11. ANTARA RHAE DAN CANTIKA

1468 Words
“Mas Gyan!” Gyan meletakkan ponselnya begitu mendengar Arella memanggil dari dalam rumah. Tangannya yang satu sibuk memegang rokok, sambil mengebuskan asapnya ke langit. Kebiasaan tidak sehat yang sulit pria itu tinggalkan. Omelan kedua orang tuanya sudah tidak mempan. Apalagi adik-adiknya, sama sekali tidak digubris oleh Gyan. “Kenapa?” Arella duduk di samping Gyan dengan tatapan penasaran. Ia pun memastikan keadaan aman, tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka nanti. “Bisa matikan dulu rokoknya? Aku sesak sama asapnya, Mas!” Gyan menghela napas dengan raut wajah malas. Tapi tetap saja ia menuruti permintaan adiknya karena sadar kebiasannya bisa berdampak buruk kepada orang lain. “Kamu kenapa belum balik ke kantor? Bukannya Papa dan Ragnala sudah pergi?” tanya Gyan. “Aku ada janji sama klein tapi masih dua jam lagi, jadi malas kalau harus balik ke kantor,” jawabnya. “Aku mau nanya soal Rhae yang tadi.” “Kamu mau nanya apa? Mukanya serius begitu.” “Mommy-nya Nio ternyata cantik juga, ya.” “Iya. Apalagi matanya cantik benar-benar indah.” Seketika wajah Arella menunjukkan rasa terkejut. “Mas nyadar nggak, baru kali ini aku dengar Mas Gyan muji perempuan? Gyan menoleh bingung. “Oh iya? Terus kenapa, ada masalah?” “Enggak tapi aneh. Sepertinya Mas Gyan menaruh perhatian lebih buat Rhae, bukan Cuma Nio saja.” Mendengar itu Gyan terkekeh. “Sebenarnya maksud kamu apa?” “Mas suka sama Rhae, ya?” Kening Gyan mengernyit heran. “Kamu ngomong apa, sih? Jangan berpikir aneh, Nala. Kamu lupa gimana sikap Rhae ke aku waktu anaknya masuk IGD. Apalagi waktu datang ke rumahnya, dia minta aku buat tanggung jawab dengan cara menjauh dari hidup mereka. Kalau kamu pikir aku suka Rhae, sepertinya nggak mungkin,” jelas Gyan. “Iya aku ingat soal cerita itu. Tapi satu hal yang aku bisa nilai, Rhae wanita hebat. Sebagai ibu tunggal, bisa membesarkan anaknya dengan baik sambil bekerja. Jarang ada perempuan seperti itu, Mas.” Gyan berdeham dengan wajah menengadah. Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat betapa biru langit hari ini. “Di dalam lingkungan pertemananku, memang jarang bahkan nggak pernah ketemu sosok seperti Rhae, mungkin itu yang buat aku sulit untuk mengabaikan dia, terutama anaknya.” “Aku jadi pingin ketemu Nio. Penasaran seperti apa sosok anak kecil yang bisa buat Mas Gyan galau,” ucap Arella sambil terkekeh pelan. “Jangan, mommy-nya galak. Nanti kamu kena mental seperti aku.” “Ya enggaklah. Rhae pasti baik sama aku. Kalau sama Mas Gyan sih wajar, soalnya dari muka sudah kelihatan menyebalkan. Bikin jengkel karena terlalu tengil.” Dikatai demikian, Gyan mendelik kepada adiknya. “Jangan merengek minta table di Fantaisie,” ancam pria itu. “Ih, jangan begitu. Aku sudah berbaik hati jaga lisan waktu di hadapan mama dan papa. Apa jadinya kalau aku keceplosan soal Nio masuk IGD karena kamu, Mas?” “Kalau sampai itu terjadi, selamanya kamu nggak akan dapat uang jajan dariku,” balasnya. “Mas!” Selesai berbincang dengan Arella, saat ini Gyan pergi istirahat di kamarnya. Suasana di rumah juga sepi, hanya ada ibunya yang juga ada kesibukan sendiri. Sementara Arella sudah pergi untuk meeting. Gyan mengarahkan pandangan matanya ke langit-langit kamar. Bayangan Rhae muncul kembali padahal sudah berusaha untuk dialihkan. Namun mata indah itu terus mengusiknya, membuat jantungnya berdebar. Bahkan aroma tubuh wanita itu masing melekat, yang semakin membuat Gyan merasa aneh pada dirinya sendiri. “Seumur-umur, baru kali ini aku ingat aroma parfum orang, terutama perempuan. Sebenarnya ada apa denganku?” gumamnya. *** Suara hentakan live music dari dj yang ada di lantai atas, membuat suasana Fantaisie semakin meriah. Pengunjung juga tidak henti-hentinya meramaikan beach club milik Gyan. Selain menikmati hiburan, mereka juga ingin melihat pemandangan matahari terbenam yang tidak pernah gagal di langit Bali. Gyan duduk santai ditemani rokok dan minuman seorang diri. Mengawasi para pegawainya yang sedang bekerja. Bukan ingin membuat mereka tertekan, tapi Gyan memang lebih suka terjun langsung dan mengontrol mereka. Jika ada yang tidak sesuai, agar bisa segera diperbaiki. “Mas Gyan!” Tepukan dari belakang mengagetkan Gyan. Ia mendapati saudara kembarnya datang tanpa pemberitahuan. “Kalian kenapa di sini?” “Pertanyaan macam apa itu, Mas? Memang ada larangan kalau kami nggak boleh datang ke sini?” protes Ragnala. Arella berdecis dengan mata menyipit. “Tenang saja, kami akan bayar. Nggak minta gratisan sama Mas Gyan.” Gyan terkekeh pelan. “Bayar sendiri tapi uangnya dari siapa?” “Ya dari hasil kerja kami,” sahut si kembar bersamaan. “Tidak perlu ditanyakan lagi soal status kembar kalian. Kompak sekali mengintimidasi kakaknya,” gumam Gyan lalu kembali menikmati rokoknya. “Astaga, hampir lupa,” seru Arella hingga membuat kakaknya menoleh. “Mas, kami bawa teman ke sini. Namanya Cantika.” Gyan menatap Cantika lalu tersenyum dan mengulurkan tangan. “Hai Cantika. Saya Gyan, kakak si kembar.” “Hai Mas, aku Cantika,” balasnya malu. Tatapan mata Gyan tidak langsung berpaling. Sosok Cantika sesuai dengan namanya yaitu cantik. Sikap malu-malu membuat wanita itu nampak manis dan lucu. Ditambah postur tubuhnya yang tinggi dan agak berisi. Banyak pria yang menyukai penampilan seperti Cantika. Dan sepertinya Gyan juga seperti itu. “Sudah Mas, jangan dilihatin begitu. Yang ada Cantika takut sama kamu,” sindir Ragnala. Seketika Gyan terkekeh pelan. “Kalian ke sini mau menikmati waktu, kan? Biar aku coba carikan table karena cukup ramai.” “Enggak usah, Mas. Kita sudah booking tanpa bantuan Mas Gyan,” sahut Arella sombong. “Oh iya? Kalian sudah mandiri ternyata.” “Mas, titip Cantika dulu, ya. Aku mau ke toilet sama Arella,” ucap Ragnala. “Can, tunggu sebentar, ya. Kamu tahu aku kebelet dari tadi.” Cantika mengangguk. “Oke, santai saja.” Gyan menarik kursi untuk Cantika. “Ayo duduk dulu.” “Terima kasih, Mas.” Suasana sempat canggung namun Gyan tetap berusaha santai sambil menikmati musik. Ditinggal bersama Cantika yang baru dikenal, membuatnya bingung harus memulai pembicaraan dari mana. “Ternyata benar apa yang Nala dan Arella bilang tentang Mas Gyan,” ucap Cantika tiba-tiba. Gyan menoleh, menatap Cantika. “Mereka cerita apa? Jangan-jangan mereka buka aib kakaknya.” Cantika mengulum senyum. “Bukan, Mas. Justru mereka cerita hal yang baik. Aku suka lihat kedekatan kalian bertiga. Pasti menyenangkan sekali punya kakak laki-laki.” “Kamu sendiri berapa bersaudara?” “Sendiri. Aku anak tunggal, Mas. Jadi agak iri lihat Nala dan Arella punya kakak yang sayang sama mereka.” Gyan mengangguk, lalu dengan santai meneguk minuman dalam botol kaca. “Tapi mereka suka mengeluh. Punya kakak yang suka melarang ini dan itu. Dan satu lagi, saya suka kena palak sama mereka.” “Tapi justru itu yang buat kalian semakin dekat. Iya kan Mas?” “Kamu benar. Tapi jadi anak tunggal juga bukan hal yang buruk. Kamu pasti sudah mesakan bagaimana sisi positifnya.” “Benar, Mas. Aku selalu berusaha menikmatinya.” “Yang paling penting, tidak ada yang melarang kamu punya pacar atau teman dekat. Pasti lebih bebas, kan?” Seketika Cantika tersenyum malu. “Iya Mas. Tapi kalau dilarang pun percuma karena aku lagi single.” “Oh begitu,” gumam Gyan. “Tenang saja, nikmati masa muda walaupun tanpa pasangan. Saya saja masih single sampai sekarang, tapi tetap enjoy.” “Kenapa masih single, Mas?” Pertanyaan Cantika sedikit mengagetkan Gyan mengingat mereka baru pertama bertemu. Dan pertanyaan itu terasa cukup personal. Namun sebagai laki-laki, ia tidak akan menunjukkan sikap yang terlalu sensitif. Gyan punya pikiran terbuka dan orang yang bersikap to do point baginya tidak masalah. “Kenapa, ya? Mungkin saya belum masuk kriteria para wanita.” “Mas Gyan sempurna, mana mungkin ada yang bisa menolak. Atau jangan-jangan Mas yang pemilih.” “Kalau kamu pikir nggak ada yang mungkin bisa menolak saya, itu artinya kamu termasuk dari mereka?” Pertanyaan menjebak Gyan berhasil membuat Cantika gugup sekaligus kelabakan. Wajahnya memerah seperti buah tomat. Melihat ini, Gyan merasa lucu dan tidak sadar menyunggingkan senyum. “Saya hanya bercanda, Cantika.” “Oh …” Pembicaraan berakhir karena kedua adik kembar Gyan sudah kembali dari toilet, “Yuk Can, kita ke table!” “Iya, ayo.” Cantika menatap Gyan saat beranjak dari tempat duduk. “Aku pergi dulu, Mas. Senang bisa berkenalan dan ngobrol sama Mas Gyan.” “Saya juga,” balas Gyan santai. “Selamat menikmati Fantaisie.” Gyan menatap kepergian adik-adiknya bersama Cantika. Ia kembali tersneyum mengingat percakapan barusan. Tidak menyangka kalau adiknya akan mengenalkannya dengan wanita dengan sifat yang sangat berbeda dengan Rhaellia. “Rhae mati-matian menjauh. Tapi Cantika, perkenalan pertama langsung nanya soal pasanganku. Benar-benar berbeda,” gumamnya. Sadar dengan apa yang barusan ia katakan, Gyan langsung mengerutkan kening. Ia merasa aneh pada dirinya sendiri. “Tunggu, kenapa aku harus membandingkan Cantika dengan Rhae? Apa Rhae sudah menguasai isi kepalaku?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD