Wajah Rhae nampak serius dengan matanya fokus menatap goresan pensil di tangannya. Ia sedang membuat sketsa sebuah gaun malam yang merupakan pesanan dari pelanggan VIP dari Jakarta. Gaun ini akan digunakan pada acara yang spesial dan bisa dilihat banyak orang sehingga Rhae ingin hasilnya maksimal. Sekaligus bisa mempromosikan karya yang ia buat.
“Kopi?”
Rhae menoleh namun tangannya tetap bergerak. Senara dengan baiknya membelikan kopi kesukaan Rhae untuk menemaninya menyelesaikan desain ini.
“Thanks.”
“Sama-sama. Tapi besok titip nasi kuning dekat sekolah Nio, dong. Boleh kan, Mommy Nio?”
“Dasar! Aku tahu kamu memang nggak ikhlas.”
Senara terkekeh lalu menarik kursi yang ada di sebelah Rhae. “Ngomong-ngomong soal sekolah Nio. Anak pemilik yayasan, masih suka ketemu sama Nio?”
“Enggak. Sudah aku peringatkan buat jauhi Nio karena aku nggak nyaman. Kalau dia bisa bahasa Indonesia, harusnya ngerti sama omonganku,” jawab Rhae dengan raut wajah ketus.
“Apa nggak terlalu kasar? Maksudku, dia Cuma berusaha bersikap baik.”
Rhae meletakkan pensil dan bukunya secara tiba-tiba, lalu menatap Senara. “Kalau sampai buat Nio masuk IGD, apa masih dianggap baik?”
“Hah? Nio masuk IGD? Kapan? Kenapa? Sekarang gimana keadaan anakku?” cecar Senara panik.
“Nio sudah sehat, dia sudah sekolah.”
Sebenarnya, Rhae tidak memberitahu siapa pun mengenai peristiwa yang menimpa anaknya. Bahkan bibi dan sepupunya juga tidak tahu. Rhae hanya tidak mau semua orang ingin tahu siapa sosok Gyan yang tidak ingin ia kenalkan kepada orang lain. Selain itu, saat pihak sekolah meminta maaf atas apa yang terjadi, Rhae meminta agar masalah ini tidak tersebar, terutama kepada teman-teman Nio di sekolah.
“Kok kamu nggak cerita, Ra? Nio masuk IGD karena Gyan?”
Rhae meneguk kopi dingin yang menjadi favoritnya. “Iya. Cowok menyebalkan itu kasih Nio es krim yang ada kacangnya. Untung saja Cuma termakan sedikit, jadi alerginya nggak semakin parah.”
Rhae menuturkan awal mula kenapa Nio bisa masuk IGD. Awalnya malas, tapi Senara pasti akan bertanya lagi dan lagi jika tidak detail. Daripada membuat suasana hatinya buruk, terpaksa ia cerita dengan lengkap.
“Ya Tuhan, kasihan sekali Nio. Terus Gyan gimana? Dia mau tanggung jawab?”
“Mau, dia bayar biaya rumah sakit dan obat, padahal aku sudah tolak tapi dia maksa. Jadi daripada berdebat, terpaksa aku terima,” jawabnya. “Selain itu, sebenarnya ada lagi.”
“Maksud kamu apa?”
“Maksudku, ada bentuk tanggung jawab yang lain yang harus dia lakukan.”
Senara menatap penasaran. “Apa itu?”
“Dia harus berhenti dekati Nio. Mau ketemu di mana, pura-pura nggak kenal atau nggak lihat. Aku nggak mau dia ganggu hidup kamI. Karena rasanya hidupku jadi nggak tenang semenjak ketemu dia,” jelas Rhae.
“Apa enggak berlebihan?” tanya Senara heran. “Soal insiden es krim, dia pasti nggak sengaja. Lagi pula, mana tahu kalau Nio alergi kacang. Jadi kalau sepenuhnya menyalahkan dia, rasanya kurang adil.”
“Maka dari itu Senara, aku nggak mau dia akrab sama anakku. Kalau dibiarkan, akan banyak hal yang dilakukan yang tentu bisa membahayangan Nio.”
“Tapi kalau semakin lama mereka dekat, maka Gyan juga semakin banyak tahu tentang Nio. Jadi kemungkinan buat Nio celaka akan semakin kecil bahkan enggak ada. Nio menyukai Gyan karena dia seperti menemukan sosok …”
“Ayah? Daddy? Papa? Apa lagi, Ra?”
Nyali Senara langsung ciut karena suara Rhae yang meninggi. “Maaf kalau aku terlalu ikut campur.”
Rhae menghela napas, kembali fokus dengan desainnya. “Aku harus beresin desain ini. Banyak kerjaan yang nunggu, jadi sebaiknya jangan ajak aku ngobrol soal cowok itu.”
“Oke. Aku juga harus pergi sama Madam karena ada janji dengan klien.” Senara beranjak dari duduknya. Sebelum benar-benar pergi, ia mengusap pundak Rhae dengan lembut. “Aku minta maaf kalau buat kamu tersinggung. Tapi percayalah, aku menyayangi kamu dan Nio.”
“Aku tahu. Kamu juga tahu gimana masa laluku, jadi semoga kamu bisa mengerti, betapa beratnya jadi aku.”
“Iya Rhae. Aku pergi dulu, ya.”
Rhae mengangguk. “Hati-hati.”
***
“Gimana, suka sama masakan Mommy?”
Nio mengangguk antusias sambil menggoyangkan kepalanya karena senang. “Aku suka abon ayam buatan Mommy.”
“Kalau bening bayamnya, suka juga?”
“Suka. Tapi lebih suka sayur kangkung,” jawabnya.
Rhae terkekeh pelan karena ia sendiri tahu anaknya tidak suka bayam, hanya saja Nio berusaha menghargai masakannya. Tetap makan meski sedikit terpaksa. Rhae mencoba tetap mengajarkan anaknya suka semua sayur meski dengan harus dengan cara yang sabar.
“Nio harus makan sayur yang banyak. Biar badannya sehat dan kuat. Apalagi dalam masa pertumbuhan, biar semakin tinggi.”
“Seperti Uncle Gyan ya, Mom? Tinggi dan kuat jadi jago main basket. Aku mau seperti Uncle Gyan, ah,” celetuknya.
Nio langsung menunjukkan sikap lahap makan demi bisa seperti Gyan. Hal ini membuat ibunya terdiam dengan raut waja sedih dan bingung. Sampai sakarang, sosok Gyan masih saja ada diingatan putra semata wayangnya.
“Pelan-pelan makannya, nak. Nanti kamu tersedak.”
“Iya Mommy.”
Setelah selesai makan malam, Rhae melanjutkan pekerjaannya di dapur. Mencuci semua perabotan makan serta menyiapkan bahan makanan yang akan dimasak besok pagi sebagai sarapan dan juga bekal sekolah untuk Nio.
Sambil menata piring yang sudah bersih di dalam rak, pikiran Rhae justru tertuju pada percakapan barusan bersama Nio. Perasaan sedih menyusup di antara luka hati yang belum juga sembuh meski berlalu sekian tahun lamanya.
“Maafin Mommy, Sayang. Karena Mommy, kamu sampai menganggap orang itu sebagai panutan. Maaf kalau Mommy belum bisa memberikan kebahagiaan sempurna untuk kamu,” gumam Rhae.
Wanita itu mengusap sudut matanya yang akhirnya basah. Perasaannya hancur jika menyangkut anaknya. Andai waktu bisa diulang, mungkin ia tidak akan melakukan kesalahan yang justru membuat anaknya menjadi korban. Bukan hanya Nio, Rhae juga harus kehilangan ibunya karena kesalahan besar yang di perbuat.
Tidak mau larut dalam kesedihan dan juga khawatir diketahui oleh anaknya, Rhae segera mengalihkan pikiran. Setelah semua pekerjaan selesai, Rhae buru-buru ke kamar Nio untuk menemui anaknya yang sedang belajar. Mengingatkan agar segera tidur mengingat sudah jam 9 malam.
“Sudah selesai belajar?” tanya Rhae.
Nio yang sedang memasukkan buku ke dalam tas mengangguk semangat. “Sudah, Mommy. Pr-nya sudah juga sudah selesai.”
Rhae mendekati putranya, membantu mengecek buku yang akan dibawa besok agar tidak ada yang tertinggal. “Anak Mommy memang rajin dan pintar. Kalau nilainya bagus, Mommy ajak Nio main ke kebun binatang, ya. Mau?”
“Mau!”
“Ya sudah, sekarang gosok gigi dan cuci kaki, terus tidur. Jangan begadang, nanti telat bangun.”
“Iya Mommy.”
Begitu menyelesaikan kewajiban sebelum tidur, Nio naik ke tempat tidur. Setelah itu, bersiap untuk berdoa bersama Rhae.
“Nio pimpin doa, ya.”
“Iya Mom.”
Nio memimpin doa seperti biasa. Semuanya dilakukan dengan lancar karena dibiasakan oleh Rhae. Jika tidak ditemani ibunya, anak itu melakukan sendiri. Meski baru berusia 7 tahu, Rhae mendidiknya dengan sangat baik.
“Tuhan, Nio pingin sekali ketemu sama daddy. Boleh tidak daddy datang di mimpi Nio?”
Seketika Rhae membuka mata, mendengar kalimat yang diucapkan anaknya. Hatinya seakan diremas, sakit sekali. Namun ia sembunyikan agar Nio tidak curiga.
“Amin,” ucap Nio diakhir doa.
Rhae tersenyum, seakan tidak terjadi apa-apa. “Sekarang tidur, ya.”
Nio berbaring, diikuti oleh Rhae di sampingnya. Tangan wanita itu mengusap pucuk kepala anaknya. Membayangkan banyak hal mereka lewati berdua dan Nio tidak pernah mengeluh akan kehidupan mereka.
“Mommy, kenapa daddy nggak pernah datang ke mimpiku?”
“Hhmm?”
“Aku mau tahu wajah daddy. Kata temanku, kalau mau ketemu daddy di mimpi, harus rajin berdoa. Aku setiap mau bobo berdoa sama Tuhan, tapi kenapa daddy nggak datang? Apa daddy marah sama aku?” tanya Nio dengan tatapan sendu.
Lidah Rhae tercekat dan bibirnya seakan menempul, tidak mau terbuka mendengar pertanyaan dari Nio. Meski pertanyaan tentang ayahnya bukan kali ini terlontar dari sang anak, tetap saja Rhae selalu kesulitan menemukan jawaban yang masuk akal.
“Mungkin belum sekarang tapi nanti. Nio harus sabar, ya.”
“Tapi aku mau tahu, gimana wajah daddy. Apa seperti Uncle Gyan?”
Rhae segera menggeleng. Menarik Nio agar masuk ke dalam pelukannya. “Daddy dan Uncle Gyan berbeda, Sayang. Mommy yakin, suatu saat nanti, Nio pasti bisa melihat wajah daddy di mimpi. Tapi daddy lihat Nio kok di tempatnya sekarang.”
“Di surga?”
“Iya. Di surga. Sekarang tidur, ya. Biar Mommy temani sampai Nio lelap.”
Anak itu mengangguk tanpa suara. Rhae mencoba bersenandung meski dengan suara sumbang karena menahan kesedihan. Ia terlalu lemah kalau menyangkut Nio.
Begitu anaknya tidur, Rhae pergi ke kamarnya sendiri. Duduk termenung di pinggir tempat tidur, dengan wajah tertunduk. Perlahan, air matanya mengalir saat ingat bagaimana anaknya memohon kepada Tuhan agar dipertemukan dengan ayahnya meski dalam mimpi.
“Maafin Mommy, Nio. Semuanya salah Mommy, dan mungkin nanti kamu juga akan membenci Mommy,” gumam Rhae pilu.