Svarga sampai di Surabaya, dia naik penerbangan paling pagi dari Jakarta tapi saat itu pesawat paling pagi berangkat jam sebelas siang jadi ketika tepat jam makan siang pesawatnya baru mendarat.
Katanya gadis berisik itu akan menjemputnya di Bandara, dia melangkah tegap menuju pintu kedatangan.
Svarga masih tidak mengerti, kenapa banyak gadis melirikan mata ke arahnya.
Semenjak tiba di Jakarta sebenarnya dia sudah merasa risih sekali dengan tatapan aneh dari para gadis sampai tante-tante pasti menatapnya tanpa jeda begitu netra mereka menangkap sosoknya.
Mama Kejora mengatakan kalau mereka selalu ingin menatapnya karena dia memiliki wajah tampan dan blasteran.
Svarga memilih mempercayai ucapan sang mama tapi lama-lama dia jengah juga.
Langkah Svarga memelan saat dia sudah berada dekat pintu kedatangan, netranya menangkap sosok Zaviya tapi rasanya Svarga ingin kembali ke dalam lalu naik pesawat menuju Jakarta.
Bulan tanpa sebab Svarga ingin mengurungkan niat bertemu kekasih Zaviya, pasalnya sekarang—gadis yang akan dijodohkan dengannya sedang berdiri membawa spanduk bertuliskan WELCOME MY FUTURE HUSBAND dan membawa bunga untuk dikalungkan ke lehernya.
Demi Tuhan, Svarga malu sekali.
“Apa-apaan gadis itu.” Dia menggeram di dalam hati.
Banyak orang yang menunggu di pintu kedatangan pun menonton tingkah Zaviya yang malah berjingkrak kegirangan saat melihat kemunculannya.
Svarga tidak bisa memutar langkahnya, mau tidak mau dia menghampiri Zaviya meski harus mendapat tatapan aneh dari ratusan pasangan mata.
“Selamat datang calon suami.” Zaviya mengalungkan bunga di leher Svarga yang diam saja menatapnya dingin.
“Apa kamu sudah siapkan karpet merah atau tarian sambutan dari berbagai daerah untuk menyambutku?” Svarga bersarkasme.
“Enggak kok, cuma aku yang jemput kamu.” Zaviya menyahut santai
Svarga menarik langkah sembari melepaskan karangan bunga di lehernya lalu dia buang ke tong sampah.
“Puas kamu membuat aku malu?” Dia berujar sinis lagi pada Zaviya yang berlari kecil di belakangnya berusaha menyeimbangkan langkah Svarga yang panjang.
Zaviya tidak mengambil hati saat Svarga membuang karangan bunganya bahkan spanduk yang dia bawa sudah dari tadi dia buang kentong sampah.
Zaviya sudah tahu kalau Svarga akan kesal, dia memang suka memancing kekesalan calon suaminya.
“Oh kamu malu? Masa gitu aja malu.” Zaviya menyepelekan dengan cara paling menyebalkan membuat Svarga mendelik kesal.
“Mana mobil kamu?” Svarga malas berdebat dengan gadis berisik gila yang otaknya kecil.
“Di parkiran, lewat sini.” Sekarang Zaviya yang menuntun dari belakang.
“Kamu enggak beli oleh-oleh untuk aku, ayah dan bunda juga Bude kesayangan aku?”
Svarga yang berjalan mengikuti di belakang Zaviya mengangkat kedua alisnya.
“Memang harus ya?” Dia bergumam.
“Iya, itu tradisi di Indonesia … kalau enggak bawa oleh-oleh, kamu dianggap enggak sopan.”
Zaviya tersenyum tipis usai berkata demikian, tentu saja Svarga tidak bisa melihat senyumnya.
Dia senang sekali mengetes Svarga.
“Tunggu! Kamu tahu di mana aku bisa beli oleh-oleh khas Jakarta?”
Zaviya menghentikan langkah, dia membalikan tubuhnya mengahadap Svarga.
“Aku tahu.” Zaviya menjawab penuh keyakinan.
“Di mana?” Svarga bertanya serius.
“Di Jakarta,” jawab Zaviya kemudian tertawa dan memutar tubuhnya kembali melanjutkan langkah.
Svarga menatap malas punggung Zaviya yang menjauh.
Calon istrinya menyebalkan sekali.
Papa Arjuna juga tidak bisa diandalkan, semestinya beliau memberi saran agar membeli oleh-oleh untuk minimal kedua orang tua Zaviya.
Bagaimana kalau ayahnya Zaviya menganggap dirinya tidak sopan dan langsung underestimate terhadapnya.
Svarga menghayati sekali perannya sebagai calon menantu ayah Archio.
Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya mereka tiba di samping mobil Zaviya.
“Kamu yang nyetir ya, aku capek nungguin kamu lama banget.” Zaviya memberikan kunci mobil pada Svarga yang mau tidak mau diterima Svarga dengan tampang melongo.
Svarga mengembuskan napas jengah kemudian masuk dan duduk di belakang kemudi karena Zaviya sudah masuk lebih dulu dan duduk di samping kemudi.
Pria itu mulai mengendarai mobil Zaviya keluar Bandara.
“Kamu tunjukan arahnya,” kata Svarga ketus.
“Oke … sekarang kita makan siang di restoran aku ya, nanti aku yang traktir.”
Zaviya menyengir lucu setelah berkata demikian, sedangkan Svarga yang sempat menoleh sekilas kepadanya memberikan tatapan dingin.
“Belok kiri atau kanan?” Svarga bertanya saat kendaraan yang dikemudikannya akan melewati persimpangan.
“Kanan aja, agak muter sih tapi enggak macet.”
Dan Svarga menurut membelokan kemudi ke kanan namun sayang perkiraan Zaviya meleset karena ternyata di beberapa meter di depan mereka terdapat antrian kendaraan.
“Oh iya, sekarang hari Sabtu … di sini pasti macet.” Zaviya bergumam, raut wajahnya memberengut.
Svarga melirik sekilas, kekesalannya bertambah apalagi dia belum makan siang.
Perutnya yang sudah keroncongan harus menunggu lagi untuk diisi karena padatnya kendaraan.
“Kita pake jalan tikus aja ya, coba aku cari dulu di gmaps … kalau ga salah di daerah sini ada jalan motong.”
Zaviya mulai mengotak-ngatik ponselnya.
“Belok kiri di depan!” Zaviya berseru yang otomatis membuat Svarga membelokan kemudi ke kiri.
Jalanannya memang sempit tapi masih bisa di lalui dua mobil.
“Lurus terus,” kata Zaviya memberi tahu arah.
“Belok kanan …,” lanjutnya.
Svarga mengikuti arahan Zaviya tanpa protes.
“Terus belok kiri lagi,” kata Zaviya sambil sesekali melihat layar ponselnya.
Cukup jauh dan menempuh waktu satu jam mobil bergerak mengikuti arahan Zaviya sampai keluar di jalan besar yang menghubungkan ke kota lain.
“Loh … kok udah sampe sini?” Zaviya bergumam, celingukan menatap ke kiri, ke kanan dan ke belakang.
“Maksud kamu kita tersesat?” Svarga mulai ngegas.
“Heu?” Zaviya malah melongo menatap Svarga.
Disertai decakan lidah kesal, Svarga merebut ponsel dari tangan Zaviya, menggerak-gerakan jari telunjuk dan jempol guna memperbesar tampilan gmaps.
“Kita kelewat jauh Zaviya, seharusnya tadi kita belok ke kiri di persimpangan tadi … kamu sebenarnya bisa baca gmaps enggak?!”
Zaviya menggelengkan kepala pelan dengan mata berkaca-kaca setelah mendengar suara lantang dari Svarga.
Seumur hidup, ayah Archio tidak pernah membentaknya.
Apalagi Reysahaka yang begitu menyayanginya juga aki yang menjadikannya cucu favorite.
Seorang pria asing itu membentaknya hanya karena keliru membaca peta.
Satu buliran kristal jatuh ke pipi Zaviya tepat di depan mata Svarga membuat pria itu menyesal kemudian melembutkan wajahnya begitu juga tatapannya tidak setajam tadi.
Svarga kelepasan, saking kesal dan lapar menjadi perpaduan yang sempurna untuk langsung melampiaskannya kepada yang bersangkutan.
Pria itu meraup udara dalam kemudian mengembuskannya perlahan guna menangkan diri.
“Aku aja yang buka gmaps.” Svarga berujar dengan nada rendah ketika mengotak-ngatik ponselnya.
Dia mencontek nama tujuan yang tertera di aplikasi gmaps pada ponsel Zaviya dan dia sudah menemukan arah yang tepat.
Svarga mengemudi sambil memegang ponsel dan sesekali melirik ke layarnya tidak membuat Svarga kewalahan.
Menghadapi Zaviya lah yang membuat Svarga kewalahan.
Jadi dengan kecepatan di atas rata-rata karena kebetulan jalanan tidak macet, Svarga berhasil sampai di restoran kelolaan Zaviya.
Svarga menoleh ke samping, dia baru sadar kalau ada makhluk kasat mata menemaninya selama perjalanan tadi.
Zaviya menundukan kepala menatap kedua tangan yang dia diremat di atas pangkuan tapi dari samping—Svarga bisa melihat raut sendunya.
Dia tahu kalau Zaviya pasti sedih mendengar suara tingginya tadi.
“Aku lapar, katanya kamu mau traktir aku ….” Svarga membuka pintu.
Nada suaranya sudah lebih rendah.
“Ayo cepat turun!” Pria itu pun turun dari dalam mobil dan mulai melangkah masuk ke dalam restoran.
Mana mau Svarga repot-repot membujuk Zaviya, nada suaranya tidak ketus saja sudah harus disyukuri oleh Zaviya.
“Iiih … kok pergi gitu aja enggak minta maaf.” Zaviya misuh-misuh.
Dia lantas keluar dari dalam mobil, menderapkan langkah masuk ke dalam restoran dengan sambutan penuh hormat para karyawannya.
Mata Zaviya mengedar mencari keberadaan Svarga, ternyata pria itu duduk di bagian pojok ruangan.
Sedang membaca buku menu ditemani gadis pelayan yang terus menatapnya dengan mata berbinar.
Zaviya duduk di depan Svarga yang tidak terusik sama sekali, anteng membaca setiap menu namun berhasil membuat gadis pelayan terkesiap.
“Si-siang Bu ….” Gadis pelayan menyapa sembari membungkukan sedikit tubuhnya.
“Siang.” Zaviya membalas dingin.
Svarga menyebutkan beberapa menu makan beserta minumannya begitu juga Zaviya.
“Bilang sama pak Mus, jangan pake lama.” Zaviya berpesan.
“Baik, Bu.” Dan setelah itu gadis pelayan pergi membawa perasaan takut dipecat lantaran telah dengan tidak sopan menatap pria yang bersama sang bos.
“Suruh pacar kamu datang ke sini, kita bicara di sini aja.”
“Memangnya kamu enggak mau ketemu ayah sama bunda dulu?”
“Aku udah pesen tiket untuk penerbangan terakhir jam delapan nanti kadi setelah bicara dengan pacar kamu, aku akan langsung pulang.”
“Hah? Besok ‘kan masih minggu, besok saja pulangnya … lagian urusan kamu belum tentu beres sekarang.”
Ayah dan bunda tadi berpesan agar meminta Svarga menginap di rumah mereka.
Bunda ingin sekali bertemu Svarga.
“Harus beres sekarang!” Svarga berujar tegas.
Tidak lama kemudian dua pelayan pria membawa menu makanan dan minuman pesanan mereka.
Svarga langsung menyantapnya dengan lahap.
“Ayo telepon pacar kamu sekarang!” Dia mengulang perintahnya.
“Kamu enggak mau ketemu ayah sama bunda dulu?”
“Aku enggak bawa oleh-oleh, kamu enggak usah bilang sama mereka kalau aku datang ke Surabaya.”
“Tapi mereka udah tahu kamu ke sini, mereka tunggu kamu di rumah, sekarang.” Zaviya menghentakan kakinya gemas.
“Lalu kenapa kamu bawa aku ke sini bukannya langsung bawa aku ke rumah orang tua kamu?”
Demi Patrick dalam film Spongebon, Svarga kesal sekali dengan kecerdasan otak Zaviya.
“Aku mau pamer restoran aku sama kamu,” ungkap Zaviya dengan bibir mengerucut membuat ucapannya tidak jelas seperti kumur-kumur.
Svarga menggelengkan kepala samar sembari menatap malas Zaviya.
“Suruh pacar kamu ke sini sekarang atau kamu mau kita bertiga bertemu di rumah orang tua kamu?” Svarga mengancam.
“Tapi kamu ketemu ayah bunda dulu ya?”
“Enggak!”
“Svargaaaaaa!” Zaviya menjerit kesal hingga beberapa tamu restoran menoleh padanya.
Svarga mendesis. “Iyaaaaa,” katanya terpaksa sembari menggeram pelan.