“Mommy cantik, deh!”
Anak laki-laki Rhae tengah mengintipnya sps yang sedang bersolak di depan kaca meja rias. Hari ini ia akan menghadiri undangan resepsi pernikahan bersama rekan kerjanya yang lain. Mereka akan bertemu di lokasi yaitu di sebuah hotel terkenal di kawasan Seminyak. Dan Rhae akan dijemput oleh Senara untuk berangkat bersama.
“Aku suka lihat Mommy pakai baju ini.”
Rhae menarik tangan putranya yang sedang berdiri di sebalah agar duduk di pangkuan. “Terima kasih atas pujiannya, Sayang. Mommy jadi percaya diri pakai baju ini. Soalnya sudah lama di lemari, takut kalau sudah nggak cocok.”
Nio mengangkat dua jempol tangan untuk Rhae. “Mommy sangat cantik.”
“Kamu juga ganteng,” balas Rhae sambil mencium pipi Nio. “Jangan nakal di rumah sama bibi, ya. Kalau ada apa-apa, telpon Mommy. Diusahakan Mommy cepat pulang.”
“Iya Mommy.”
Suara klakson mobil di luar membuat Nio beranjak dari pangkuan ibunya.
“Itu pasti Onty Senara.”
“Iya benar. Kasih tahu onty, sebentar lagi Mommy selesai siap-siap.”
“Oke Mom.”
Rhae segera menyelesaikan riasan wajahnya yang tidak terlalu tebal. Ia terbiasa dengan make up minimalis tapi tidak meninggalkan kesan biasa saja. Bagaimanapun, datang ke sebuah pesta harus tetap memantaskan diri demi menghargai yang punya acara.
Setelah selesai bersiap-siap, kini waktunya Rhae pergi dengan Senara. Meninggalkan Nio bersama asisten rumah tangga yang juga merangkap sebagai pengasuh. Untung anaknya tidak merengek meminta ikut. Meski harus Rhae janjikan untuk membeli pizza kesukaan Nio.
“Cantik banget, Bun. Pasti mau sekalian cuci mata, ya?” goda Senara.
Rhae berdecis pelan sambil memasang sabuk pengaman. “Itu kamu, bukan aku, Senara. Tapi makasih loh sudah puji aku. Ternyata Nio benar, penampilanku memang cantik.”
“Oh iya? Nio puji kamu?”
“Iya. Anakku sangat romantis, kan?”
“Iya. Pasti mirip daddy-nya,” celetuk Senara yang akhirnya ia sesali.
Seketika suasana di mobil menjadi canggung karena kesalahan Senara. Wanita itu menoleh singkat ke sebelah, melihat bagaimana reaksi temannya itu.
“Rhae, mulutku benar-benar kurang ajar. Tolong jangan marah, aku nggak ada maksud buat mengungkit luka lama kamu,” ucap Senara dengan bergetar.
Rhae tersenyum santai, seakan tidak masalah dengan hal itu. “Sudahlah, jangan terlalu berlebihan. Aku baik-baik saja.”
“Ih, aku serius. Sumpah, aku sama sekali nggak berniat merusak suasana hati kamu.”
“Senara, aku bilang nggak apa-apa, artinya aku baik-baik saja. Masa lalu akan selalu mendampingi langkah kakiku. Jadi harusnya aku yang terbiasa, bukan orang lain yang harus mengerti keadaanku,” jelasnya.
Senara menyentuh tangan Rhae singkat. “Oke, jangan dibahas lagi. Hari ini harus jadi hari yang menyenangkan. Makan makanan enak sekaligus cuci mata, siapa tahu ada cowok ganteng yang bisa diajak kenalan.”
Rhae berdecak tidak percaya. “Ya Tuhan, segera kirim jodoh untuk temanku ini. Rasanya kasihan sekali setiap hari berburu laki-laki.”
“Amin!”
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 20 menit dengan ditemani sedikit kemacetan, akhirnya Rhae dan Senara sampai di lokasi. Keiko dan rekan kerjanya yang lain sudah menunggu di sana. Mereka pun segera masuk ke ballroom hotel untuk menyapa mempelai pengantin.
“Seragamnya cantik banget setelah dipakai dengan makeup dan hairdo,” guman Senara setelah selesai berfoto dengan pengantin.
Rhae mengangguk. “Tadi juga orang tua Dayu bilang puas dengan hasil kerja kita. Kalau begini terus, aku makin semangat kerja meski mataku mulai sakit.”
“Jangan tumbang dulu. Kamu lupa masih punya deadline seragam keluarga Romedjo?”
Diingatkan soal itu Rhae langsung menghela napas tidak semangat. “Mana mungkin aku lupa. Minggu ini harus sudah masuk ke tim produksi. Madam nggak mau tawar menawar karena harus cepat tapi hasilnya tidak mengecewakan.”
“Ya sudah, semangat saja. Siapa tahu bisa jadi langganan keluarga kaya itu.”
“Tapi aku malas kalau berurusan sama anaknya yang paling tua,” keluh Rhae.
Senara berdecak. “Sebut saja namanya Gyanendra. Susah banget sih, sebegitu bencinya, ya?”
“Aku nggak benci tapi nggak suka.”
“Sama saja,” sembuar Senara.
Rhae dan rekannya yang lain duduk di meja sambil menikmati makanan yang dihidangkan. Ia nampak menikmati pesta resepsinya karena tamu yang datang cukup teratur. Meski ramai tetap terasanya nyaman.
“Toilet di mana, ya?” gumam Rhae kepada Senara.
“Tadi aku sempat lihat di arah kanan pintu masuk. Ada tulisannya, coba kamu ke sana.”
“Oh, oke. Aku pergi dulu, ya. Kamu jangan ke mana-mana, nanti aku bingung carinya.
“Iya tenang saja. Kalau bingung, masih ada hape, Rha.”
Rhae berusaha berjalan hati-hati di tengah lalu lalang para tamu undangan. Mengenakan dress brokat berwarna navy dengan heels 5 cm, Rhae tetap menjaga langkah agar tetap seimbang. Di saat mencari lokasi toilet yang ditunjukkan oleh Senara, tiba-tiba saja matanya menangkap bayangan seseorang yang ia kenal. Kedua mata Rhae menyipit, memperhatikan sosok itu.
“Mataku pasti salah. Mana mungkin aku ketemu dia di tempat ini. Dunia memang sempit tapi takdir nggak mungkin ngajak aku bercanda seperti ini,” gumam Rhae.
Tiba-tiba tubuhnya ditabrak oleh salah satu tamu hingga lamunan Rhae buyar.
“Sorry!”
Rhae mengangguk. “Tidak apa-apa.”
Rhae kembali diingatkan dengan kentung kemihnya yang terasa penuh. Bayangan Gyan pun menghilang, sesuai dengan dugaannya. Ia pun kembali melanjutkan langkah kaki mencari toilet. Untung saja arah yang Senara tunjukkan benar sehingga Rhae bisa segera buang air kecil.
“Leganya,” gumam Rhae setelah keluar dari toilet.
Sebelum meninggalkan tempat itu, ia merapikan lipstik yang mulai memudar karena digunakan untuk makan dan minum.
“Dress-nya cantik sekali, Mbak.”
Rhae sedikit kaget diajak bicara oleh wanita di tempat itu. Ia pun tersenyum berusaha tetap ramah. “Ini hasil desain saya. Yang jahit juga saya.”
“Oh iya? Mbak fashion desainer?”
“Iya. Saya bekerja di salah satu butik Mon Ame dan ini kartu nama saya. Silakan datang kalau berminat.”
“Oke, thanks.”
Setelah percakapan singkat, Rhae keluar dari toilet untuk kembali bergabung dengan teman-temannya yang lain. Suasana sedikit riuh karena beberapa tamu undangan maju ke arah pelaminan. Rhae tidak tahu apa yang terjadi namun menduga akan ada acara pelemparan buket bunga.
“Ya ampun, gimana lewatnya?” gumam Rhae yang kesulitan berjalan di antara kerumunan. “Jangan-jangan Senara juga ikut ke depan. Dia paling semangat soal ini.”
Saat Rhae berusaha melewati beberapa orang, tubuh mungilnya tiba-tiba limbung karena ditabrak oleh beberapa tamu undangan yang lain. Kaki Rhae tidak bagus saat berpijak sehingga heels-nya goyang dan tubuhnya hilang keseimbangan.
Dalam kondisi ini, Rhae sudah pasrah akan apa yang terjadi. Kalau pun jatuh di tengah keramaian, ia sudah siap menahan malu. Namun yang dipikirkan adalah sakit yang ditimbulkan nanti.
“Awas!”
Rhae terkesiap dan langsung membuka mata karena tidak jadi tajuh ke lantai. Tubuhnya ditahan oleh tangan besar yang sangat mengejutkan. Bagaimana tidak, saat ini ia berada dalam dekapan Gyan yang merupakan penolongnya. Bisa dipastikan wajahnya saat ini sangat merah karena Rhae sendiri bisa merasakan jantung yang berdetak tidak normal akibat berada dalam posisi begitu dekat dengan Gyan. Ternyata takdir memang sedang mengajaknya bercanda.
“Kamu tidak apa-apa, Rhae?”