Beberapa hari ini, aku menjadi bapak rumah tangga. Pagi harinya menyiapkan sarapan untuk orang rumah, siang hingga sore hari bermain bersama anak—membuat cemilan bersama dan malam hari momong istri juga anak. Lelah? Jelas, tapi aku bahagia. Itu yang bayi besarku sudah pulang, mobilnya sudah masuk ke halaman rumah. Aku mengerutkan keningku melihat wajah muram istriku. “Sayang—” Aku tidak lagi melanjutkan kalimatku karena begitu mendekat Zee langsung memelukku membuat senyum terukir di wajahku. “Mas, aku kalah tender,” ucapnya dengan nada lirih. Kuusap lembut punggung belakangnya dan kukecup puncak kepala. “Bukan rezeki kamu, Yang. Apa yang baik menurut kita, belum tentu baik versi Tuhan. Kegagalan hari ini akan menjadi pelajaran juga penyemangat untuk hari berikutnya, ya.” Zee mendong

