“Good Morning.”
Semua mata tertuju kepada Rhae yang muncul dari balik pintu. “Morning, Rhae.”
Rhae meletakkan tasnya di atas meja begitu sampai di tempat bekerja. Suasana di ruangan sudah ramai karena ia terlambat lima menit dari jadwal. Ia melihat teman-temannya berkumpul, mengerumuni sesuatu yang entah apa itu. Rasa penasaran Rhae pun muncul, ingin tahu apa yang terjadi pagi ini.
“Kalian lagi lihat apa? Pagi-pagi sudah ngumpul,” tanya Rhae mendekat.
“Lagi lihat undangan pernikahan,” sahut Senara.
Kening Rhae mengernyit, semakin penasaran. “Undangan pernikahan siapa? Jangan bilang di antara kalian lagi kasih kejutan mau nikah, ya?”
“Bukan. Ini dari Bagus dan Dayu yang kemarin buat seragam keluarga di sini. Mereka kan janji mau undang kita ke pernikahan mereka. Nah, ini undangannya,” jelas Senara.
“Oh begitu. Kapan acaranya?”
“Seminggu lagi. Kata Madam, kita wajib datang karena menghargai meraka yang repot-repot undang kita.”
Rhae pun mengangguk pelan. “Oke. Sudah lama sekali nggak pernah datang ke resepsi pernikahan. Kasihan juga bajunya nggak pernah dipakai, nangkring di lemari sampai bau apek.”
“Sekalian menikmati makanan khas bali yang pasti sangat melimpah.”
“Pikiran kamu isinya makanan terus,” sindir Rhae.
Setelah ngobrol singkat sambil menikmati kopi, kini Rhae fokus dengan pekerjaannya. Ia mengecek lagi desain final yang akan diberikan kepada Keiko sebelum nanti dilanjutkan pada tahap berikutnya.
Begitu urusan satu selesai, ada pekerjaan lain juga yang harus Rhae lakukan. Ia harus menyiapkan contoh desain dan kain yang nanti akan dibawa ke rumah klien. Hari ini ia dan Keiko akan berkunjung ke rumah klien untuk dilakukan pengukuran badan. Itu sebabnya semua perlengkapan harus disiapkan agar tidak ada yang ketinggalan. Bosnya tidak akan mentolerir kesalahan yang dilakukan di hadapan klien. Surat peringatan pasti akan keluar demi membuat para karyawan tidak main-main dengan tugasnya.
“Made, nanti tolong dicek lagi semua yang mau dibawa. Pastikan semua aman, jangan sampai Madam ngamuk,” bisik Rhae kepada rekannya.
Made mengangguk. “Oke, Mbak. Tenang saja, dari tadi sudah dicek ulang bahkan beberapa kali. Aku nggak mau kena Sp padahal belum genap setahun kerja di sini.”
Rhae terkekeh pelan. “Tenang, aku yakin kamu akan lama di sini asal semua aturan Madam kamu ikuti.”
“Pasti, Mbak. Makasih atas dukungannya.”
“Semangat, ya!”
Setelah jam makan siang, Rhae bersama dengan Keiko dan Made akhirnya berangkat menuju rumah klien. Alamat yang mereka harus tuju adalah perumahan elit yang ada di daerah Renon. Kondisi di jalan cukup ramai dan sedikit macet. Inilah yang membuat Rhae malas keluar kalau bukan untuk urusan penting terutama menjemput anaknya.
“Anak kamu siapa yang jemput, Re?” tanya Keiko.
Rhae menoleh singkat ke arah spion. “Bibi yang kerja di rumah, Madam. Mereka naik ojek online.”
“Oh begitu. Sudah lama saya tidak ketemu anak kamu. Pasti dia makin besar, ya?”
“Iya Madam. Dia makin tinggi dan mungkin sebentar lagi saya kalah tinggi sama dia.”
“Baik-baik jaga dia, Rhae. Saya bukannya mau ikut campur, tapi mengingat kita sudah kenal cukup lama, saya harap anak kamu bahagia menjalani masa kecilnya.”
Rhae mengangguk dan tetap fokus mengemudi. “Terima kasih atas perhatian, Madam. Saya akan jaga dan rawat Nio dengan baik. Dunia saya adalah dia, jadi kebahagiaan dia juga kebahagiaan saya.”
“Jangan sampai jadi ibu egois yang nanti justru buat kamu menyesal seumur hidup.”
Kalimat itu menusuk hati Rhae. Bukan tersinggung, tapi seakan ditampar kenyataan kalau apa yang ia usahakan untuk anaknya, belum tentu terbaik untuk Nio. Nasihat seperti ini tidak hanya ia dapatkan dari bosnya, tapi juga keluarga dan temannya yaitu Senara.
“Iya Madam, saya akan ingat itu.”
Setelah hampir menempuh 20 menit perjalanan, akhirnya mobil yang dikendarai oleh Rhae sampai di tempat tujuan. Mereka disambut baik oleh penjaga rumah dan langsung di arahkan untuk masuk. Untuk kesekian kalinya, Rhae dibuat takjub oleh rumah kliennya.
“Rumahnya mewah ya, Mbak. Sepertinya klien kita benar-benar kaya,” bisik Made.
Rhae mengangguk. “Sepertinya begitu. Ada kolam renangnya juga, pasti rumah ini luas sekali.”
Keiko berdeham, memberi peringatan agar Rhae dan Made tidak bicara. Keduanya diminta tenang saat menunggu pemilik rumah muncul ke ruang tamu.
“Selamat siang,” sapa seorang wanita dengan penampilan anggun dan juga bersahaja.
Keiko dan dua karyawannya langsung beranjak dari sofa, menyapa wanita itu yang ternyata bersama dengan dua anak gadis serta pria paruh baya.
“Maaf membuat kalian nunggu. Kami terlambat makan siang, jadi tanggung kalau tidak diselesaikan.”
“Tidak apa-apa. Saya Keiko dan ini Rhae dan Made, karyawan saya.”
“Halo, saya Maira dan ini anak saya namanya Arella dan Nala, mereka kembar. Oh iya, hampir lupa mengenalkan suami saya, namanya Ciptadi,” jelas Maira.
Mereka saling berkenalan karena baru pertama kali bertemu. Sambutan hangat pemilik rumah membuat Rhae merasa nyaman. Ia pikir berurusan dengan orang kaya akan ribet dan melelahkan. Nyatanya, pertama bertemu langsung memberikan kesan menyenangkan.
“Kami sudah bawa beberapa desain sesuai dengan komunikasi terakhir di telepon. Kalau misalnya ada yang kurang atau mau desain yang lain, silakan kasih tahu kami. Bagi kami, kepuasan klien yang paling penting,” jelas Keiko. “Oh iya, sampel kain juga kami bawa karena Anda bilang tidak mau ikut memilih kain. Jadi kami sudah siapkan semuanya, sesuai dengan tema dari seragam keluarga,” sambungnya.
“Gimana, kalian saja yang diskusi. Mama ikut selera kalian, asal jangan buat gaun terbuka atau seksi,” ucap Maira kepada dua putri kenbarnya.
“Kalau Papa silakan terserah Mama. Yang tahu mana yang terbaik Cuma Mama.”
Maire mengangguk. “Tunggu anak lanangnya Papa. Dia selalu terlambat.”
Arella dan Ragnala nampak bingung dengan pilihan desain. Yang mereka inginkan, dibuatkan pilihan yang semuanya bagus. Terlihat dari wajah mereka yang berbinar melihat satu demi satu desain yang Rhae buat.
“Kayaknya aku cocok yang ini, deh,” ucap Arella sambil menunjukkan pilihan.
“Kalau aku yang ini,” sambung Ragnala.
“Selamat siang!”
Diskusi terhenti sejenak karena suara yang muncul dari arah pintu masuk. Seseorang yang membuat wajah Rhae terkejut sampai bibirnya terbuka. Siapa sangka, orang yang katanya sedang dalam perjalanan adalah Gyanendra.
“Jadi anak pertama yang dimaksud Ibu Maira adalah Gyan?” batinnya.
“Siang, Gyan. Kamu terlambat,” ucap Maira dengan kedua mata melotot.
Gyan terkekeh. “Maaf, Ma. Di jalan lagi macet, jadi aku nggak bisa cepat-cepat.”
Pandangan mata Gyan tiba-tiba terpaku melihat keberaan Rhae di rumahnya. Bahkan sempat mengedipkan mata beberapa kali, demi memastikan matanya tidak salah lihat.
“Loh, Anda pemilik Fantaisie?” celetuk Keiko.
“Anda yang ulang tahun waktu itu, kan?”
Keiko mengangguk. “Saya belum sempat bilang terima kasih atas traktiran waktu itu.”
“Tidak masalah. Saya senang kalau Anda menikmati waktu di Fantaisie.”
Orang tua Gyan dan juga saudara kembarnya cukup bingung dengan situasinya. Mereka tidak menyangka kalau Gyan saling kenal dengan desainer yang mereka pakai jasanya.
“Halo Rhae, tidak menyangka kita bisa bertemu di sini,” sapa Gyan.
Rhae yang sengaja diam dan ingin pura-pura tidak kenal, justru dipatahkan oleh Keiko. Kini, tidak ada jalan lain lagi selain menghadapi situasi yang tidak memihaknya. Bagaimana bisa ia terjebak di rumah keluarga Romedjo. Tidak menyangka kalau kliennya adalah keluarga Gyanendra yang juga pemilik yayasan tempat Nio bersekolah.
“Halo,” sapa Rhae singkat dan berusaha mengontrol ekspresi wajahnya.
“Jadi maksud Nio kalau kamu suka gambar dan jahit karena kamu desainer?”
Rhae berdeham, lalu mengangguk. “Iya.”
“Tunggu? Nio yang Mas maksud yang waktu itu …”
Gyan mengedip, memberi isyarat agar Arella tidak melanjtkan kalimatnya agar orang tua mereka tidak tahu.
“Nio yang sekolah di yayasan kita, Mas?” Arella mengubah ceritanya.
“Iya, kamu benar.”
“Oh, jadi anak kamu sekolah di yayasan kami?”
Rhae mengangguk. “Iya, dia masih kelas 1.”
“Wah, dunia ini sempit sekali, ya,” celetuk Ciptadi. “siapa sangka kalau kalian ternyata saling kenal.”
“Terus kenapa bisa kenal sama Gyan? Kalian ketemu di mana?” tanya Maira.
“Aku sempat ketemu anaknya Rhae di sekolah, jadi kami kenalan di sana. Kalau dengan Keiko, kami ketemu di Fantaisie waktu dia ulang tahun,” jelas Gyan.
Rhae ingin segera menghilang dari tempat ini. Perasaan canggung dan tidak nyaman menyerbunya. Berharap Keiko bisa mengambil alih keadaan agar segera fokus pada tujuan mereka datang ke sini.
“Ngobrolnya nanti sambung lagi. Kita lanjutkan soal desain, ya,” ucap Maira yang seketika membuat Rhae bernapas lega.
Setelah 30 menit berlalu, akhirnya tinggal melakukan pengukuran badan. Sialnya, setelah selesai mengukur badan Maira, ia harus berhadapan dengan Gyan. Rasanya ingin tukar tempat dengan Made, tapi jelas tidak mungkin karena bisa menyebabkan Keiko curiga bahkan marah karena dianggap tidak profesional.
“Gimana kabar kamu dan Nio?” tanya Gyan saat mereka hanya berdua.
“Baik,” jawab Rhae singkat dan fokus pada tugasnya.
“Hidup kalian jadi lebih tenang ya karena saya sudah tidak mengganggu lagi.”
Rhae mengangguk. “Iya. Dan terima kasih atas pengertiannya.”
“Tapi saya kangen sama Nio. Aneh, ya.”
Tanpa sengaja, pandangan mata mereka bertemu. Rhae mendongak karena Gyan cukup tinggi. Seperti yang Nio katakan, pria ini memiliki postur tubuh yang sangat sempurna. Pantas aja Nio ingin menjadikan Gyan sebagai panutan.
“Cantik. Mata kamu cantik sekali,” gumam Gyan tanpa sadar.
Seketika Rhae berdeham lalu mengalihkan pandangan matanya. Kembali dengan alat pengukur agar segera selesai berurusan dengan Gyan.
“Saya minta tolong jangan bahas masalah pribadi disaat saya bekerja.”
Gyan menganggu sambil mengulas senyum. “Baiklah. Saya akan diam dan mengikuti arahan.”
Pria itu menepati janjinya, tidak lagi bicara. Namun pandangan matanya seakan tidak lepas dari sosok Rhae. Gyan seperti sedang menikmati momen ini karena tidak akan mendapatkan protes saat menatap Rhae yang sibuk mengukur badannya.
“Sudah selesai, terima kasih,” ucap Rhae.
Gyan menahan tangan Rhae saat akan pergi. “Tunggu sebentar.”
“Ada apa?” tanya Rhae dengan tatapan sinis.
“Saya Cuma mau bilang, saya senang bisa bertemu kamu, Rhae.”
Mendengar ucapan Gyan ditambah ekspresi manis pria itu, membuat jantung Rhae berdetak tidak biasa. Merasa ada yang salah, ia segera melepaskan diri dan menjauh. Tatapan dan senyum Gyan sangat berbahaya baginya sebab berhasil membuatnya merasa tidak nyaman.
“Saya harus pergi, terima kasih.”
Rhae meninggalkan Gyan lalu bergabung dengan Keiko dan Made. Ingin cepat-cepat pergi dari rumah ini agar tidak lagi dalam jangkauan mata Gyan.
“Tuhan memang suka bercanda. Kenapa harus keluarga Romedjo yang jadi klienku?” gerutu Rhae sebal.