itu sudah tiba beberapa menit yang lalu, duduk di depan Svarga dan Zaviya.
Svarga menatap pria yang dicintai calon istrinya lamat-lamat, mengawasi gerak-gerik dan ekspresi wajah juga sorot mata Argo sedangkan yang bersangkutan menatap sendu pada Zaviya yang menundukan kepala tidak berani bertemu tatap dengan Argo.
“Zaviya, bisa kamu jelaskan … apa alasan kamu meminta Mas datang ke sini?” Argo bertanya dengan suara lembut.
Svarga langsung membuang tatapannya ke arah lain lantaran jijik mendengarnya.
“Mas … Svarga ini … pria yang dijododohkan ayah untukku ….” Zaviya menjeda.
Argo mengalihkan tatap pada Svarga, dia sudah menduga saat mereka berkenalan tadi.
Pria itu mengembuskan napas panjang, bibirnya memaksakan sebuah senyum yang justru membuat Argo terlihat menyedihkan.
“Kamu mencintai dia?” Mata Argo memerah menahan amarah dan kecewa.
“Belum Mas tapi ….” Zaviya menoleh pada Svarga meminta pertolongan.
Svarga menatap malas Zaviya kemudian menegakan punggungnya.
“Begini … aku tahu kamu mencintainya tapi ayahnya Zaviya dan ayahku sudah sepakat untuk menikahkan kami—“
“Tapi kamu enggak mencintai Zaviya, semestinya kamu memiliki keberanian untuk menolak!” Suara Argo tidak lantang tapi tegas menyela kalimat Svarga.
“Apa kamu bisa mencintai dan menyayangi Zaviya seperti yang aku lakukan kepadanya? Apa kamu bisa mengerti Zaviya dan menciptakan rumah yang nyaman untuk Zaviya seperti yang aku lakukan kepada?”
Svarga menelan saliva, tentu saja tidak karena dia belum mencintai Zaviya.
“Kalau tidak bisa, semestinya kamu bisa menggagalkan perjodohan ini … jangan main-main, ini adalah pernikahan.” Argo mengingatkan, secara tidak langsung memaksa Svarga yang menolak perjodohan tersebut karena bisa menduga kalau Zaviya tidak kuasa menolak permintaan sang ayah.
Svarga mengerti maksud Argo, andaikan papa tidak memaksa untuk membuktikan kalau orientasi seksualnya tidak menyimpang mungkin Svarga juga akan melakukan segala cara untuk menolak perjodohan ini.
“Aku setuju dengan ucapan kamu tapi menurutku bukan urusan kamu bagaimana aku akan memperlakukan Zaviya, dia akan menjadi istriku jadi kamu tidak perlu khawatir apakah dia bahagia atau tidak karena itu akan menjadi urusanku.” Svarga membalas santai.
“Enggak bisa donk! Aku mencintai Zaviya lebih dulu! Aku harus mendapat jaminan kalau kamu bisa membahagiakannya lebih dari yang dia dapatkan dari aku.” Argo berujar tegas.
“Tapi kamu enggak mendapat restu ayahnya Zaviya!” Svarga mengingatkan kelewat santai setengah meledek.
Argo kalah telak bila Svarga sudah menyinggung perihal restu.
Selama Argo dan Svarga bicara, kepala Zaviya terus bergerak menatap mereka bergantian.
“Mas … ikhlasin aku ya, biar keluarga kita baik-baik aja … aku yakin, Svarga akan menyayangi aku sebagaimana Mas Argo sayang sama aku ….” Zaviya menjeda, dia menoleh pada Svarga yang duduk di sampingnya.
“Benarkan, Svarga?” Zaviya menuntut janji calon suaminya.
Svarga yang sudah bersandar nyaman kembali dengan kedua tangan terlipat di depan d**a menatap sebal pada Zaviya.
Dia tahu kalau Zaviya licik tidak seperti wajahnya yang polos.
Zaviya ingin mendengar kesanggupan dan janji Svarga untuk bisa mencintai dan menyayanginya, sesuatu yang sangat dia butuhkan meski kasusnya tidak ada Argo sebab mereka menikah atas dasar perjodohan.
Gadis itu ingin kepastian kalau Svarga akan berusaha untuk mengubah perasaan di antara mereka yang tadinya tidak cinta menjadi cinta.
Bibir Svarga tetap bungkam, dia tidak akan berjanji sesuatu yang belum tentu bisa dilakukannya.
Sikap bungkam Svarga itu mendapat perhatian Argo yang kemudian menatap sinis kepada Zaviya.
“Kamu mau menikahi pria yang bahkan berjanji untuk mencintaimu aja enggak mampu?” Ini Argo serius bertanya.
“Mas memang enggak sekaya dia, Zaviya … tapi Mas bisa membahagiakan kamu …”
Argo bangkit dari kursinya.
“Mas harap kamu pikirkan kembali baik-baik sebelum menikah dengan pria yang enggak mencintai kamu.” Argo pergi usai berkata demikian meninggalkan Zaviya yang jadi gundah dan Svarga yang tampak begitu santai.
“Kamu tuh ya, enggak bisa bohong aja sedikit … bilang kalau akan mencintai aku dan menyayangi aku sepenuh jiwa dan raga biar enggak diledekinya sama mas Argo!” Zaviya gemas sekali, rasanya ingin menonjok wajah tampan di sampingnya.
“Aku enggak bisa bohong, apalagi bohong besar yang diajarkan kamu tadi.” Svarga menjawab dingin, sedingin tatapannya pada Zaviya.
Zaviya mencebikan bibirnya, kesal sekali karena pertemuan dengan Argo kali ini tidak bisa menyelesaikan masalah.
Malah Argo memintanya untuk berpikir, Zaviya lelah disuruh untuk berpikir dan mempertimbangkan karena sebelum ini Ayah juga memintanya begitu.
Zaviya sudah memutuskan untuk menerima perjodohan ini, mengambil risiko tidak dicintai dan disayangi Svarga demi kebaikan keluarganya terlebih calon suaminya memiliki paras yang sialan tampan.
Sesuai kesepakatan, Svarga bersedia mengunjungi rumah kedua orang tua Zaviya.
Svarga reschedule jadwal kepulangannya ke Jakarta menjadi esok hari.
Perubahan sikap ditunjukan Zaviya usai pertemuan dengan Argo.
Gadis itu jadi sering melamun dan pendiam sambil menyetir, Svarga jadi khawatir kalau mereka akan tersesat atau mungkin kecelakaan karena Zaviya tidak fokus.
Svarga tidak memiliki keahlian membujuk seorang gadis, dia juga tidak terlalu peduli dengan perasaan Zaviya yang mungkin sedang patah hati karena terpaksa harus menikah bukan dengan pria yang dicintainya.
Svarga sendiri sedang berusaha Me-manage hatinya untuk bisa menerima perjodohan ini dengan lapang d**a.
Tapi beruntung Tuhan bersama mereka sehingga perjalanan pulang ke rumah Zaviya berjalan lancar.
Mobil Zaviya langsung masuk ke garasi, Zaviya menuntun Svarga melewati halaman samping rumah yang luas dan asri.
“Assalamualaikum! Ayaaaah … Bundaaaa.” Zaviya melantangkan suara.
Dia lantas membalikan badan bermaksud meminta Svarga menunggu di ruangan dekat taman namun matanya melotot saat melihat Svarga masuk menggunakan alas kaki.
“Heh! Buka sepatunya!” Zaviya menampar lengan berotot Svarga, matanya melotot penuh peringatan.
“Enggak sopan!” kata Zaviya lagi, dia tampak murka padahal Svarga hanya masuk ke dalam rumah memakai sepatu.
“Iya … iya!” Svarga memutar badan, kembali ke teras untuk membuka sepatu.
Dia lupa dengan aturan tidak tertulis di Negara ini yang melarang sepatu masuk ke dalam rumah.
“Eeeeh, calon mantu!” sapa seorang wanita paruh baya yang cantik seperti mama Kejora.
Beliau mendekat dengan anggun sembari mengulurkan tangan.
Svarga meraih tangan wanita yang Svarga duga adalah bundanya Zaviya kemudian dia kecup bagian punggungnya.
“Sore banget sampenya? Udah makan? Nginep di sini, kan? Sebentar ya, Bunda minta asisten rumah tangga siapin kamar untuk kamu.”
“Eh, Bu … Hallo, maaf ….” Svarga berusaha menghentikan apa yang akan dilakukan bunda Venus namun beliau kadung menaiki anak tangga.
Svarga menoleh pada Zaviya yang cekikikan kemudian duduk di sofa.
Padahal gadis itu tampak sedih ketika dalam perjalanan ke sini tapi sekarang sikapnya berubah menyebalkan.