14. DATANG SEBAGAI PENYELAMAT

1206 Words
“Ya ampun, kok jadi begini, ya? Masih sakit nggak kalau jalan?” Senara menatap sedih pergelangan kaki Rhae yang sedikit bengkak karena kejadian kemarin. Niatnya menyusul Rhae ke rumah sakit, tapi dilarang karena sudah dalam perjalanan pulang. Jadilah baru hari ini melihat langsung kondisi Rhae. “Sedikit nyeri tapi nggak masalah,” jawab Rhae. “Hari siall memang tidak pernah ada di kalender. Siapa sangka, kakiku berakhir seperti ini.” “Kamu harus bilang terima kasih sama Mas Gyan. Dia berbaik hati nolong kamu. Kalau nggak ditahan sama dia, jatuhnya pasti lebih parah. Dan yang paling menyebalkan, rasa malunya itu.” “Kamu suka ya sama dia? Dari kemarin muji kebaikannya terus,” cibir Rhae. Senara berdesis. “Bukan suka tapi lagi buka mata kamu soal orang baik yang diabaikan sama kamu.” “Bukan mengabaikan tapi menjaga jarak karena aku nggak nyaman. Lagi pula nggak ada alasan untuk buka mata soal dia. Jelas?” “Terserah, deh. Ngomong sama kamu memang buat hati capek.” “Loh, kok ngambek?” goda Rhae. Wanita berambut panjang bergelombang dengan kaca mata minus menggeleng tegas. “Aku nggak ngambek, Cuma gemas sama kamu yang kepala batu. Tapi syukurlah kaki kamu nggak terlalu parah, jadi masih bisa kerja. Ingat, kamu harus kontrol diri, jangan terlalu banyak gerak.” “Siap Bos!” Rhae kembali dengan pekerjaannya. Sesekai ia minta rekannya yang lain untuk membantu jika harus pergi ke ruangan lain. Untung saja mereka pengertian dan mau memahami kesulitan Rhae saat ini. “Rhae, kaki kamu bagaimana?” Keiko muncul tanpa peringatan sehingga mengagetkan Rhae yang fokus pada tablet pc di tangannya. “Tidak parah, Madam. Saya masih bisa jalan tapi dokter minta agar banyak istirahat.” “Oh begitu.” Keiko mengangguk dengan kening mengkerut. “Kalau begitu saya ajak Senara saja. Kasihan kalau kamu ikut saya ketemu klien.” “Ketemu klien? Mendadak ya, Madam?” Keiko mengangguk. “Dia teman lama saya. Tapi menyebalkannya tidak mau datang ke sini karena liburannya singkat. Jadi mau tidak mau kita harus ke tempat yang dia minta.” “Saya bisa menemani, Madam. Saya masih sanggup jalan, jadi Madam tenang saja.” “Kamu yakin?” Rhae mengangguk penuh percaya diri. “Sangat yakin.” “Oke, baiklah. Kalau kamu memang bisa, nanti sore kita ke lokasi.” “Baik Madam,” jawab Rhae semangat. Setelah Keiko pergi, Senara langsung mendekati Rhae. “Makasih sudah menyelamatkanku. Aku lagi malas keluar karena deadline belum selesai.” Rhae terkekeh. “Bukan aku yang menyelamatkan kamu, tapi aku yang nggak mau kasih tanggung jawabku ke orang lain.” “Ya amapun itu, thanks,” ucapnya. “Eh, tapi meeting-nya di mana, sih?” “Nggak tahu, lupa nanya.” “Ya sudah, nggak penting juga, kan.” *** Sepanjang perjalanan menuju lokasi pertemuan dengan klien, suasana hati Rhae sudah tidak tenang. Keiko memberitahu bahwa Fantaisie jadi tempat yang akan mereka tuju. Dalam hati wanita itu terus berdoa agar tidak bertemu dengan Gyan. Jika pun mereka bertemu, berharap sikapnya cuek dan tidak mengganggu. Intinya, Rhae tidak ingin bertemu Gyan meski pria itu pemilik beach club. “Teman kamu tidak kelihatan,” ucap Keiko ketika mereka sedang berjalan menuju tempat di mana teman sekaligus kliennya menunggu. “Saya belum bilang terima kasih karena kemarin mau menolong kamu,” sambungnya. “Tidak usah, Madam. Saya sudah bilang begitu, jadi Madam tidak punya kewajiban melakukannya karena saya.” Keiko mengangguk. “Tapi ada hal buat saya heran. Kenapa ya, kalian berdua sering ketemu di situasi tidak terduga. Jangan-jangan kalian berjodoh.” Langkah kaki Rhae yang memang pelan, nyaris berhenti karena ucapan Keiko yang tidak terduga. “Madam ada-ada saja.” “Saya serius, Rhae. Sepertinya kalian memang punya benang merah yang saling terhubung. Kalau iya, harusnya pertanda baik, kan? Itu artinya Tuhan sudah mengirimkan jodoh buat kamu sekaligus ayah untuk Nio,” jelas Keiko. “Entahlah, Madam. Saya masih takut membuka hati. Banyak kurang di diri saya yang nantinya takut melukai hati pasangan saya.” “Dicoba dulu. Kamu masih sangat muda dan tidak ada kata terlambat atau pun salah dalam mencoba memulai sebuah hubungan. Berteman saja dulu, biar waktu yang menjawab bagaimana kisah kalian,” ucap wanita itu dengan senyum mengiringi. Rhae mengangguk pelan. Jelas tidak bisa bereaksi agresif seperti saat bersama Senara. Ia sangat menhargai perhatian bosnya. “Terima kasih atas perhatiannya, Madam.” Pertemuan Rhae bersama Keiko dengan klien yang ternyata orang Jepang berjalan dengan sangat lancar. Meski terkendala bahasa, Rhae bisa mengatasinya karena bantuan Keiko. Tidak itu saja, Rhae sangat lega karena tidak menemukan keberadaan Gyan di sana. “Saya tidak yakin biarin kamu pulang sendiri, Rhae. Dalam kondisi kaki sakit, saya agak khawatir,” ucap Keiko ketika Rhae akan pulang. Rhae menyentuh tangan bosnya agar lebih tenang. “Madam, tidak masalah saya pulang sendiri. Saya naik taksi jadi sudah pasti diantar sampai rumah. Madam di sini saja dengan teman-temannya, kalian sudah lama tidak ketemu.” “Kamu yakin?” “Sangat yakin.” Keiko mengangguk. “Baiklah. Tapi kamu harus kabari saya kalau sudah sampai di rumah. Oke?” “Baik Madam,” jawab Rhae. Rhae pun mulai berjalan pelan meninggalkan Keiko. Ia sama sekali tidak marah harus pulang sendiri. Jalan dengan kaki yang masih pincang bukan sebuah hambatan. Ia justru senang bisa memberikan waktu kepada bosnya agar bisa bersama dengan teman lamanya. “Baiklah, mari kita cari taksi,” gumam Rhae. Pandangan matanya melihat ke sekitar. Kondisi sudah gelap tapi tentu lampu jalanan menyala terang. Beberapa taksi konvensional terlihat namun pergi dengan penumpang begitu Rhae datang. “Hai, lagi nunggu siapa?” Suara dari belakang membuat Rhae menoleh. Ada tiga pria dewasa tengah mendekatinya dengan senyum yang membuat Rhae tidak nyaman. Ia pun tetap waspada dengan cara mengdekap tas yang dibawa. Selama tinggal di Bali, sekalipun belum pernah mendapat tindakan jahat dari orang lain. Tetapi kali ini ia tidak boleh lengah. “Kita bukan pencopet, jadi nggak akan ambil tas kamu.” “Cuma mau kenalan. Boleh tidak?” Rhae berdeham lalu malangkah pelan agar bisa menjaga jarak. “Maaf. Saya lagi buru-buru.” “Kalau buru-buru kenapa masih di sini?” “Saya lagi nunggu teman ambil mobil,” jawab Rhae berbohong. Ia kembali melangkah dengan pincang. “Tolong jangan ganggu saya.” “Kaki kamu sakit, ya? Gimana kalau kami antar pulang.” “Jangan macam-macam. Saya bisa teriak dan kalian mungkin akan diamuk sama orang di sini.” “Kita berniat baik, masa kamu tega teriaki kami,” ucap salah satu pria sambil tersenyum. Rhae tidak menanggapi lagi dan berusaha sibuk dengan ponselnya sambil tetap waspada. Bulu kuduknya merinding saat salah satu pria menepuk pundaknya. “Teman kamu belum datang? Jangan bilang kamu bohong, ya.” “Jangan sentuh saya!” “Sayang! Maaf kalau saya agak lama.” Teriakan keras mengalihkan perhatian Rhae bahkan tiga pria asing itu. Gyan berjalan buru-buru dengan sorot mata yang cemas namun bibirnya tetap menyunggingkan senyum. Gyan mendekati Rhae, lalu dengan berani merangkul pundak wanita itu. “Kita pulang sekarang, Sayang?” tanya Gyan dengan senyum penuh. Rhae yang paham maksud Gyan, menganggu pelan meski masih dalam keadan terkejut. Pria ini datang di waktu yang tepat sebagai penyelamatnya. Mungkin benar kata Keiko, takdir sedang mendekatkan mereka. “I-iya, ayo kita pulang.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD