8. BENTUK TANGGUNG JAWAB YANG SULIT

1794 Words
“Uncle Gyan!” Begitu Gyan menginjakkan kaki di ambang pintu, ia disambut oleh teriakan Nio yang nampak senang akan kadatangannya. Wajah semringah, sama sekali tidak menunjukkan kondisi sedang sakit. Hal ini tentu saja membuat Gyan merasa lega sekaligus bahagia. Kekhawatirannya tidak terbukti. Nio sudah sembuh dari penyakit alergi yang sempat kambuh karena ulahnya. “Halo Nio.” Gyan langsung berlutut menyambut pelukan dari anak itu. “Uncle kangen sekali sama kamu,” ucapnya. Nio memeluk Gyan dengan erat, seakan merasakan rindu yang sama dengan pria itu. “Nio juga kangen sama Uncle Gyan.” Tangan Gyan menepuk pelan punggung anak itu dengan lembut. “Sekarang sudah ketemu. Masih kangen tidak?” “Masih. Kan Uncle baru ke sini, jadi aku masih kangen.” Perlahan Gyan mengurai pelukannya lalu menatap Nio. Tangannya mengusap kepala hingga wajah anak itu demi memastikan kalau Nio memang sudah sembuh. “Kamu sudah sembuh?” “Sudah. Aku sudah sehat. Kata mommy, besok sudah boleh sekolah.” “Syukurlah. Uncle ikut senang kalau kamu sudah sehat lagi.” Nio melihat paper bag yang dibawa Gyan, yang tergeletak di atas lantai. “Uncle bawa apa?” “Nio.” Suara tenang namun dingin dari Rhae membuat nyali Nio menciut. Anak itu mundur beberapa langkah, menjauh dari Gyan. Sikap Rhae tidak mengagetkan bagi Gyan karena sampai detik ini, wanita itu masih berusaha keras menjauh dengan cara bersikap ketus. Gyan pun beranjak dari posisi berlutut. Mengambil beberapa paper bag yang berisi makanan dan minuman. Setelah itu, diserahkan kepada Rhae yang berdiri tidak jauh darinnya. “Saya bawa makanan dan minuman untuk kamu dan Nio. Saya sudah pastikan kandungannya aman karena saya beli dengan teman saya yang merupakan ahli gizi. Tidak ada kacang, jadi cukup aman buat Nio,” jelasnya. Rhae menghela napas, enggan untuk menerima. Tetapi melihat tatapan memohon anaknya, hatinya tergerak untuk mengambil paper bag itu. “Harusnya tidak perlu bawa ini. Saya tidak mau punya hutang budi sama kamu.” “Jangan berpikir begitu. Saya sama sekali tidak berniat membuat kamu merasa berutang.” Raut wajah bingung nampak jelas pada diri Rhae. Seakan sedang berpikir keras, apa yang selanjutnya ia lakukan. “Maaf untuk kejadian tadi. Saya …” “Silakan duduk. Saya buatkan minum.” Gyan mengangguk dengan wajah semringah. “Terima kasih.” “Tapi ingat, jangan berpikir yang tidak-tidak. Saya Cuma tidak mau buat kehebohan, itu saja.” “Saya tahu itu, tenang saja.” Rhae meninggalkan Gyan di ruang tamu. Tentu saja anaknya kembali mendekat dan tertawa saat berbicara dengan pria itu. Entah apa yang harus Rhae lakukan demi memberikan pengertian putranya agar tidak terlalu akrab dengan Gyan. Jika menggunakan orang asing sebagai alasan, Rhae merasa tidak masuk akal lagi. Mengingat sudah beberapa kali bertemu dan kini pria itu nekat datang ke rumahnya. “Nio jarang sekali bisa akrab dengan orang baru. Dan sekarang, dia malah nyaman dekat dengan orang menyebalkan ini. Lalu aku harus bagaimana memisahkan mereka?” Sementara itu, Gyan terlihat senang menemani Nio bicara. Keduanya seperti teman lama yang setelah sekian lama kembali bertemu. Begitu seru berbagi kisah sampai-sampai Gyan lupa kalau Nio hanyalah anak berusia 7 tahun yang masih belum punya pikiran matang. “Nio nggak marah sama Uncle Gyan?” “Marah kenapa?” tanya anak itu polos. “Karena Uncle kasih kamu es krim yang ada kacangnya,” jawab Gyan. Lalu Nio menggeleng dengan santainya. “Yang pilih esk krim kan aku, Uncle. Aku lupa nggak boleh makan kacang. Jadi Uncle Gyan nggak salah.” “Tapi Uncle sedih karena kamu jadi sakit.” “Aku sudah sembuh.” “Lain kali Uncle akan lebih hati-hati lagi jaga kamu, ya.” Kedua mata Nio berbinar, menatap Gyan dengan senang. “Berarti nanti kita beli es krim lagi?” “Tidak ada es krim lagi, Nio.” Suara Rhae menginterupsi. Wanita itu datang dengan membawa nampan berisi dua cangkir teh untuknya dan Gyan. “Kamu tidak boleh makan sembarangan kalau lagi nggak sama Mommy.” Wajah semringah itu berubah menjadi sendu. “Tapi kan nggak makan kacang lagi, Mom.” “Jangan membantah karena yang tahu kondisi kamu adalah Mommy.” Seketika ruangan menjadi hening karena peringatan Rhae. Sungguh, disaat kondisi seperti ini, Rhae berubah menjadi ibu yang tega yang mungkin akan dibenci oleh banyak orang. Gyan mengusap pucuk kepala Nio dengan lembut. “Mommy benar. Yang terbaik buat Nio, Cuma mommy kamu yang tahu.” Nio hanya diam dengan wajah tertunduk sedih. “Nio, boleh tinggalin Mommy sebentar dengan Uncle? Ada yang mau Mommy omongin.” “Iya Mommy,” jawabnya pasrah. Kini hanya ada Rhae dan Gyan di ruang tamu kecil ditemani suasana canggung. Diam-diam Gyan menatap wanita itu. Ingat akan apa yang dikatakan oleh tetangga Rhae. Setelah itu, ia mengedarkan pandangan matanya ke sekitar ruangan. Gyan tidak menemukan foto pria yang tidak lain adalah suami Rhae dan ayah Nio. Rhae berdeham hingga membuat Gyan menjadi kaget. Seakan tertangkap basah melakukan kesalahan. “Siapa yang kasih tahu alamat rumah saya?” tanya Rhae dengan tatapan sinis. “Itu …” “Baiklah, saya sudah tahu jawabannya. Sekarang apa tujuan kamu ke sini? Mau buat saya dan Nio dalam masalah?” tanya Rhae lagi. Tidak lama, wanita itu senyum sinis. “Oh iya, kamu sudah melakukannya. Sekarang tetangga saya berpikir yang tidak-tidak tentang kita.” “Soal itu, saya benar-benar minta maaf, Rhae. Saya ke sini untuk jenguk Nio, mau tahu keadaannya karena saya terus dihantui rasa bersalah. Bagaimanapun, saya harus bertanggung jawab,” jelas Gyan. Rhae menatap Gyan dengan tatapan tajam dan dingin. “Kamu mau bertanggung jawab?” Gyan mengangguk. “Selain sudah membayar biaya rumah sakit, saya ingin melakukan hal yang bisa membuat Nio merasa lebih baik. Saya ingin menebus kesalahan saya.” “Baik, akan saya kasih tahu apa yang bisa kamu lakukan sebagai bentuk tanggung jawab.” “Silakan kasih tahu saya. Saya akan usahakan untuk memenuhi.” Rhae menghela napas sebelum akhirnya bicara. “Tolong jangan ganggu kami. Jangan dekati, Nio. Itulah yang harus kamu lakukan,” ucap Rhae. Seketika Gyan merasa hatinya tercubit mendengar permintaan Rhae. “Menjauhi Nio?” “Iya. Hidup kami sangat baik-baik saja sebelum kamu datang dan akhirnya kamu mengacaukan kebahagiaan saya dan Nio. Saya tidak suka kamu mengusik kehidupan kami dan membawa masalah terutama kepada Nio. Jadi bentuk tanggung jawabnya sangat sederhana tapi berarti buat ketenangan hidup saya.” “Tapi rasanya kejam sekali. Nio nyaman dengan saya dan saya juga senang dengan dia.” “Tapi saya tidak senang dengan keberadaan kamu di sekitar keluarga saya. Tolong, ini bukan hal sulit buat kamu. Nikmati duniamu tanpa mengusik dunia orang lain. Sebelumnya kita tidak pernah bertemu dan semuanya berjalan dengan baik. Dan satu lagi, kamu sama sekali nggak punya ketergantungan terhadap Nio, jadi jangan bersikap seolah-olah kalian bisa saling mengisi,” jelas Rhae dengan tegas. “Tapi apa saya boleh tahu, kenapa kamu sangart tidak suka dengan saya selain kesalahan yang saya lakukan kemarin? Karena ini kali pertama saya merasa sangat dibenci bahkan sejak awal kita ketemu.” Rhae menghela napas dan diam sejenak. Ia seakan berpikir keras untuk menemukan jawaban dari pertanyaan Gyan. Baru kali ini bertemu pria yang punya sikap tidak mudah menyerah meski sudah diberikan kata-kata menyakitkan. “Karena saya tidak suka Nio nyaman dengan orang asing. Saya tidak mau dia merasa ketergantungan dengan orang lain, selain dengan saya. Karena jika itu terjadi, Nio akan membangun sebuah harapan yang justru membuat dia sedih dan kecewa. Jadi tolong, mengerti apa yang saya maksud tanpa perlu saya jelaskan panjang lebar. Rasanya kamu sudah cukup pintar buat memahami keinginan saya.” Lagi dan lagi Gyan merasakan tidak nyaman dengan apa yang Rhae katakan. Ia sendiri bingung kenapa harus merasa sesedih ini diminta menjauh dari anak yang baru beberapa kali ia temui. Ini bukan lagi tentang rasa bersalah, tapi seperti kehilangan teman yang sudah lama bersama-sama. “Saya takut salah mengerti. Tapi apa kamu takut Nio melupakan daddy-nya karena keberadaan saya?” Tidak ada jawaban dari Rhae. Yang jelas, dari raut wajahnya nampak tidak menyukai pertanyaan itu. Terasa personal dan tidak pantas. Gyan yang paham, langsung berdeham karena tidak enak. “Maaf, saya terlalu lancang bertanya soal daddy-nya Nio. Ini karena omongan tetangga kamu tadi soal saya dianggap sebagai pacar kamu. Jadi saya pikir, daddy Nio sudah tidak ada,” jelasnya. “Sepertinya sudah cukup. Tidak ada yang harus saya katakan lagi. Kamu juga sudah tahu keadaan Nio, jadi sekarang kamu bisa pergi, kan?” Diusir secara terang-terangan tidak membuat Gyan marah atau tersinggung. Ia justru semakin ingin tahu, siapa Rhae yang sebenarnya. Wajahnya yang cantik dan juga nampak hangat, justru bersikap ketus dan angkuh. Merasa yang ia hadapi bukan Rhae yang sebenarnya. “Baiklah. Saya juga tidak mau mengganggu waktu istirahat kalian. Tapi sebelum saya pergi, apa boleh ketemu Nio untuk pamitan? Anggap saja ini perpisahan kami karena tidak akan ketemu lagi.” Lama Rhae diam sebelum akhirnya mengangguk. “Silakan.” Karena Nio tidak menjawab saat dipanggil oleh Rhae, akhirnya Gyan menemui anak itu di dalam kamar. Mereka terkejut karena ternyata anak itu sudah tertidur di lantai, dengan pensil warna dan juga buku gambar berserakan. “Ternyata dia sudah tidur,” gumam Gyan sambil tersenyum. Lantas Gyan menoleh ke arah Rhae. “Boleh saya bantu pindahkan dia ke kasur?” Rhae mengangguk ragu. “Iya.” Dengan hati-hati, Gyan membawa Nio ke atas tempat tidur. Saking lelapnya, anak itu tidak berkutik saat dipindahkan. Tidak lupa, Gyan menyelimuti tubuh Nio lalu mengusap pelan pucuk kepalanya. “Selamat tidur boy. Sampai ketemu nanti. Maksud Uncle, sampai ketemu kapan-kapan.” Sebuah kecupan di kening untuk Nio sebagai tanda perpisahan. Gyan masih berusaha mengontrol emosi agar tidak terlalu sedih. Saat pria itu beranjak dari atas tempat tidur, pandangan matanya melihat buku gambar yang masih ada di lantai. Ia pun mengambil dan melihat gambar apa yang dibuat Nio. Wajahnya menunjukkan rasa terkejut ketika tahu isinya. Rhae yang juga melihat, segera merebut buku berisi gambar Gyan yang tidak terlalu mirip. Tetapi ada nama pria itu di sana, makanya jelas siapa yang dimaksud oleh Nio. “Jangan salah paham. Nio masih anak-anak yang belum ngerti apa-apa,” ucap Rhae. Gyan tersenyum mendengar itu. “Baik. Saya pergi sekarang. Sekali lagi saya minta maaf atas kekacauan yang saya buat tempo hari, maupun tadi. Terima kasih sudah izinkan saya ketemu Nio.” “Iya,” jawab Rhae singkat. Gyan kembali ke mobilnya, sedangkan Rhae sudah pergi begitu pintu pagar tertutup. Pria itu menghela napas panjang, sebelum akhirnya menyakan mobil. Gyan tidak mau berlama-lama di sana karena bisa menyebabkan salah paham lagi dari para tetangga. Melihat kondisi Rhae yang hanya tinggal berdua dengan Nio, menyebabkan ia tidak tega menambah kesulit keduanya. “Rhae benar, harusnya aku tidak terlalu masuk ke kehidupan mereka yang ternyata membuat mereka susah. Tapi kenapa rasanya sulit dan berat? Ada apa denganku?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD