Langit Surabaya yang sebelumnya sendu bagiku kini cerah karena kehadiran Zein. Kami kembali ke kota, tepatnya ke rumah Mama yang berada di kota ini. Setelah berminggu-minggu di rumah sakit, atas saran dokter Ganda, suami Nada, akhirnya kami pulang ke rumah dengan syarat bedrest. Rumah Mama tidak begitu besar, tapi di lengkapi taman yang rindang. Hatiku senang, bahagia tak terhingga bertemu dengan Zein. “Selamat datang, Pak Zein!” sapa seorang perawat muda bernama Purnomo yang aku sewa untuk membantu perawatan Zein, atas saran dari dokter Ganda. Mas Pur dengan cekatan mendorong kursi roda Zein masuk ke dalam rumah. Zein tersenyum, berusaha menyembunyikan rasa lelahnya. “Terima kasih, Mas,” ucap Zein, membuat Zee tersenyum kecil. Setibanya di dalam, Zein disambut oleh Rendi dan Edo, yang

