Pria Yang Zaviya Cintai

1682 Words
Zaviya sudah kembali ke Surabaya, dia sibuk sekali menyelesaikan banyak masalah restoran kelolaannya selama ditinggal kabur ke Jakarta. Sampai hari menjelang sore pun Zaviya masih berkutat di meja kerjanya memeriksa pembukuan. Suara ketukan di pintu membuat Zaviya mendongak. Sosok pria yang dia rindukan masuk sambil senyum manisnya tanpa dosa. Zaviya merotasi bola matanya bersama hembusan napas jengah meski hati bersorak karena akhirnya mereka bisa bertemu tapi Argo harus tahu kalau dia kesal karena tidak ada action dari Argo setelah mengetahui ayah Archio akan menjodohkannya. Zaviya pura-pura kembali menekuni pekerjaan. “Belum pulang?” tanya Argo seiring langkahnya mendekat lantas duduk di depan meja kerja Sifabella. Pria yang masih memakai stelan kerja dengan lengan kemeja dilinting hingga sikut itu bersandar punggung nyaman dan jemarinya saling bertemu. “Waktu aku denger kamu udah balik ke Surabaya, aku langsung ke sini.” Argo memulai percakapan. Zaviya masih pura-pura kesal meski sebenarnya masih sedikit kesal tapi cinta membuatnya bisa memaklumi Argo. Argo mengulurkan tangan meraih tangan Zaviya yang memegang pulpen lalu melepaskan pulpen dari jemari lentik itu agar bisa dia genggam seluruhnya. “Zaviya … Mas minta maaf.” Zaviya mengangkat pandangannya menatap Argo. “Mas enggak mungkin nyusulin kamu ke Jakarta sedangkan kamu tinggal di rumah mas Khalis.” Argo seolah tahu apa yang ada dalam benak Zaviya. “Terus kenapa Mas enggak telepon aku?” Zaviya bertanya galak. “Mas bingung Zaviya … Mas juga kecewa, Mas harus menenangkan diri dulu sama kaya kamu … setelah selama ini kita pacaran diam-diam dan harus menerima kenyataan kalau kamu dijodohin ayah kamu ….” Argo menjeda, satu tangannya lagi ikut melingkupi tangan Zaviya. “Mas enggak bisa meyakinkan ayah untuk nikahi aku?” Argo menggelengkan kepalanya. “Masalah ini sensitif sekali Zaviya ….” Padahal Argo punya dosa yang diketahui ayah Archio jadi tidak berani meminta Zaviya pada beliau. “Jadi Mas mau menyerah, mau lepasin aku?” Zaviya menuntut kepastian. “Memangnya kamu udah menerima perjodohan itu?” Pertanyaan dijawab hanya dengan gerakan kepala saja sungguh mengesalkan sekarang pertanyaan dijawab dengan pertanyaan membuat Zaviya emosi sekali. Zaviya gemas, sepertinya hanya dia yang berjuang dalam hubungan ini. “Kamu enggak bisa menolak? Atau mengulur waktu?” Argo bertanya hati-hati. “Untuk apa Mas? Toh Mas enggak berani memperjuangkan aku.” Argo mengembuskan napas panjang, dia bangkit masih menggenggam tangan Zaviya kemudian memutar setengah bagian meja, membantu Zaviya agar berdiri berhadapan dengannya. Begitu tangan Argo melingkar di tubuh Zaviya, kedua tangan Zaviya memeluk Argo erat bahkan lebih erat dari pelukan pria itu. Zaviya menenggelamkan wajah di d**a Argo ingin menangis tapi air matanya sudah mengering. Dia mencintai Argo namun cintanya terhalang restu dan benar kata Argo kalau masalah ini sangat sensitif mengingat ayah Archio dan ibunya Argo di besarkan bersama oleh eyang Prita. Keluarga besar juga banyak yang menentang membuat mereka semakin gundah. Satu tangan Argo beralih ke pipi Zaviya mengangkatnya sedikit agar mendongak. Kepala Argo menunduk mengikis jarak wajahnya dengan wajah Zaviya kemudian bibir mereka bertemu. Argo melumat lebih dulu bibir Zaviya yang matanya telah terpejam. Tidak perlu menunggu detik berlalu, Zaviya membalas ciuman Argo, dia merindukan pria itu. Jadi saat Argo membawanya ke sofa dan mendudukannya di atas pangkuan dengan posisi saling berhadapan—Zaviya tidak menolak malah melingkarkan kedua tangan di leher Argo meski jantungnya berdetak tidak karuan. Argo adalah pria yang pertama kali mencumbunya jadi Zaviya merasa terikat perasaan yang kuat dengan Argo. Ketika bibir Argo sudah mulai pindah ke leher dan tangannya membuka kancing kemeja Zaviya tanpa disadari oleh yang bersangkutan—keduanya harus menghentikan kegiatan ini karena ponsel Zaviya yang berada di atas meja berdering nyaring. “Biarkan saja,” kata Argo, tidak sabar ingin melanjutkan apa yang tadi mereka mulai. Kedua tangannya memeluk erat b****g Zaviya menahannya agar tidak ke mana-mana. “Takut penting Mas.” Zaviya memaksa turun. Dia meraih ponsel dari atas meja dan tercenung sebentar begitu melihat nama Svarga tertera di layar. Zaviya melirik Argo sebelum menggeser icon gagang telepon berwarna hijau pada layar. “Hallo?” Zaviya menjawab panggilan tersebut. “Baca WA,” kata Svarga kemudian memutus sambungan telepon sepihak memunculkan kernyitan dalam di pangkal hidung Zaviya. “Kenapa enggak langsung ngomong aja sih?” Dia bergumam. “Siapa?” Argo bertanya dari sofa. Pria itu masih berharap Zaviya mau melanjutkan kegiatan b******u tadi tapi Zaviya malah duduk di kursinya di belakang meja kerja. Zaviya mengotak-ngatik ponselnya membuka ruang pesan dengan Svarga. Ternyata ada pesan yang Svarga kirim beberapa menit lalu dan entah kenapa dia tidak menyadarinya. Svarga : Aku akan menemui pacarmu, tapi kamu harus ikut. Zaviya tersenyum tipis, merasa kecantikan karena diperebutkan dua pria. Zaviya : Boleeeeeh. Svarga masih menatap ke layar ponselnya menunggu kelanjutan pesan Zaviya tapi ponselnya malah menggelap. Dia mengirim pesan lagi kepada Zaviya karena percakapan ini belum berakhir. Svarga : Kirim alamat kamu. Zaviya : Mau datang ke sini kapan? Svarga : Sabtu. Svarga sudah tahu kalau Zaviya berdomisili di Surabaya. Zaviya : Naik apa? Svarga : Pesawat. Zaviya : Oke … aku jemput di Bandara. “Kamu chat sama siapa?” Argo merampas ponsel dari tangan Zaviya. “Mas!” Zaviya merebutnya kembali. “Kamu enggak biasanya chat sambil senyum-senyum gitu.” Argo merajuk karena cemburu. Dia memeluk Zaviya dari samping, menekan dagunya di pundak Zaviya sebelum memberikan kecupan dalam di pipinya. Terkadang Zaviya risih dengan love language Argo yang selalu pshycal touch kadang terlalu intim setiap kali mereka hanaya berdua. Zaviya adalah wanita dewasa yang memiliki hasrat, dia takut kelepasan kalau Argo terus memancingnya. “Mas … aku mau beresin kerjaan aku dulu ya.” Zaviya melepaskan diri dari Argo yang tampak kecewa mendapat sikap dingin dari Zaviya. Dia juga tidak memberitahu Argo tentang siapa yang tadi bertukar pesan dengannya. Tadinya Zaviya akan bicara banyak dengan Argo setelah pekerjaannya selesai. Namun ternyata Svarga bersedia bicara dengan Argo jadi ya sudah, biar pria itu saja yang menjelaskan semua kepada Argo. Argo adalah pria pengertian, dia melepaskan Zaviya untuk melanjutkan pekerjaannya sementara itu dia keluar ruangan Zaviya untuk membawakan Zaviya makan malam. Mereka makan malam berdua di satu piring yang sama dengan Argo menyuapi Zaviya yang masih sibuk dengan pembukuan. Sikap manis Argo itu yang membuat Zaviya jatuh cinta. Tapi mau bagaimana lagi, cinta mereka terganjal restu. Zaviya tidak bisa membantah keinginan ayah Archio untuk menikah dengan seorang pria pilihan beliau terlebih pria itu sangat tampan. *** “Argo … masuk dulu sayang.” Bunda Venus begitu ramah menyambut Argo yang mengantar Zaviya pulang ke rumah. “Malem banget pulangnya, ngapain aja?” Tidak seperti ayah yang ketus dan menatap penuh curiga pada Zaviya dan Argo. “Tadi temenin Zaviya beresin pembukuan, Om.” Argo yang menjawab karena Zaviya sudah melengos pergi dengan wajah kesal. Ketika mereka sampai, ayah dan bunda sedang minum teh di teras samping rumah dan kebetulan Zaviya dan Argo masuk dari pintu samping jadi mereka bertemu. Zaviya pikir ayah dan bunda sedang menonton televisi. “Mas Argo masuk! Aku buatin minum!” Zaviya teriak ngegas dari dalam rumah. Yang sudah pasti nada tinggi itu dia tujukan untuk ayah. “Ayo masuk, sayang … masuk.” Bunda mempersilahkan. “Permisi Om … Tante.” Argo sedikit membungkuk saat melewati ayah Archio dan bunda Venus. “Sayang … sayang … Bunda mah mengumbar sayang sama semua orang, tapi manggil Ayah enggak pernah sayang.” Ayah Archio misuh-misuh. “Karena Bunda sudah lebih tinggi lagi dari sayang levelnya ke Ayah mah … Cinta, Cinta banget, Cinta mati.” Bunda selalu bisa membuat hati ayah luluh. Ayah mengulum senyum sembari menatap tanaman yang bunda rawat selama ini. “Jangan galak-galak sama Argo … dia udah kaya anak kita sendiri,” tegur bunda Venus dengan suara lembut. “Justru karena udah Ayah anggap anak sendiri jadi harus Ayah kerasin.” “Enggak enak sama mbak Natalia, Yah … mbak Natalia sebenarnya setuju-setuju aja lho kalau Argo nikah sama Zaviya.” “Buuun, Ayah udah fix menerima lamarannya Arjuna ….” Bunda terdiam sebentar menatap wajah Ayah dengan sorot mata teduh. “Maaf Ayah ngegas.” Ayah meraih tangan bunda lalu beliau kecup bagian telapak tangannya. “Memangnya Zaviya bersedia menikah sama anaknya Arjuna?” Seketika itu bunda memaafkan ayah. “Kalau dari percakapan antara Ayah sama Zaviya kemarin sih … Ayah menangkap kalau Zaviya oke-oke aja dinikahin sama Svarga.” “Oh ya?” Bunda Venus terkekeh. “Sewaktu pertama kali dia ketemu Svarga langsung terpesona … sumringah wajahnya, baru tahu dia kalau Svarga ganteng.” Bunda tergelak. “Bunda pernah ketemu Arjuna sama istrinya ‘kan?” “Iya pernah, kalau enggak salah kita ketemu di nikahan kakak iparnya Arjuna di Jakarta … Bunda juga sempat ngobrol sama istrinya, itu mah gen papa sama mamanya bagus.” “Iya … makanya tadi kata Ayah juga ganteng calon menantu kita tuh.” “Bunda sih setuju aja sama siapapun Zaviya menikah asal menyayangi dan mencintai Zaviya dengan tulus.” “Walaupun dijodohkan, Ayah yakin Svarga akan mencintai dan menyayangi Zaviya … siapa yang enggak sayang sama Zaviya? Dia lucu menggemaskan gitu kaya Ayah.” Bunda tergelak, memukul-mukul pelan lengan ayah. Sementara itu dalam rumah tepatnya di dapur, Zaviya mengeluarkan puding dari dalam kulkas untuk disuguhkan kepada Argo. “Aku buat ini Mas, hasil sekolah pastry aku … cobain deh.” Argo mencoba sepotong puding mangga dengan toping cream cheese. “Enak … mau kamu jadikan menu baru di resto?” Zaviya menganggukan kepala. “Aku akan ajarin Baker-nya cara membuat puding ini.” “Kenapa enggak kamu yang buat? Rasanya biar lebih orisinal. “Restoran mau diambil alih orang lain, Mas.” Raut wajah Zaviya menyendu. “Siapa?” Argo mengerutkan keningnya dalam “Lagi proses perekrutan sama bude Natalia.” “Hah? Kok ibu enggak ngomong apa-apa sama Mas? Kenapa dikelola orang lain sih?” Zaviya menarik napas dalam kemudian mengeluarkannya perlahan. “Ayo habiskan terus pulang, nanti bude Natalia nyariin.” Argo tidak pernah memaksa Zaviya harus menjelaskan sesuatu, dia menghargai Zaviya bila belum mau menceritakannya. Meski hal tersebut mengganjal di hati sampai dia terus memikirkannya dalam perjalanan pulang ke rumah. Sikap dingin Zaviya, kode dari kata-kata Zaviya membuat Argo curiga kalau dia akan kehilangan gadis kesayangannya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD