Rhae langsung menarik diri dari dekapan Gyan begitu sadar pria itu yang menolongnya. Meski niat pria itu baik, tapi Rhae merasa tidak nyaman dalam keadaan sedekat ini apalagi di tempat ramai. Ia bisa melihat dari sudut matanya beberapa orang memperhatikan mereka. Sehingga tanpa pikir panjang, ia mencoba menjauh.
Sayang, Rhae melupakan sesuatu. Ia mengaduh karena ternyata kaki yang tadi menyebabkan kehilangan keseimbangan terasa nyeri. Rhae sampai meringis menahan rasa sakitnya.
“Hati-hati, Rhae. Sepertinya kaki kamu terkilir,” ucap
Tanpa sadar, tangan Rhae memegang lengan Gyan untuk bertumpu. “Entahlah tapi rasanya sakit.”
“Saya bantu kamu duduk biar tidak terlalu sakit. Tapi buka dulu sepatunya biar tidak makin sakit.”
Untuk pertama kali seorang Rhae tidak menolak bantuan Gyan tentang dirinya. Wanita itu membuka pelan sepatu dibantu oleh Gyan. Setelah itu, berjalan pelan menuju kursi terdekat. Gyan sengaja membawa Rhae sedikit lebih ke tepi demi menjauh dari keramaian.
“Hati-hati,” ucap Gyan saat membantu Rhae duduk.
Rhae mencoba menggerakkan kakinya yang masih terasa nyeri. Ia tidak menyangka kalau kecerobohannya justru membuatnya seperti ini.
“Coba saya lihat,” ucap Gyan yang tengah berlutut di depan Rhae. Meraba pergelangan kaki wanita itu untuk memastikan keadaan. “Kalau memang terkilir, sebaiknya segara dibawa ke dokter.”
“Tidak usah. Mungkin Cuma kaget jadi uratnya sedikit sakit.”
Gyan masih mendongak dengan tatapan khawatir. “Saya bisa antar kamu ke rumah sakit.”
“Kalau pun saya ke rumah sakit, saya bisa lakukan sendiri,” jawabnya menolak usul Gyan.
“Saya Cuma berniat membantu. Apa kamu benar-benar alergi sama saya?”
Ditanya demikian, timbul rasa bersalah di benak Rhae. Jelas ia tidak bermaksud begitu, tapi hanya berusaha menjauh dan menganggap tidak mengenal Gyan. Namun, satu sisi pria ini yang membantunya lolos dari rasa malu bahkan cedera lebih parah dari ini.
“Rhae, kamu kenapa?” tanya Senara yang datang dengan wajah panik.
“Tadi hampir jatuh karena ramai, jadi kakiku agak sakit.”
“Ya ampun!” Senara semakin khawatir. Lalu pandangan matanya teralihkan pada sosok Gyan yang masih berlutut. “Oh, Anda?”
Gyan menoleh dan mendongak. “Hai, ketemu lagi.”
“Kok bisa ada di sini?” tanya Senara.
“Saya datang sebagai tamu undangan. Kebetulan saya kenal dengan kedua mempelai,” jawabnya.
Senara mengangguk. “Oh begitu.”
“Senara, bantu aku berdiri,” pinta Rhae.
“Kamu yakin mau coba? Nanti sakit gimana?”
Rhae menggeleng. “Kita pulang sekarang, ya. Kamu mau kan?”
“Mau tapi kita ke rumah sakit dulu biar tahu kondisi kaki kamu.”
Gyan beranjak dari posisinya. Tanpa meminta izin bahkan persetujuan dari Rhae, Gyan membantu wanita itu berdiri. Tentu saja sikapnya mendapatkan reaksi terkejut dan menghindar tapi ternyata pria itu teguh akan pendirian.
“Saya bantu kamu ke mobil. Saya tidak tega lihat teman kamu dengan badannya yang mungil bawa kamu dalam kondisi seperti ini.”
“Tapi …”
“Terima kasih, Mas. Saya juga pasti nggak akan kuat bawa Rhae, jadi memang pas Mas yang bantu,” ucap Senara tanpa mau menatap Rhae yang tengah mendelik.
“Ayo Rhae, kamu harus segera periksa kondisi kaki kalau tidak mau terjadi sesuatu.”
Pada akhirnya Rhae pasrah meski hatinya tidak suka. Ia hanya diam ketika berjalan dipapah oleh Gyan menuju parkiran. Dalam hatinya sedang menggerutu karena niatnya datang dengan suasana bahagia, justru berakhir seperti ini.
“Wah! Sepertinya mobilku susah keluar,” ucap Senara saat melihat ada mobil yang menghalangi jalan. “Ini gimana, sih? Kok bisa parkir model begini?” gerutunya kesal.
“Jadi kita nggak bisa pulang?” tanya Rhae cemas.
“Bisa tapi mungkin agak lama, Rha.”
“Begini saja, sebaiknya kamu ikut dengan saya, Rhae. Kita ke klinik atau rumah sakit terdekat, setelah semuanya jelas, saya antar kamu pulang ke rumah. Gimana?” tanya Gyan memberi tawaran.
“Tidak usah. Saya bisa pesan taksi online. Terima kasih tawarannya,” ucap Rhae dingin.
Gyan terdiam, menatap Rhae lekat. “Apa bisa sekali saja kamu menekan ego demi kebaikan diri sendiri? Kaki kamu lagi sakit, kalau naik taksi sendirian, saya dan Senara tidak akan tega. Apa salahnya menerima bantuan saya? Apa harga diri kamu akan benar-benar jatuh?”
Suasana menjadi tegang karena perkataan Gyan. Senara pun merasa bingung tapi satu sisi setuju dengan apa yang pria itu katakan.
“Tolong Rhae, ini demi kebaikan kamu. Kalau misal mobilku sudah bisa keluar, aku susul kamu ke rumah sakit. Jangan mau dikendalikan sama ego yang nantinya merugikan kamu,” ucap Senara.
Merasa tidak ada yang membela, Rhae pun diam sambil menahan rasa sakit di pergelangan kakinya. Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya wanita itu mengangguk.
“Baiklah,” ucapnya sebagai jawaban.
Nampak senyum lega di wajah Gyan. “Baiklah, tunggu sebentar. Saya ambil mobil sebentar.”
Senara mencoba membantu Rhae berpegangan agar kakinya tidak semakin sakit. “Percaya sama dia, Rhae. Mas Gyan Cuma berniat bantu kamu sebagai sesama manusia. Kalau dia orang jahat dan tidak tulus, mana mau bantu kamu setelah kamu minta dia menjauh dengan kejam.”
“Aku …aku Cuma takut.”
“Oka, aku paham maksud kamu. Tapi ini demi kesehatan kaki kamu. Pikirkan kalau nggak ada dia, mungkin kamu jatuh dan sakitnya lebih parah dari ini.”
Akhirnya mobil yang dikemudikan Gyan keluar dari area parkir hotel. Senara masih berusaha menghubungi pihak keamanan hotel agar membantu mengurus mobilnya. Dan saat ini, keadaan di mobil begitu hening sebab keduanya tidak ada yang mau bicara lebih dulu.
Suara notifikasi pesan dari ponsel milik Rhae memecah kesunyian. Wanita itu segera meraih benda pipih yang disimpan di dalam clutch berwarna hitam. Dilihatnya pesan masuk yang ternyata dari anaknya.
“Nio,” gumam Rhae tanpa sadar.
“Nio kenapa?” tanya Gyan mendadak cemas.
Rhae sadar lalu menoleh ke samping. “Tidak kenapa-kenapa. Dia Cuma nanya kapan pulang.”
“Oh,” gumam Gyan lega. “Kamu mau bilang kalau kita ke rumah sakit?”
“Tidak. Saya tidak mau buat dia khawatir.”
“Sebaiknya memang jangan. Nanti saja kamu kasih tahu kalau sudah di rumah.”
“Iya,” jawab Rhae seadanya.
Suasana kembali hening hingga mereka sampai di sebuah rumah sakit yang tidak jauh dari hotel. Gyan segera meminta kursi roda untuk Rhae. Tidak mungkin membiarkan wanita itu berjalan dalam keadaan kaki sakit.
“Tenang saja, semuanya pasti baik-baik saja,” ucap Gyan saat Rhae akan diperiksa.
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Rhae selesai mendapatkan pemeriksaan pada kakinya. Berharap semuanya baik-baik saja.
“Bagaimana kondisi kakinya, Dok?” tanya Gyan pada dokter yang bertugas menangani Rhae.
“Kakinya terkilir tapi tidak parah. Perkiraan 1 minggu kemungkinan sudah sembuh.”
Baik Rhae dan Gyan sama-sama menunjukkan kelegaan mendengar jawaban dari dokter.
“Nanti saya resepkan obat pereda nyeri. Sementara waktu, tolong jangan terlalu banyak bergerak atau berkegiatan agar cederanya tidak semakin parah.”
“Baik Dok,” ucap Rhae.
Begitu urusan selesai, kini tugas Gyan adalah mengantarkan Rhae pulang. Sama seperti tadi, suasana hening dan canggung. Bahkan Rhae memilih melemparkan pandangan keluar jendela demi menghindari Gyan.
“Ingat pesan dokter, kamu harus banyak istirahat kalau memang mau cepat sembuh,” ucap Gyan pada akhirnya.
Rhae mengangguk tanpa melihat Gyan. “Iya, saya tidak lupa soal itu.”
“Kalau nanti sudah sampai, apa saya boleh bantu kamu masuk ke rumah?”
“Sebaiknya jangan. Saya masih bisa jalan sendiri,” jawab Rhae. Wanita itu menoleh ke samping. “Saya tidak mau Nio melihat kamu. Selama ini dia sudah belajar untuk lupa dengan kamu.”
Seperti biasa, Gyan tersenyum meski tipis. “Anak kecil memang mudah lupa. Iya kan?”
“Iya.”
“Baiklah, saya tidak akan melewati batas kalau itu yang terbaik untuk Nio.”
Benar saja, sesampainya di depan rumah, Gyan tidak turun bahkan untuk membantu Rhae. Pria itu benar-benar teguh dengan ucapannya. Tidak mau lagi mengabaikan keinginan Rhae soal Nio.
“Terima kasih atas bantuannya. Maaf kalau merepotkan,” ucap Rhae.
Gyan mengangguk dan tersenyum. “Sama-sama. Semoga kaki kamu cepat sembuh.”
Rhae mengangguk. “Iya. Saya harap begitu.”
Keduanya berpisah namun isi kepala ribut akan sesuatu. Rhae berjalan dengan kaki pincang tanpa mau menoleh ke belakang. Menahan sakit hanya karena gengsi.
“Aku yakin kamu pasti muak sama sikapku. Tapi ini pilihanku, jadi terserah kamu, mau suka atau tidak,” batin Rhae.