15. JANGAN MENARUH RASA PENASARAN

1604 Words
Tangan nampak gemetar, jantung berdetak cepat dan perasaan syok masih menghantui Rhae saat ini. Berada di dalam mobil yang dikemudikan oleh Gyan, wajahnya masih terlihat gurat ketakutan akibat kejadian barusan. Siapa sangka ia harus mendapat tidak pantas di tempat umum. Ingin memberikan pelajaran tapi nyatanya ia terlalu takut. Suasana di dalam mobil begitu hening karena Gyan fokus mengemudikan mobil. Hampir 10 menit berlalu, dan ia masih memberikan kesempatan untuk Rhae memahami situasinya. Wanita itu belum mau mengangkat wajahnya yang tertunduk karena bingung sekaligus cemas. “Kamu baik-baik saja, Rhae? Atau mungkin kaki kamu sakit karena tadi saya agak maksa kamu jalan lebih cepat?” tanya Gyan pada akhirnya sambil menoleh singkat ke samping. Khawatir karena wanita itu terus saja diam. Rhae langsung mengangkat wajahnya, lalu menoleh ke atah Gyan. “Saya baik-baik saja. Cuma masih syok sedikit.” “Harusnya saya kasih pelajaran kepada tiga orang tadi. Sikapnya benar-benar keterlaluan dan pengecut. Beraninya sama perempuan,” ucap Gyan kesal. “Kamu tidak perlu berlebihan membela saya, nanti malah kamu yang kena masalah,” ujar Rhae. “Tapi saya tidak akan lupa bilang terima kasih ke kamu karena sudah bantu saya di waktu yang tepat.” Gyan berdeham, sedikit membenahi posisi duduknya. “Saya boleh jujur sama kamu? Tapi kamu jangan marah dulu, ya.” “Memang ada apa?” tanya Rhae curiga dan mata menatap pria itu. “Saya tidak akan marah kalau tanpa sebab. Jadi silakan cerita.” “Sebenarnya saya ngikutin kamu, makanya saya bisa bantu kamu.” ‘Ngikutin saya? Sejak kapan?” nada suara Rhae meninggi. “Saya bisa jelaskan semuanya biar kamu tidak salah paham,” ucap Gyan sedikit panik atas reaksi Rhae. “Saya lihat kamu waktu sama bos kamu. Ternyata kalian lagi ketemu klien, ya?” “Iya. Klien kami teman lama madam. Makanya saya pulang duluan biar madam bisa lebih lama dengan teman-temannya.” “Ya saya lihat semuanya. Cuma kamu tidak sadar kalau saya ada di tempat yang tidak jauh dari tempat kalian duduk.” Kening di wajah Rhae mengkerut dengan mata menyipit curiga. “Jadi setelah itu, kamu ngikutin saya?” Gyan mengangguk. “Saya khawatir waktu kamu jalan sendiri dalam keadaan pincang. Setelah kamu berdiri di tempat tadi, saya masih menjaga jarak agar kamu tidak curiga atau tidak nyaman melihat saya. Tapi waktu tiga orang tadi mendekat, saya merasa kamu dalam bahaya. Makanya saya muncul setelah kamu kelihatan panik dan ketakutan. Disaat itu saya datang karena saya tidak mau terjadi sesuatu yang buruk sama kamu,” jelas Gyan. Mendengar penjelasan Gyan yang terasa masuk akal, Rhae pun mengangguk tanda mengerti. “Terima kasih sudah menolong saya,” ucapnya. “Sama-sama. Dan saya minta maaf kalau akting saya berlebihan. Kamu pasti tidak nyaman dirangkul bahkan dipanggil sayang. Iya kan?” “Sedikit tapi tertutup perasaan cemas.” “Sekarang sudah lebih tenang?” tanya Gyan khawatir. Rhae mengangguk pelan. “Kalau kaki saya tidak sakit, mungkin sudah saya lawan tanpa bantuan orang lain.” “Jangan terlalu berani, Rhae. Kita tidak tahu apa yang mereka bawa dan hal apa yang disiapkan. Jadi lain kali teriak saja biar orang yang ganggu kamu jadi kabur.” “Iya, terima kasih untuk pertolongannya,” ucap Rhae dengan nada pelan, tidak seperti biasanya. “Sekarang saya antar kamu pulang, ya?” “Kalau boleh, antar saya ke rumah bibi saya untuk jemput Nio. Dia pasti sudah nunggu dari tadi. Dari sana, nanti saya pulang naik taksi. Saya tidak mau terlalu merepotkan,” ucap wanita itu. Mendengar nada bicara Rhae yang perlahan lembut, membuat Gyan mengulum senyum. “Kasih tahu di mana alamanya.” “Alamatnya di sebelah komplek rumah saya. Nanti di jalan melati, kita masuk ke sana.” “Baiklah, sepertinya saya tahu.” Kurang lebih 20 menit perjalanan, Rhae bersama Gyan sampai di depan rumah bibinya. Ia pun segera turun bersama dengan Gyan. Awalnya Rhae berniat meminta Gyan tetap di mobil. Namun pikirannya berubah, ia tidak mau membuat bibinya curiga. “Sebaiknya saya tunggu di sini saja,” ucap Gyan. “Kamu yakin?” Gyan mengangguk santai. “Cuma sebentar, kan?” “Iya.” “Ya sudah, saya di sini saja nunggu kalian. Saya tidak mau ada salah paham yang buat kamu tidak nyaman.” “Baiklah, saya tidak akan lama,” jawab Rhae. Rhae pun masuk dan meninggalkan Gyan di luar. Ia mencari keberaan anaknya karena suasana cukup sepi. “Selamat malam,” sapa Rhae. Bibi, serta anak dan keponakannya muncul bersamaan. Raut wajah mereka sangat antusias melihat kedatangan Rhae. “Selamat malam,” balas saudara ibunya bernama Lestari. “Mommy!” “Onty Rhae!” Rhae mendapat pelukan dari Nio dan juga Cloe. “Wah! Mommy belum mandi, jadi bau.” “Nggak apa-apa, Mom. Tetap mau peluk.” “Kamu ke sini diatar siapa, Rhae?” Rhae pun fokus kepada bibinya. “Diantar teman, Bi.” “Senara?” “Bukan,” jawab Rhae ragu sambil melihat anaknya. Kening Lestari mengkerut melihat tingkah mencurigakan keponakannya. “Terus siapa?” “Kenalan yang kebetulan ketemu di tempat meeting. Dia kasihan lihat kondisiku jadi diantar pulang.” “Kenapa tidak diajak masuk?” “Aku Cuma sebentar, Bi. Aku mau pulang biar bisa cepat istirahat. Takut kakiku makin sakit.” “Teman kamu laki-laki apa perempuan?” Rhae manpak malu ditanya begitu. “Dia laki-laki. Kami Cuma teman.” Lestari mengangguk paham. “Ya sudah, sebaiknya cepat pulang.” “Nio, kita pulang sekarang, ya. Pamik dulu sama nenek.” Nio pun memeluk wanita paruh baya itu. “Nio pulang dulu ya, Nek. Makasih sudah ajak Nio di sini.” “Iya Sayang. Nanti main lagi ke sini, ya.” “Oke, Nek.” Lalu pelukan Nio beralih ke Cloe. “Cloe, kakak pulang dulu ya. Besok main lagi.” “Iya Kakak Nio.” Setelah berpamitan dengan bibi dan keponakan kecilnya, Rhae serta Nio diantar ke depan oleh Lestari. Padahal sudah dicegah namun bibinya ingin bertemu dengan Gyan. Ia sudah bisa menembak kalau wanita yang sudah dianggap ibunya sendiri menaruh rasa penasaran kepada teman prianya. “Uncle Gyan!” Nio langsung berlari ketika melihat keberadaan pria itu. Raut wajahnya sangat bahagia karena sudah cukup lama tidak bertemu. “Halo Boy!” Gyan membalas pelukan Nio lalu menggedongnya dengan semangat. “Uncle kok di sini? Datang sama Mommya?” Gyan mengangguk. “Iya. Mau jemput dan antar kamu pulang.” “Hore! Uncle Gyan mau main ke rumah, yey!” seru anak itu. “Bi, ini Gyan. Dan Gyan, ini bibiku, neneknya Nio. Dan yang kecil keponakanku.” “Halo selamat malam, saya Gyan.” “Saya Lestari. Makasih sudah mau antar Rhae ya, nak.” “Iya sama-sama.” Sorot mata Lestari kepada keponakannya nampak berbeda. Selain penasaran akan jenis pertemanan Rhae dengan Gyan, ada tatapan bahagia yang nampak. Maklum saja, ini peristiwa yang sangat langka. Kali pertama dikenalkan sosok teman laki-laki oleh Rhae. Setelah selesai basa-basi, akhirnya mobil yang dikemudikan Gyan sudah meluncur ke rumah Rhae. Hanya butuh 10 menit untuk sampai mengingat jarak rumah wanita itu dengan bibinya sangat dekat. Meski perjalanan singkat, tapi mampu membuat Nio tertidur lelap. “Biar saya yang gendong Nio ke kamar,” ucap Gyan. “Maaf merepotkan lagi.” Gyan menggeleng dengan senyum di wajahnya. “Tidak masalah. Daripada dibangunkan, saya lebih kasihan.” Akhirnya Nio dibawa oleh Gyan masuk ke rumah lalu dibaringkan di kamarnya. Nampak wajahnya lelah sehingga tidur dengan pulas. Setelah selesai menidurkan Nio, Gyan langsung keluar dari kamar anak itu. Rhae pun menunggu di ambang pintu. “Sebaiknya saya pergi sekarang karena harus ke Fantaisie lagi.” Rhae mengangguk. “Terima kasih untuk semua kebaikan kamu. Maaf kalau lagi dan lagi merepotkan kamu.” Gyan menggeleng dengan raut wajah semringah. Mendapat perlakukan sedikit lembut, membuat perasaannya jadi senang. Direpotkan pun ia tidak akan keberatan. “Sama-sama. Semoga kejadian tadi tidak terulang lagi. Dan kaki kamu cepat membaik.” “Iya.” “Oh iya, apa saya boleh mita nomor telpon kamu?” tanya Gyan ragu-ragu. Kening Rhae langsung mengkerut karena curiga. “Buat apa?” “Ya karena saya mau kita punya hubungan baik. Tenang, saya tidak akan mengganggu kamu. Tapi kalau misal nanti kamu butuh bantuan, bisa hubungi saya.” “Tidak usah. Saya tidak akan merepotkan kamu lagi,” tolak Rhae tegas. “Bahkan saya mau menjadi teman kamu pun tidak boleh?” tanya Gyan tidak menyerah. “Sekian kali kita bertemu dan terlibat interaksi, kamu masih anggap saya orang asing?” Rhae menghela napas karena mulai lelah berdebat dengan Gyan. Selain itu, ia tidak mau anaknya bangun karena ribut. Rhae pun menyerah, lalu mengangguk dengan terpaksa. “Tapi ada syaratnya.” “Apa?” “Jangan ganggu saya dengan telpon kamu, apalagi untuk urusan tidak penting,” ucap Rhae tegas. Gyan pun mengangguk tanpa perlu berpikir lama. “Tenang saja. Saya ini tahu adab dalam berteman. Kamu tidak akan mendapat gangguan yang tidak penting dari saya.” Rhae pun memberikan kartu nama miliknya kepada Gyan, begitu juga sebaiknya. Setelah itu, Rhae mengantarkan Gyan keluar untuk kembali ke mobilnya. Dan tentu saja, ia tetap waspada, berharap tidak ada tetangga yang melihat mereka. “Saya pergi dulu, ya.” “Iya. Hati-hati.” Wajah Gyan benar-benar berbinar karena apa yang diingikan bisa didapatkan. Ditambah sikap Rhae yang sedikit hangat, membuatnya merasa mulai diterima. “Sampai jumpa lain waktu, Rhae,” ucap Gyan sebelum akhirnya berlalu dari pandangan Rhae. Wanita itu kembali ke rumahnya. Duduk di sofa ruang tamu sambil menatap kartu nama milik Gyan. “Kalau sudah begini, wajar kan saya berpikir kamu punya niat terselubung? Saya Cuma wanita biasa, Gyan. Tolong jangan menaruh rasa penasaran kepada saya,” gumamnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD